PEDANG INTI ES (Peng Pok Han Kong Kiam) OKT Kisah Pedang Inti Es ini merupakan bagian dari serial kisah Pendekar Thian San, yang disadur oleh OKT. Akibat kekalahan yang dialami oleh Pendekar Koei Hoa Seng dalam suatu pibu, telah mendorong dia untuk meninggalkan Tionggoan merantau ke Tibet dan Nepal. Dalam perantauan itu, Koei Hoa Seng yang telah memiliki ilmu silat yang bersumber dari Tat-mo Pit-kip menghadapi berbagai intrik dalam mewujudkan keinginannya untuk menyunting si Gadis Baju Putih misterius. Ketertarikan dua anak manusia berlainan jenis tumbuh ketika mereka berjuang bersama untuk mendapatkan Kumala Inti Es di Kota Iblis yang ditakuti rakyat Tibet. Perjodohan yang melalui perjuangan berat akhirnya dapat diwujudkan setelah Koei Hoa Seng mampu mengalahkan saingan pemuda-pemuda dari berbagai negara lainnya. 01.Pelancong Wilayah Tibet Bagaikan jarum lenyap dan kemudi hilang, Demikian gunung Koen Loen dibuat jeri. Tinggal di dalam guha, berdiam di dalam Gubuk sarang, apakah artinya itu semua? Dengan tongkat rotan hitam di tangan, Di puncak gunung Leng San menggedor pintu langit ... Seumpama seorang raksasa yang rebah berbantal bumi dan menyender kepada langit, demikian gunung Koen Loen San bercokol melintang di perbatasan kedua wilayah Sinkiang dan Tibet, dengan puncak-puncaknya yang sambung-bersambung seperti tak ujung pangkalnya seantero tahun tertutup salju yang putih-mulus, yang memutuskan hubungan daratan antara Tibet dan Tiongkok Asli. Itulah jalan yang tersohor sulit dan berbahaya, yang tak banyak orang melaluinya, baik dahulu maupun sekarang. Tetapi pada saat ini, kita melihat seorang pelancong telah melintasi gunung itu serta tengah memasuki wilayah Tibet. Ketika ia berpaling ke belakang, ia mendapatkannya gunung itu sudah ketinggalan jauh di sebelah belakangnya. Ia berdiam memandangi, lalu tanpa merasa ia bersiul panjang. Ia mengingatnya bagaimana selama dalam perjalanannya ini ia telah bernaung di dalam guha-guha atau di dalam gubuk-gubuk bagaikan sarang burung. Menghadapi sang angin, ia lalu bersenandung …………. Pelancong ini adalah seorang pemuda yang usianya baru duapuluh tahun lebih. Ialah Koei Hoa Seng, ciangbunyin atau ahliwaris, yang menggantikan menjadi pemimpin atau ketua, dari partai persilatan Boe Tong Pay cabang Utara. Ia pun adalah putera nomor dua dari Koei Tiong Beng, satu di antara Thian San Cit Kiam — Tujuh jago pedang dari Thian San. Ia dandan dengan sederhana akan tetapi dandanannya itu tak menutupi romannya yang gagah. Tengah memandangi gunung maha besar itu, tiba-tiba Koei Hoa Seng tertawa dan berkata dengan nyaring: „Kata-katanya Hoei Beng Siansoe memang bukan gertakan belaka untuk menakut-nakuti orang, akan tetapi kalau dibilang, dengan mendaki gunung Koen Loen San orang dapat dengan tongkatnya menggedor terbuka pintu langit, itulah berlebihlebihan!" Memang, syair yang disenandungkan Hoa Seng ini adalah syair karyanya Hoei Beng Siansoe itu, yang dikarangnya di puncak gunung Koen Loen San ini. Hoei Beng adalah seorang pendeta yang menjadi pembangun dari partai persilatan Thian San Pay dan dia berkenamaan di jaman akhirnya kerajaan Beng atau permulaan dinasti Ceng. Koei Hoa Seng terdidik sempurna, ia ternama sejak usia muda. Di antara tiga saudara, dialah yang paling pandai. Akan tetapi beberapa tahun yang lalu, dalam sebuah gelanggang pertempuran, ia kena dirobohkan suami-isteri Tong Siauw Lan dan Phang Eng, yang menjadi ahliwaris turunan keempat dan Thian San Pay. Sebenarnya, karena ayah Hoa Seng tergolong dalam Thian San Cit Kiam, ia ada mempunyakan hubungan yang baik dengan Thian San Pay itu, akan tetapi ia tidak sanggup menelan kekalahannya ini dengan begitu saja, maka dengan menuruti ambekannya, ia lantas melakukan perjalanan, mendaki gununggunung, melayari sungai-sungai, maksudnya ialah mencari orang yang berilmu tinggi untuk meyakinkan ilmu silat terlebih jauh. Ia bercita-citakan mewarisi ilmu kepandaian yang istimewa untuk dapat membangun satu partai persilatan baru! Kembali Hoa Seng menoleh, mengawasi gunung Koen Loen San itu, habis itu baru ia memutar tubuhnya, akan memandangi sebuah gunung lain, yang sekarang berada di sebelah depannya. Itulah gunung Nyenchin Dangla, yang tingginya dapat menyaingi gunung Koen Loen San. Sambil memandang, ia tertawa lebar. „Benarlah, sebuah gunung tinggi, masih ada lain gunung yang lebih tinggi pula!" katanya seorang diri. „Ketika pertama kali aku tiba di Thian San, aku menganggapnya gunung Thian San itu gunung tinggi yang tak termendaki, akan tetapi sekarang aku melihatnya gunung Koen Loen San dan Nyenchin Dangla ini tak ada terlebih kate dari padanya ……… Katanya di perbatasan di antara Tibet dan Nepal ada sebuah gunung Himalaya ialah gunung yang paling tinggi di dalam dunia ini, maka itu benarlah itu pembilangan, di luar langit ada langit lainnya, di samping orang ada orang lainnya lagi, artinya, yang tinggi ada yang terlebih tinggi, yang pintar ada yang terlebih pintar. Di dalam Rimba Persilatan selama seratus tahun ini, umum mengenalnya ilmu pedang Thian San Kiam-hoat yang tak ada tandingannya, tetapi aku -- hm! — tak aku mau mempercayainya! Ketika dulu hari itu Hoei Beng Siansoe menciptakan ilmu pedangnya, katanya ia memilih dan mengumpulnya dari sarinya ilmu pedang pelbagai partai lainnya. Siapakah itu pelbagai partai lainnya? Termasukkah didalam situ partai atau partai-partai yang berada di dalam wilayah Tibet atau lain wilayah lagi di luar Tiongkok Asli?" Maka, memandangi gunung raksasa dihadapannya itu, pada otaknya Koei Hoa Seng terkilas suatu angan-angan yang luar biasa. Ia melamun untuk melintasi gurun pasir yang besar, guna mendaki gunung yang tinggi, guna menjelajah dunia, buat melihat daerah-daerah yang asing untuknya, supaya ia bisa mendapatkan suatu ilmu silat yang menyampaikan puncaknya kemahiran! Tengah lamunannya itu, tiba-tiba kuping Hoa Seng menangkap suara terompet mengaung di udara, lama dan mengalun, suaranya serupa, nadanya sedih. Ketika itu sudah dekat magrib, sinar layung tengah bersorot, mega nampak merah bagaikan darah, maka juga, di waktu demikian terdengar suara aneh itu, walaupun dia bernyali besar, hati Hoa Seng tergetar juga, ia merasakan bulu romanya bagaikan bangun berdiri ……. Mengikuti suara terompet itu, Hoa Seng membuka tindakannya. Sebentar kemudian, tibalah ia di mulut lembah yang terjepit gunung di kiri dan kanan. Di dalam lembah itulah tertampak rombongan orang Tibet dengan terompet mereka yang panjang. Mereka itu tengah mengarak-arak sebuah patung malaikat, yang berkepala tiga, setiap kepala patung itu warnanya putih, hitam dan merah. Orang-orang Tibet itu mengitari patung itu, mereka menari-nari sambil bernyanyi-nyanyi. Sebelum Koei Hoa Song me¬lakukan perjalanannya ke Tibet ini, pernah ia membalik-balik sejumlah kitab mengenai adatkebiasaan bangsa Tibet serta pernah juga mempelajari bahasanya dari beberapa pelancong ke Tibet, maka tahulah ia patung itu patung siapa. Itulah patungnya Chietupa, malaikat pelindung dari agama Lhama. Jikalau bukan di hari raya besar, atau ada permohonan apa-apa, tidak nanti patung malaikat itu dikeluarkan untuk diarak-arak. Memasang kupingnya untuk nyanyian orang-orang Tibet itu maka mengertilah Koei Hoa Seng yang mereka itu tengah menyanyikan lagu „Memanggil Roh," yang maksudnya kirakira: „Kami memohon Malaikat yang suci dan mulia, sudi apalah mengasihani orang-orang dari lain kampung, yang datangnya dari tempat jauh, supaya roh mereka dirampas pulang dari tangannya hantu-iblis, agar dengan demikian hati kami pun tenang-tenteram!” Dan nyanyian itu diulangi dan diulangi terus-menerus. Hoa Seng terperanjat, ia lantas saja, berpikir. „Orang lain kampung? Itulah mesti orang asing …….” Demikian pikirnya. „Orang asal dari manakah mereka itu? Mereka mendapat penyakit berat ataukah lain bencana? Kenapa mereka menyebabkan orang-orang Tibet ini mengarak malaikatnya untuk memohon pertolongan, supaya roh mereka dapat dirampas pulang? — Tidak sia-sia belaka permohonan mereka ini! Mana dapat roh mereka dipanggil pulang secara begini? Aku sendiri ada membawa obat obatan, baiklah aku tengok mereka, jikalau mereka benar jatuh sakit, mungkin aku dapat menolong mereka. Bukankah menolong satu jiwa lebih menang daripada membangun sebuah menara tujuh tingkat?" Segera juga orang-orang Tibet yang mengarak patung malaikatnya itu melihat seorang asing lain mendatangi ke arah mereka. Mereka agaknya menjadi heran. Seorang tua sudah lantas bertindak memapaki orang asing ini. Ia membawa satu cawan yang terbuat dari tengkorak manusia, di dalam situ ada terisi arak yang warnanya hijau. Inilah arak yang biasa dijadikan minuman suguhan setiap ada upacara keagamaan, untuk menyambut setiap tetamu. Rasanya arak ada sedikit pahit. Koei Hoa Seng mencegluk arak itu. „Tetamuku yang mulia" berkata si orang tua, „bukannya kami tidak berlaku hormat kepada tetamu kami tetapi kami terpaksa hendak memohon kepada tuan. Di antara kami ini ada dua orang yang rohnya telah ditarik setan-setan dari Kota Iblis, oleh karena kami kuatir pengaruh jahat setan-setan itu nanti mengganggu kepada tuan, kami minta sukalah tuan lekas-lekas menyingkir dari tempat ini." Hoa Seng menjadi heran sekali. „Kota Iblis apakah itu?" ia menanya. Justru itu mendadak datang angin meniup keras. „Nah, kau lihat!" berkata si orang tua. „Bukankah itu Kota Iblis tersebut?" Ia bicara dengan suara tergetar, tangannya menunjuk ke atas. Hoa Seng dongak mengangkat kepalanya. Di udara ia menampak segelempang mega di dalam mana samar-samar terlihat wujud bagaikan sebuah kota, dengan rumah-rumah dan jalan-jalan besarnya, dengan menaranya dan tembok kotanya, atau sejenak kemudian, semua itu bersalin rupa warnanya, atau lagi sesaat, lenyap¬lah seluruhnya, udara kembali biasa seperti tadinya. Selagi tertampaknya apa yang mereka menyebutnya Kota Iblis, semua orang Tibet itu berikut si orang tua, yang rupanya menjadi tertua mereka, pada bertekuk lutut menghunjuk hormat mereka dengan segala kesujudan. Hoa Seng sebaliknya, tanpa merasa, ia tertawa sendirinya. Tidak lebih tidak kurang itulah permainan sang alam, ciptaan dari perubahan warna mega atau sinar layung. Memang aneh pemandangan itu tetapi tidak ada artinya suatu apa. Di pesisir atau di gurun pasir, tidak sukar mendapati pemandangan mega berubah seperti itu yang disebabkan pantulan sinar matahari. Ia bukannya seorang ahli alam akan tetapi selagi melintasi padang pasir di Sinkiang, Turkestan Tionghoa, beberapa kali ia telah menampak keanehan alam itu. Si orang tua heran ketika ia mengangkat kepalanya mendapatkan si orang asing tetap berdiri tegak dengan mata memandang ke „Kota Iblis," sama sekali tetamu ini tidak berlutut sebagai mereka itu. „Hai!" katanya, hatinya cemas, „Kota Iblis telah memperlihatkan diri, kenapa kau tidak lekas berlutut untuk memohon ampun? Kau tahu, sekalipun Chietupa tidak nanti dapat melindungi padamu………” Hoa Seng mengawasi kepada orang tua itu yang bertahayul, ingin ia memberikan penjelasannya, ketika sang alam mendatangkan perubahan pula secara tiba-tiba. Dengan sekonyong-konyong muncul pula sang angin, yang menderu keras, di dalam situ tercampur beberapa suara aneh, yang luar biasa, yang mirip dengan suara tambur perang, bunyinya guntur, atau seperti orang hutan menangis atau bagaikan orangorang peperangan tengah bernyanyi dengan nada tinggi. Suara campur-aduk itu benar dapat menggoncangkan hati orang. Sebentar kemudian, angin dahsyat itu telah mendatangkan juga serbuannya pasir atau batu halus, menyambar kepada patung malaikat Chietupa itu, maka tanpa ampun lagi, malaikat pelindung kesejahteraan itu lantas roboh ke tanah, tubuhnya hancur lebur! Semua orang Tibet itu kaget bukan buatan, serentak mereka menjerit, serentak juga mereka kabur ke segala penjuru tanpa menghiraukan serbuannya pasir dan batu halus itu. Chietupa ialah malaikat pelindung mereka, sekarang malaikat itu roboh, itulah tandanya bahwa sekalipun malaikat mereka kalah dari setan dari Kota Iblis yang sangat liehay itu. Kalau si Raja Iblis yang menang, bagaimana mereka dapat tidak lari tumpang siur? Angin dahsyat itu menyebabkan jagat menjadi remang-remang. Koei Hoa Seng hampir saja kena tertiup roboh angin hebat itu, hingga ia pun menjadi heran. „Benar-benar angin ini luar biasa hebat," katanya di dalam hati. "Dan suara angin pun luar biasa sekali. Di mana angin datangnya dari arah Kota Iblis itu, tidaklah heran jikalau orangorang Tibet ini menjadi sangat ketakutan, mereka menyangka telah diserbu angin puyu …….” Syukur sekali begitu mendadak datangnya angin, begitu lekas sirnanya. Maka selang tak lama, suasana menjadi tenang seperti biasa. Angin berhenti, pasir tak beterbangan pula. Cuaca pun menjadi terang jernih. Hanya apa yang kacau adalah reruntuhnya Chietupa serta pelbagai alat keagamaan, yang tersebar memulahan di sekitar situ. Sekarang Koei Hoa Seng dapat melihat dua sosok tubuh rebah di tanah, tubuh berikut mukanya ketutupan pasir kuning. Ia mendapatkan orang dandan sebagai orang Han. Ia merasa pasti mereka inilah yang orang-orang Tibet itu menyebut si orang asing yang menjadi kurbannya setan-setan dari Kota Iblis. Tidak ayal lagi ia menghampirkan dua orang itu, setelah mengasi turun kantung airnya, ia menyingkirkan pasir di muka mereka itu, terus ia mencucinya dengan air, maka dalam tempo yang pendek, terlihatlah wajahnya mereka. Begitu ia telah melihat tegas, ia menjadi kaget dan heran. Dari dua orang itu, yang satu ialah seorang yang tubuhnya tinggi-besar dan berewokan, umumya kira-kira empat puluh tahun. Yang lainnya ada seorang bocah usia tiga atau empat belas tahun, kulitnya putih-bersih, romannya cakap. „Dia toh Tong Leng putera angkat dari Tong Say Hoa?" kata Hoa Seng seorang diri setelah ia mengawasi pula wajah si anak tanggung. Tong Say Hoa ialah anak perempuan dari Tong Jie Sianseng ahli senjata rahasia di propinsi Soe-coan. Suaminya, yaitu Ong Go yang menjadi congpoutauw atau kepala seksi dari kantor soen¬boe di Hoolam, telah terbinasakan Thian San Lie-hiap Phang Lim, jago wanita dari gunung Thian San atau Thian San Pay. Oleh karena tidak mempunyai anak laki-laki, Say Hoa telah memelihara Tong Leng ini sebagai anak-angkatnya. Benar dia anak-angkat akan tetapi disayangnya bagai anak kandung sendiri. Mengenai bocah ini, ada satu hal yang Koei Hoa Seng tidak mengerti. Dengan keluarga Tong itu, keluarganya bergaul rapat turun-temurun, dengan begitu, tahulah ia tentang keluarga itu, akan tetapi sampai sebegitu jauh, belum pernah ia mendengar Tong Jie Sianseng atau Tong Say Hoa sendiri menceritakan asal-usulnya si anak angkat. Tong Leng sendiri ialah satu anak manis dan cerdik, siapa pun suka padanya. Maka pernah kejadian, selama Koei Hoa Seng berada di rumah keluarga Tong itu, përnah ia mengajarkan si bocah beberapa jurus ilmu silatnya. Mengawasi si orang tinggi besar, Koei Hoa Seng mengenali dia sebagai Kat Teng Liong, pahlawan yang kosen yang sangat dipercaya dari almarhum Ceng See Tayciangkoen Lian Keng Giauw, itu kepala perang pemerintah Boan yang telah ditugaskan berperang ke Barat. Sebenarnya, bicara dari hal ilmu silat, di antara pahlawanpahlawannya Lian Keng Giauw, Kat Teng Liong bukanlah yang terkosen, kalau toh ia ada sangat dipercaya dan diandali, itulah disebabkan kecerdikannya dan banyak akalnya, karena ia mengerti baik ilmu perang berkat ia telah membaca banyak kitab ilmu itu. Karena kepintarannya itu, dengan sendirinya ia mengatasi pahlawan-pahlawan lainnya. Tidak beruntung untuk Lian Keng Giauw, setelah berjasa besar dan kedudukannya naik tinggi, oleh Kaisar Yong Ceng ia dibuang ke kota Hangcioe di mana ia diberi tugas menjaga pintu kota, setelah mana, ia tak luput dari hukuman mati yang dihadiahkan pemerintah kepadanya. Tempo Lian Keng Giauw dibuang, bubarlah semua orang sebawahannya. Mengenai Kat Teng Liong, orang menyangka dia bakal turut majikannya ke Hangcioe, untuk tinggal bersama di tempat pembuangan. Kemudian ternyata dugaan itu meleset. Berbareng dengan dibuangnya panglima perang besar ini, lenyap juga pahlawannya, si orang she Kat ini, lenyap tidak keruan paran, hingga kaum kang-ouw, atau Sungai Telaga, menyangka jelek terhadapnya. Mereka itu menjadi percaya bunyinya pepatah, „Kalau pohon roboh, buyarlah sang kera." Maka sungguh tidak disangka sama sekali, sekarang Kat Teng Liong kedapatan di Tibet ini dan bersama Tong Leng juga ……….. Sungguh tak dapat dipikirkan: Kenapa Tong Say Hoa rela melepaskan anak-pungutnya mengikuti Kat Teng Liong si pahlawan kepercayaan dari Lian Keng Giauw almarhum? Keluarga Tong tidak mencampuri urusan pemerintahan, dengan Lian Keng Giauw tidak ada sangkut-pautnya, maka itu, mengapa Tong Leng bolehnya mengenal si orang she Kat ini? Jikalau mau dibilang, bocah ini buron, mustahillah ia mempunyai nyali demikian besar? Pula, dapatkah ia meninggalkan ibu angkatnya itu yang sangat mencintai ia? Dan, yang paling aneh, mengapa mereka berada di gurun pasir ini dalam keadaan tak sadarkan diri hingga mereka menyebabkan penduduk Tibet itu mengarak malaikatnya untuk memanggil pulang roh mereka, yang katanya dirampas setansetan dari Kota Iblis itu? Dengan teliti Hoa Seng memeriksa tubuhnya kedua orang yang pingsan itu. Ia tidak mendapatkan sesuatu luka apa juga. Ia mengatakannya pingsan karena nadi mereka itu berjalan dengan baik, tldak ada tanda sekalipun yang mereka telah kena totokan tangan liehay. Sebaliknya, wajah mereka merah, seperti mereka habis menenggak air kata-kata. Tempo tubuh mereka digoyang pergi-datang, tetap mereka tidak mendusin. Sebagai ahli, Hoa Seng tidak melihat apa-apa yang luar biasa, yang mencurigai ……. Sekian lama Hoa Seng menjublak saja, mendadak ia ingat suatu apa. „Kenapa aku tidak hendak mencoba dengan Thian San Soatlian?" katanya di dalam hatinya. Thian San Soat-lian itu, teratai-salju dari gunung Thian San, mempunyai khasiat dapat menyembuhkan banyak macam penyakit disebabkan pelbagai racun atau bisa. Sangat sukar mendapatkan teratai istimewa itu. Ketika Hoa Seng pesiar di Sinkiang, beruntung sekali ia mendapatkan tiga kuntum di puncak utara tertinggi dari Thian San. Di waktu mekar, bunga itu ada sebesar mangkok, warnanya warna sinar layung, setelah kering, masih ada sebesar kepalan. Begitu bunga itu dikeluarkan dari saku, berserakanlah harumnya yang halus semerbak. Dengan lantas Hoa Seng menempelkan soat-lian di hidungnya dua orang itu. Tidak lama, lantas terdengar suara bernapas mereka. Ia menjadi girang, ia jadi mendapat harapan. Lewat lagi sekian lama, Teng Liong mulai mendusin lebih dulu. Ketika ia membuka kedua matanya, ia agaknya terperanjat. Ia dapatkan di depannya ada orang berdiri dengan tangan di gagang pedang, orang mana mengawasi ia dengan roman murka. „Kau siapa? Tempat apakah ini?" ia menanya. „Hm!" menjawab Hoa Seng, „Tunggulah sampai bocah ini mendusin, baru kita bicara!" Teng Liong berdiam, ia mengawasi orang dan bocah di sisinya itu. Tidak lama, Tong Leng pun sadar. Begitu ia melihat Koei Hoa Seng, ia berseru dengan kegirangan: „Paman Koei, adakah ini Kota Iblis?" Hoa Seng heran. „Kota Iblis?" ia balik menanya. „Apakah itu?" Tapi hanya sejenak, ia lantas memperlihatkan wajah sungguh-sungguh. Ia menanya: „Tong Leng, tunggu dulu! Hendak aku menanya ini orang!" Dan ia lantas berpaling kepada Kat Teng Liong, yang ia bentak: „Kau bernyali besar, kau berani menculik puteranya Keluarga Tong." Sementara itu telah pulih ingatannya Kat Teng Liong, maka itu mendengar panggilan Tong Leng kepada orang yang menegurnya, ia pun lantas mengenalinya. Ia tertawa sambil berlenggak. „Oh orang gagah si pembela keadilan!" katanya. „Dengan sembrono kau menuduh orang! Sekarang kau tanyalah bocah ini, apa benar aku telah menculik dia!" „Memang bukan, paman Koei," Tong Leng lekas berkata. „Yang benar akulah yang ikut dia." Hoa Seng tercengang. „Mengapa kau meninggalkan ibumu dan mengikuti dia ini?" ia menanya selang sesaat. „Tahukah kau dia siapa?" „Dialah paman Kat Teng Liong," menyahut Tong Leng cepat. Tapi ia mengelakkan diri dari pertanyaan mengapa ia meninggalkan rumahnya. Melihat sinar matanya, yang tak tenang, ia mirip seorang tua yang tengah berpikir keras, ia bukan miripnya seorang bocah. Hoa Seng menjadi heran dan bercuriga. Tidak dapat ia menerka Teng Liong menggunai akal apa untuk membujuk bocah ini mengikut padanya. „Serahkan anak ini padaku!" kata ia kemudian, tangannya memegang gagang pedangnya, wajahnya bengis. „Kau sendiri, pergilan kau ke rumah Keluarga Tong untuk memohon maaf!" „Yangan!" Tong Leng berkata. „Aku suka sendiri mengikut Paman Kat. Jangan kau menyusahi dia, Paman Koei." Hoa Seng tidak mempedulikan bocah itu. „Aku tidak tahu bagaimana caranya kau membujuk bocah ini!" katanya, tetap bengis. „Pendek, jikalau kau tidak serahkan anak ini kepadaku, hendak aku menjalankan kebiasaan kita kaum kang-ouw, ialah kita berdua bertempur untuk memastikan siapa tinggi dan siapa rendah!" „Aku bukannya tandinganmu!" kata Kat Teng Liong tawar. „Di dalam hal ini, aku tahu diriku siapa." Dulu hari ketika Lian Keng Giauw mengajukan pasukan perangnya ke Cenghay, di sana Koei Hoa Seng telah menunjuki kegagahannya tempo ia menolongi seorang touwsoe atau kepala suku meloloskan diri dari kepungan, untuk itu ia telah membinasakan beberapa pahlawannya panglima perang besar itu. Kat Teng Liong ketahui baik peristiwa itu, maka sekarang tak suka ia menempur orang kosen ini. „Kalau begitu, nah, kau serahkan ini bocah padaku!" „Tidak!" jawab Teng Liong. „Bocah ini tidak dapat diserahkan padamu!" Hoa Seng menjadi gusar sekali. „Kecewa kau menjadi orang kang-ouw kelas satu!" serunya. „Kenapa kau begini tidak tahu malu? Apakah kau takut mampus?" Teng Liong tertawa sambil melenggak. „Jikalau aku takut mampus, tidak nanti aku melakukan perjalanan jauh dan sesukar ini!" katanya lantang. „Tidak nanti aku bawa bocah ini ke Tibet sini! Aku bukannya takut mampus, hanya aku kuatir, setelah aku mati, nanti tidak ada orang yang melindungi dan menunjang padanya!" „Ngaco!" Hoa Seng membentak. „Anak ini toh ada ibu angkatnya yang nanti merawatnya! Perlu apa kau mencapaikan hati untuknya?" Dengan memegang gagang pedangnya, jago ini mengancam untuk menyerang. „Paman Koei!" berseru Tong Leng, „jikalau paman menyanyangi aku, aku minta kau jangan bikin susah padanya!" Hoa Seng heran. „Kenapakah?" ia tanya. „Sebab seumur hidupku, sudah pasti aku akan mengikuti Paman Kat ini," menyahut si bocah. „Jikalau paman mambunuh mati padanya, habis aku harus mengandal pada siapa lagi?" „Ah!" Hoa Seng bersuara. Ia heran untuk bocah yang pandai bicara itu. „Bukankah tahun ini kau masuk usia empat belas tahun?" katanya, mengawasi dengan tajam. „Kenapa kau agaknya begini sangat tak tahu urusan? Apakah tak cukup rawatannya kakek dan ibumu she Tong itu? Kenapa kau tidak ingat lagi budi mereka yang sudah memelihara dan mendidikmu?" Airmatanya Tong Leng mengembang hendak bercucuran. Ia sebenarnya tidak hendak berbicara tetapi ia kuatir ini paman Koei benar-benar membinasakan Paman Kat-nya itu. Maka memainlah biji matanya, berputar-putar. Sekonyong-konyong: „Bukan! Aku bukannya anak keluarga Tong!" ia berseru. Hoa Seng terkejut, untuk segera menjadi murka. „Ingat!" katanya, bengis. „Sejak masih kecil sekali kau telah dipiara dan dirawat Keluarga Tong, kau harus ketahui budinya ibu angkatmu melebihkan budi ibu kandungmu sendiri!" „Akan tetapi aku masih mempunyai ayahku sendiri!" kata Tong Leng, gagah. Hoa Seng bercekat hati. „Siapakah dia?" ia tanya. Tong Leng mengangkat kepala dan tubuhnya, sikapnya bangga. „Ayahku ialah Tayciangkoen Lian Keng Giauw yang pernah memimpin angkatan perang dari seratus laksa serdadu!" jawabnya nyaring. Hoa Seng benar-benar terkejut. Inilah di luar dugaannya. Ia mau percaya bocah ini. Maka aneh sekali, anak-angkatnya Tong Say Hoa sebenarnya ada puteranya itu panglima perang besar she Lian yang kesohor! Selagi ia tercengang, ia mendengar tangisan seduh-sedan dari si bocah. „Memang besar sekali budinya ibu-angkat dan itu tidak dapat dilupakan," dia berkata, „akan tetapi juga sakit hatinya ayahku, aku si anak tidak dapat tidak membalasnya!" Hoa Seng mengerutkan keningnya. Ia kenal baik Lian Keng Giauw terutama semasa panglima itu berperang ke timur dan ke barat, membantu pemerintah Boan menindas sesama orang Han dan suku lainnya. Perbuatan itu membangkitkan kemarahan dan kebenciannya setiap penyinta negara. Ketika kemudian dia dibinasakan Kaisar Yong Ceng, kaisar mana pun terbinasa di tangannya pendekar wanita Lu Soe Nio, semua orang merasa girang dan puas sekali. „Ah, kau hendak membalas musuh apa?" tanyanya kemudian. Tong Leng menyusut air matanya. „Sakit hati ayah dan ibu besar luar biasa!" sahutnya nyaring. „Mungkinkah ayahku itu pantas mati penasaran?" „Memang juga ayahmu mati pantas," kata Hoa Seng di dalam hatinya. Ia hendak mengucapkan itu tetapi akhirnya dapat ia membatalkannya. Ia berpikir pula: „Lian Keng Giauw berdosa terhadap bangsa, bocah ini tidak. Dia pun, setelah dewasa nanti, akan menginsafi ayahnya itu orang macam apa .... Sekarang dia masih terlalu kecil, jikalau sekarang aku menjelaskannya, hatinya tentulah tak kuat mempertahankan diri," Karena memikir begini, ia menghela napas. Lantas ia bersenyum. „Bagaimana caranya kau hendak menuntut balas?" ia bertanya. 02. Kembang Iblis di Kota Iblis Tong Leng melirik Hoa Seng berulangkali. Kalau tadi sinar matanya seperti sangat bermusuh, sinar itu sekarang menjadi berkurang tajamnya. „Paman Kat membilangi aku,” ia menyahut, „wilayah Tibet ini terlalu jauh dari Tionggoan, pengaruhnya pemerintah Boan sukar sampai di sini, maka di sini kami hendak memasang pokok dasar untuk nanti membangun usaha, supaya kami bisa menggeraki angkatan perang. Syukur jikalau kita menang, kalau toh kita gagal, kita boleh menetap di sini memperkokoh kedudukan kita!" Di waktu bicara, Tong Leng bersikap gagah mirip ayahnya dulu memerintah pasukan perangnya. „Sungguh tidak kecewa dia menjadi puteranya Lian Keng Giauw," memuji Hoa Seng, kagum. „Kat Teng Long ini pun tidak kecewa menjadi juru pemikir dari Lian Keng Giauw, dia dapat memikir dan memandang demikian jauh! Tapi, soal mereka ini tidak dapat aku tidak mencampurnya tahu!" Maka ia cekal tangannya Tong Leng, untuk ditarik dengan perlahan-lahan. Ia tertawa. „Kau bersemangat, anak!" katanya, sabar. „Meski begitu, kau mesti dapat membedakan mana yang benar mana yang salah, mana yang baik mana yang busuk." „Bagaimana itu, paman?" tanya Tong Leng. „Coba paman tolong menjelaskan." „Sekarang ini kau tengah terserang racun harum, kau harus tidur beristirahat dulu," kata paman itu. „Sebentar, setelah kau mendusin, aku nanti bicara pula denganmu." Dengan perlahan Hoa Seng menekan, menotok jalan darah pulas, maka berdiamlah bocah itu. Ia terus menoleh kepada Teng Liong, untuk menunjuki roman murka. „Bagus, ya!" serunya. „Seorang bocah baik-baik kau telah membujuknya ke jalan sesat! Kau tahu, dosamu ini melebihkan dosa membunuh orang dan membakar rumah!" „Aku mengajari dia membalas sakit hati ayahnya, adakah itu dosa?" balas tanya si orang she Kat. „Lian Keng Giauw itu, seluruh negara membilangnya: dia pantas binasa!" kata Hoa Seng. „Pantaskah orang membalaskan sakit hatinya?" „Kalau lain orang yang membinasakan Lian Keng Giauw, masih ada alasannya," berkata Teng Liong, tenang. „Tetapi Yong Ceng ialah orang yang dibela dan ditunjang Lian Keng Giauw hingga dia bangun, pantaskah dia membunuh penunjang dan pembelanya itu? Kalau aku tidak menuntut balas untuk Lian Tayciangkoen, mana dapat aku melampiaskan dadaku yang sesak ini? Di masa hidupnya, Tayciangkoen perlakukan aku baik sekali, sudah sewajarnya aku membalas budinya itu. Apa yang lain orang anggap atau bilang, aku tidak ambil perduli!" Hoa Seng berpikir: „Orang bilang Co Coh pun mempunyai sahabat karibnya, itulah benar." Maka ia menatap orang she Kat itu dan berkata: „Bukankah Yong Ceng itu telah terbinasakan Lu Soe Nio? Kau membilang hendak menuntut balas, bukankah sakit hati itu sudah terbalas?" „Memang Yong Ceng sendiri telah terbinasakan akan tetapi negara kita ini masih tetap dikangkangi oleh kaum keluarga Aisin Gioro!" seru Teng Liong. Mau atau tidak, semangatnya Hoa Seng terbangun. „Bagus," ia pun berseru. „Aku tidak sangka kau, pahlawannya Lian Keng Giauw, dapat bersuara sebagai orang gagah kaum kang-ouw! Baiklah, jikalau kau hendak membalas sakit hatinya bangsa Han, untuk mengusir bangsa asing itu, urusanmu ini aku tak akan campur tahu lagi! Tapi tentang bocah ini, kau harus membawanya dia pulang kepada ibunya, tunggu sampai ia sudah dewasa, kita nanti membiarkan dia pilih jalannya sendiri! Kau akur atau tidak?" Teng Liong cuma berpikir sebentar ketika ia memberikan jawabannya: „Baiklah! Mengingat budi ini hari sudah menolongi kami berdua, suka aku menurut perkataanmu." Di mulut Teng Liong mengucap demikian, sebenarnya citacitanya beda dengan cita-citanya orang gagah kaum kang-ouw seperti dimaksudkan Koei Hoa Seng. Dia justru hendak menggunai puteranya Lian Keng Giauw ini untuk memberontak, buat memenuhkan cita-citanya sendiri menanjak tinggi. la melihatnya Tong Leng cerdas sekali, hendak ia mendidiknya hingga orang dapat digunai sebagai perkakas. Maka itu, tanpa jerikan capai lelah dan kesengsaraan, ia membawanya si bocah ke perdalaman ini. Koei Hoa Seng sendiri berpikir: Orang ini bersemangat, benar kesetiaannya terhadap Lian Keng Giauw ada kesetiaan tolok, tetapi ia mencintai negara, dia dapat dihargai juga." Ia hanya tidak tahu orang sebenarnya kouw-katie, mementingkan diri sendiri saja. „Baiklah," ia berkata, kata-katanya seorang ksatria ......." „Bagaikan kuda pesat dicambuk satu kali!" Teng Liong menyambuti. Hoa Seng tertawa terbahak-bahak. „Bagus, aku percaya kau!" katanya. „Sekarang kau antar bocah ini pulang ke rumah keluarga Tong, nanti aku menulis sepucuk surat untuk Tong Jie Sianseng, akan menjelaskan padanya dan supaya dia tidak menyalahkan kau." Di situ ada sehelai kulit kambing yang ditinggalkan orang Tibet, Hoa Seng pungut itu, untuk dijadikan kertas istimewa, di atas itu ia mencoret-coret dengan ujung pedangnya, menulis surat untuk Tong Jie Sian¬seng itu. Kat Teng Liong menyambuti surat itu, untuk disimpan dengan rapi di dalam bajunya, tetapi sementara itu, ia sudah menetapkan pikiran lain........ Hoa Seng hendak segera menotok bangun kepada Tong Leng ketika ia ingat suatu apa, lantas ia menundah niatnya itu. „Bukankah barusan kamu omong tentang suatu Kota Iblis?" katanya. „Bagaimana makanya kamu kena keracunan hingga pingsan?" „Ya, kita pernah menyebut tentang Kota Iblis itu," menyahut Teng Liong. „Mengenai kota itu, sudah beberapa kali aku mencoba membuat penjelidikan, saban-saban aku gagal. Sebabnya ialah aku tidak berani mendatanginya sampai dekat, aku melainkan sampai di puncak di depan itu di mana aku hanya mendampinginya. Adalah kali ini yang aku mencoba datang lebih dekat, atau mendadak kena cium angin yang berdesir, yang baunya beda, lalu kami pingsan." Hoa Seng heran. „Benar-benarkah ada itu Kota Iblis?" ia menegaskan. „Setiap orang Tibet di sini dapat berbicara tentang Kota Iblis itu, aku tadinya menyangsikan," Teng Liong mengutarakan pikirannya. „Aku sebaliknya mau menduga di sana ada berdiam satu atau lebih orang yang liehay. Selama memandangi dari puncak, gunung itu, satu atau dua kali pernah aku melihat mengepulnya asap yang mumbul ke atas, atau kapan muncul angin hebat, dari sana terdengar itu suara yang beraneka-ragam yang mendenjutkan jantung ………” „Aku pun telah mendengarnya suara aneh itu," Hoa Seng membenari. Mendengar hal angin aneh itu, pemuda ini tidak terbangkit rasa herannya, tidak demikian dari halnya asap. Ada asap mesti ada api. Dari mana asalnya api itu? „Apakah kau melihatnya di dalam gunung itu ada kotanya?" ia menanya. „Tadi malam aku telah mencoba memasuki lembah itu," menjawab Teng Liong. „Samar-samar aku melihatnya di puncak gunung satu menara bundar yang ujungnya lancip, belum lagi aku melihat tegas, datanglah sambaran angin dengan baunya yang luar biasa itu, lalu kami tidak ingat apaapa lagi sampai sekarang kau menyadarkan kami." „Mestinya Kota Iblis itu aneh," pikir Hoa Seng. „Mesti ada rahasianya. Di mana sekarang aku telah tiba di sini, tidak dapat aku tidak melihatnya……" Ia lantas mengulur tangan kanannya, menotok sadar pada Tong Leng. Bocah itu mendusin untuk terus membuka matanya. Ia mengasi lihat roman girang kapan ia menyaksikan Hoa Seng dan Teng Liong berdiri berhadapan tanpa sikap bermusuh lagi, bahkan bersahabat. „Paman, adakah kamu berdua telah mencapai perdamaian?" tanya ia tertawa. „Sebenarnya pamanmu itu tidak bermusuh apa-apa denganku," menyahut Teng Liong. „Setelah sekarang semua jelas, tentu sekali dia tidak bakal membikin susah pada kami!" Sengaja Teng Long menyahut „kami." Di depan si bocah, ia hendak mengesankan itu dengan tajam. Ia hendak mengambil simpatinya bocah ini, supaya dia lebih rapat dengannya dan sebaliknya menjauhkan si orang she Koei. „Paman Koei, kau sungguh seorang baik!" kata Tong Leng girang. „Bukankah kau tidak hendak mencegah lagi aku membalaskan sakit hati ayahku?" Kembali Hoa Seng mengerutkan kening. Dengan perlahan ia berkata: „Yang benar dan yang keliru, yang baik dan yang busuk, tidak gampang-gampang untuk membedakan itu. Seorang yang berlaku baik terhadapmu belum tentu umum menganggap baik juga. Untuk mendapat tahu perbuatan sendiri tepat atau tidak, kita mesti mencoba mendengar suaranya orang banyak. Sudahlah, apa yang aku katakan sekarang belum tentu kau dapat tangkap artinya, maka itu baiklah kau pulang, disana kau dapat menyesuaikan kakek dan ibumu. Lewat lagi beberapa tahun, dengan kecerdasanmu, setelah kau dewasa, kau nanti mengerti jelas." Tong Leng pepat hatinya. Ia benar-benar kurang mengerti. „Pulang-pergi kau toh menyuruhnya aku pulang ke rumah?" katanya kemudian, suaranya nyaring. Teng Liong segera mengedipi mata. „Anak Leng, pamanmu ini bermaksud baik," ia berkata cepat. „Mari kami berangkat sekarang. Dengan kau mengikuti aku, aku tanggung tidak akan keliru." Orang she Kat ini sudah lantas menuntun tangannya anak itu. Koei Hoa Seng mengawasi orang berlalu melintasi lembah hingga mereka tak nampak lagi. Sejenak ia merasa, tidaklah sempurna akan membiarkan bocah itu mengikut Teng Liong. Akan tetapi ia sendiri tengah pesiar di Tibet ini, tidak leluasa untuknya mengajak-ajak bocah itu. Bukankah Teng Liong berjanji mengantarkan Tong Leng pulang? Habis beristirahat sebentar dan menangsal perut dengan rangsum keringnya, di waktu mana matahari sudah silam di barat dan sang rembulan mulai muncul di timur, pemuda ini segera berangkat ke arah yang dikatakan orang Tibet sebagai Kota Iblis ……… Setelah melintasi serintasan padang rumput, di sebelah depan jalan gurun pasir. Syukur gurun itu luasnya cuma belasan lie sekitarnya, tidak terlalu lama, dapatlah dilalui. Habis itu kembali padang rumput. Berjalan sampai tengah malam maka di depan Hoa Seng nampak gunung Nyenchin Dangla. Ia terus memasuki lembah yang mirip terompet. Sekarang ia melihat aliran es malangmelintang di atas gunung, di tengah malam seperti itu, sinarnya rada kebiru-biruan muda. Tengah pemuda ini memandang, tiba-tiba kupingnya mendengar guruh angin hebat. Benar saja angin itu membawa bau halus yang luar biasa, hingga ia merasakan kepalanya sedikit pusing, ia seperti kantuk ingin tidur. Karena ia insaf, lekas-lekas ia mengeluarkan soat-lian, ia bawa itu ke hidungnya untuk menyedot bernapas. Cepat sekali, lenyap rasa pusing dan kantuknya itu. Maka ia bertindak terus, tanpa menghiraukan angin yang meniup makin keras. Sekarang pun ia mendengar pula suara aneh yang ia dengar tadi siang. Benarlah, suara itu aneh dan banyak ragamnya, seperti yang di siang hari, bahkan kali ini lebih dahsyat lagi. Hoa Seng menutup kupingnya, ia jalan maju di lamping bukit. Sinar rembulan terang, ia dapat melihat dengan nyata. Maka terlihatlah di tembok gunung itu banyak sekali liang-liang kecil, yang mirip dengan sarang tawon. Selagi ia memperhatikan itu, tiba-tiba ia mendengar suara ting tong ting tong di bawahan kakinya, seperti lagu tetabuan ……… Sekonyong-konyong pemuda ini tertawa sendirinya. „Ha, kiranya inilah sumber suara aneh yang terbawa angin itu!" katanya dalam hati. Semasa di Thian San di mana ia pesiar kelilingan, Hoa Seng pernah mendengar juga suara semacam ini yang datangnya dari bawah gunung. Mulanya ia heran, sesudah meneliti, tahulah ia sebabnya atau asal dari mana suara itu datang. Di sekitar apa yang dinamakan nadi gunung dari gunung Thian San itu ada kedapatan bukit es yang besar sekali, karena gempa bumi, gunung yang tinggi di bagian belakang longsor, menindih bukit es itu, lalu hari ketemu hari, es itu lumer sendirinya, maka dengan lumemya es, terjadilah tanah gerohong, kosong. Di tempat yang kosong itu air es mengalir memperdengarkan suara. Inilah suara yang berirama sebagai musik atau sebagai tindakan kaki, demikian rupa suara itu, hingga dapat mengejutkan hati orang yang baru pertama kali mendengarnya. Sambil meneliti pelbagai liang itu yang mirip sarang tawon, sambil menempel kupingnya di beberapa liang, yang besarkecilnya tak rata, Hoa Seng mendengar suara yang disebabkan siuran angin. Suara itu berbeda-beda. Liang itu sudah terjadi karena sampokan pasir yang terbawa angin dahsyat, sedikit demi sedikit, akhirnya menjadi pelbagai liang. Serangan angin menjadi lebih hebat karena lembah itu panjang dan sempit. Penduduk gurun pasir atau padang rumput, yang cupat pandangannya, yang terpengaruh takhjul, tidak berani mencari tahu sebab-sebabnya suara itu, dengan gampang saja mereka menduga kepada sepak terjang iblis, tidak heran kalau mereka jadi ketakutan. Walaupun segala apa telah menjadi terang baginya, Hoa Seng masih heran dan bercuriga karenanya. Kenapa di situ ada orang bertinggal berumah-tangga? Apakah maksudnya orang berdiam di dalam lembah itu? Mungkinkah di dalam gunung itu benar ada kotanya? Bukankah soal Kota Iblis itu telah lama tersiarnya — mungkin semenjak dulu kala? Maka makin bernapsulah pemuda ini hendak menyelidiki. Bagus untuknya, angin pun telah berhenti, jadi ada terlebih leluasa untuk ia mendaki dengan perlahan-lahan. Beberapa puncak telah dapat dilewati. Setelah itu tibalah ia di suatu tempat, yang mirip dunia lain....... Di hadapannya sekarang terbentang tanah datar di mana ada sisa-sisa genting dan tembok, reruntuhnya kuil-kuil satu menara yang telah lama ambruk dan lainnya. Maka teranglah itu suatu bekas kota tua. Hanya apa yang aneh, segala reruntuh itu seperti bekas dikumpulkan — seperti juga belum terlalu lama ada orang yang telah mengumpulkannya. Hoa Seng melalui bekas kota tua itu. Dari situ ia memandang ke atas gunung. Segera ia menampak sesuatu yang terlebih mengherankan. Di atas gunung itu ada sebuah, menara putih yang utuh, tingginya belasan tombak. Di samping menara itu ada dua petak rumah dengan wuwungannya bundar mirip dengan daun teratai. Itulah rumah yang modelnya beda dari kebanyakan rumah bangsa Tibet. Di sebelah itu masih ada dua rumah lainnya, yang mendatangkan cahaya berkilau, entah dari bahan apa dibuatnya. Dari tempat jauh, taklah itu dapat dilihat tegas, melainkan bisa diduga, itu bukannya rumah dari jaman dulu kala, bahkan itu adalah bangunan baru. Koei Hoa Seng tidak mempercayai adanya Kota Iblis tetapi toh ia merasa aneh. Ada rahasia apakah di atas gunung itu? Oleh karena nyalinya yang besar, pemuda ini berjalan terus, sampai tiba-tiba hidungnya merasakan angin yang membawa semacam bebauan harum semerbak, walaupun ia menyiapkan soat-lian, matanya sedikit berkunang dan hatinya rada goncang. Ia lantas memasang matanya. Sekarang terlihat di sana banyak sekali pohon bunga, yang luar biasa, yang warnanya merah, putih dan biru, di terangnya sinar rembulan, indah sekali dipandangnya. Sambil mengemu dua lembar soat-lian, Hoa Seng bertindak di antara pohon-pohon bunga itu. Karena ini tahulah ia, bau harum yang terbawa angin itulah bau harum dari bunga-bunga ini. Ia menghentikan tindakannya, untuk memandangi semua bunga itu, yang berada di sekitarnya. Tidak lama atau mendadak ia mendengar suara tindakan kaki orang. Ia menjadi sangat heran. Dari antara pohon-pohon bunga itu, ia mengintai. Ia lantas menampak tiga orang. Orang yang pertama adalah seorang pahlawan yang mengenakan pakaian serba hitam, yang berewoknya panjang seperti jenggot kambing gunung. Dia ini memimpin, atau diikuti dua lhama, atau pendeta Tibet, yang berpakaian serba putih. Mereka lagi berjalan menuju ke arahnya. Si pahlawan bertubuh besar dan kekar, melihat romannya, dia bukannya orang Tibet. Hoa Seng pun memperhatikan dua lhama baju putih ini. Di Tibet, agama lhama itu terbagi dalam tiga golongan. Sebelum jaman kerajaan Ceng, yang berkuasa ialah lhama golongan Merah. Di jaman Ceng, golongan Kuning yang dijadikan agama negara. Kemudian golongan Merah ini tak memperoleh kemajuan tetapi diijinkan tetap di Tibet. Golongan yang ketiga ialah golongan Putih. Pemimpin tertinggi dari golongan Lhama Putih ini dipanggil hoat-ong atau raja agama atau buddha hidup. Di jaman kerajaan Beng, golongan Putih dan golongan Merah sama kedudukannya dan oleh Kaisar Beng Thay-couw pernah dianugerahkan kehormatan sebagai Koan-teng Kok Soe, ialah Guru Negara, serta dihadiahkan firman untuk menguasai ketiga golongan. Pada masanya Kaisar Cong Ceng di akhir kerajaan Beng, Dalai Lama V dari golongan Kuning bersama-sama Panchen Lama IV telah meminjam pasukan perang dari Kushih Khan, kepala suku bangsa lainnya. Selama seratus tahun lebih, golongan Putih ini tidak pernah berani meninjak pula tanah daerah Tibet. Oleh karena ketiga agama itu terbedakan warna jubah mereka, teranglah kedua lama berbaju putih ini adalah dari golongan Putih. Karenanya, Hoa Seng menjadi berpikir. „Kedua golongan Putih dan Merah adalah musuh-musuh besar, kenapa mereka ini, berani menyelundup masuk ke mari?" demikian pikirnya. Lantas juga ia mendengar suaranya si pahlawan pakaian hitam itu: „Putera raja kami mendengar kabar kedatangannya utusan dari Hoat-ong, dengan sengaja ia datang ke mari untuk melakukan penyambutan dengan segala kehormatan. Juga ada beberapa touwsoe yang bakal turut datang ke mari. Ha ha! Inilah jodoh yang langka, pertemuan yang sukar didapatkannya!" (Touwsoe ialah kepala suku). Koei Hoa Seng menjadi semakin heran. „Putera raja siapakah itu?" tanya ia pada dirinya sendiri. „Kalau dia putera raja Tibet, mengapa dia tidak menjanjikan pertemuan di Lhasa hanya di ini gunung yang penuh keanehan?" Pula suara kaku bahasa Tibet dari si pahlawan baju hitam itu mendatangkan kecurigaannya pemuda ini. Kedua lhama Putih itu mengucapkan beberapa kata-kata akan tetapi karena mereka sudah berjalan semakin jauh, katakatanya itu tidak terdengar nyata. Mereka jalan mendaki, lalu tak lama, Hoa Seng tidak melihat lagi tubuh mereka bertiga. Ketika ia hendak keluar dari tempatnya sembunyi, tiba-tiba ia menampak seorang lhama Putih datang sambil berlari-lari, ketika dia hampir sampai di pohon bunga itu, mendadak saja dia roboh terguling, sampai sekian lama, dia tak bangun pula, mungkin dia pingsan. Untuk sejenak Hoa Seng melengak, atau segera ia sadar. „Mengertilah aku sekarang," katanya dalam hati. „Dua lhama Putih yang pertama itu mempunyai obat pemunah, dia ini tidak, maka dia roboh karena dapat mencium harumnya bunga di sini. Kenapa dia tidak mempunyainya? Kenapa dia tanpa pengantar jalan? Ini pun aneh!" Segera pemuda kita, berlompat keluar dari tempatnya sembunyi. Ia melihat si lhama Putih dalam keadaan bagaikan orang mabuk, sifat keracunannya sama benar dengan sifatnya Kat Teng Liong dan Tong Leng. Kat Teng Liong berdua ro¬boh baru saja mereka tiba di lembah," Hoa Seng berpikir, „dia ini roboh setibanya di depan pohon bunga, inilah menandakan kemahiran tenaga dalamnya." Oleh karena ia mengandung maksud, Hoa Seng masuki dua lembar soat-lian ke dalam mulutnya lhama Putih itu, setelah mana, ia menantikan. Tidak lama, sadarlah pendeta Tibet itu, bahkan segera ia berlompat bangun. Tapi lantas saja ia menjadi gusar, dalam bahasanya, bahasa Tibet, ia mendamprat. „Ha, kau menggunai ilmu siluman apa?" ia menegur, yang mana dibarengi sama melayangnya tinjunya. Hoa Seng menangkis. Ia lantas merasakan tenaga orang yang besar. Ia sebenarnya hendak mengajukan pertanyaan, atau lhama itu menghentikan serangannya, bahkan dia berdiri menjublak, mengawasi orang yang diserangnya itu. Sebab dia mengenali, orang adalah orang Han. „Eh, kau siapa?" ia menanya, tinjunya ditarik pulang. Hoa Seng tidak menjadi gusar atau tidak senang, ia malah tertawa. „Tanpa aku, sampai sekarang kau masih belum sadar!'' katanya. „Kau siapa?" Lhama itu berdiam. Ia pun heran karena ia merasakan mulutnya mengemu dua lembar bunga teratai. Ketika juga ia melihat bunga-bunga dengan warna-warna biru, putih dan merah itu, ia terkejut, hingga ia keterlepasan berkata: „Ah, kiranya ini bunga asura! Cuma di dalam kitab aku mengetahui bunga ini, tidak kusangka di sini aku dapat menenemukannya! Kau siapa? Mengapa kau begini pandai hingga kau dapat menolongi aku?" „Aku hanyalah orang Han biasa," menyahut Hoa Seng sabar, „cuma kebetulan saja aku membawa soat-lian asal gunung Thian San dengan apa aku dapat menyembuhkanmu. Inilah tidak ada artinya. Kenapa ini bunga asura membuatnya kau kaget sekali?" „Kau tidak tahu, itulah sebabnya kau heran," menyahut si pendeta Tibet. „Asura itu dalam bahasa Sangsekerta berarti iblis, maka bunga ini dinamakan juga bunga iblis. Dalam kitab Kerajaan Buddha, kalau bunga asura sedang mekar, siapa kena mencium baunya, dia sama juga menemui iblis, dia akan segera roboh pingsan. Sekarang terbuktilah keterangan kitab itu. Bunga ini cuma terdapat di puncak es yang paling tinggi, tetapi sekarang orang menanamnya di sini, sungguh si penanam pandai sekali! Eh, kau sebenarnya siapa? Bukankah kau orangnya mereka itu?" „Siapa mereka itu?" Hoa Seng balik menanya. „Kau sendiri siapa?" Pendeta itu nampaknya heran sekali. „Kau tidak tahu siapa mereka itu?" katanya. „Habis perlu apa kau datang ke mari?" „Aku berniat mencari tahu tentang Kota Iblis," Hoa Seng menjawab. „Kota Iblis... Kota Iblis..." pendeta itu kata tak tegas. „Kota Iblis?" „Benar. Orang Tibet menyebutnya tempat ini Kota Iblis." Lhama itu tertawa. „Di dalam Kota Iblis ada bunga iblis, ah, pantaslah di sini ada rombongan iblis pada menari!" katanya. „Kalau begini, kau benarlah bukannya orang mereka itu. Karena kau bukannya, baiklah kau lekas-lekas pergi turun gunung!" Koei Hoa Seng menggeleng kepala. Pendeta itu menatap. „Jikalau kau tidak pergi, mungkin kau dapat menolong aku tetapi aku tidak nanti dapat menolongmu!" katanya sungguhsungguh. „Lekas pergi, lekas!" Hoa Seng heran melihat orang demikian sungguh-sungguh. Ia bersenyum. „Baiklah, sebentar lagi aku akan berlalu secara diam-diam," sahutnya. Justru itu ada melayang segumpal mega hitam, yang menutupi si rembulan sisir, dan angin pun mulai menderu pula. Melihat demikian, pendeta Tibet itu lantas lari mendaki. Menggunai saat cuaca gelap itu, Hoa Seng lari menguntit. Hanya, ketika selang tak lama mega hitam lenyap dan langit menjadi terang pula, si pendeta sudah nampak lagi. Hoa Seng mencari tempat untuk menyembunyikan diri, dari situ ia memandang ke arah depan. Ia mendapat kenyataan, ia telah sampai di depannya menara putih tadi. Menara itu luar biasa mo¬delnya. Bagian bawahnya merupakan kuil persegi. Di dalam kuil ada sebuah menara tinggi yang di bawahnya, di empat penjuru tembok luarnya, ada diukirkan dua buah mata masing-masing, di atas mata ada alisnya, dan di bawah mata ada benda seperti hidung, mirip dengan tanda tanya?" Bangunan semacam ini belum pernah Hoa Seng melihatnya, pula belum pernah ia membacanya di dalam buku apa juga. Dua rupa bangunan yang bercahaya gemerlapan, yang tadi ia melihatnya dari jauh-jauh, letaknya di samping menara putih ini. Di muka menara ada dua pahlawan berbaju hitam, yang berdiri berhadapan, yang berjalan maju ke depan masingmasing, setibanya mereka hingga dekat satu pada lain, sebelumnya bersamplokan, lantas mereka berhenti bertindak, untuk membalik tubuh, buat berjalan balik ke tempat dari mana tadi mereka mulai berangkat, hingga mereka jadi berjalan sambil saling membaliki belakang. Tempat mereka berangkat semula ialah di ujung kuil. Demikian mereka jalan bulak-balik secara lucu itu. Teranglah mereka tengah meronda di situ. Sesudah mengawasi sekian lama, Hoa Seng lantas bekerja. Ia menunggu sampai orang mulai berbalik, dengan pesat ia berlompat tinggi melewati kepala mereka itu, untuk menaruh kakinya di samping bangunan yang terang berkilau itu. Ia berlompat dengan ilmunya „Burung belibis putih menyerbu langit." Ketika ia meraba dengan tangannya kepada bangunan itu, ia merasakan hawa yang dingin. Maka, tahulah ia sekarang, rumah itu terbuat dari es yang keras. Rumah yang satunya lagi tidak demikian dingin, akan tetapi ketika ia bawa jari tangannya ke mulutnya ia merasakan sari asin. Jadi inilah rumah yang terbuat dari garam kristal. Hoa Seng heran berbareng lucu. „Kota Iblis ini benar-benar luar biasa," pikirnya. „Tempatnya, rumahnya, dan orangnya, semua aneh-aneh!" Dari tempat di mana ia berdiam, pemuda ini memandang kepada dua orang ronda tadi. Kebetulan mereka sampai di ujung dan belum membalik tubuh, ia lantas berlompat pula. Kali ini ia lompat naik ke menara putih, di tingkat pertama. Di sini ia menyembunyikan diri di payon pojok, untuk memandang ke bawah di antara genteng beling di wuwungan kuil. Di dalam pendopo ada sebuah patung Buddha yang besar sekali, tingginya beberapa tombak. Di depan patung itu ada berdiri seorang dari usia pertengahan yang romannya bengis, sebab dia bermata celong, berhidung bengkung, rambutnya teriap hingga ke pundaknya, sedang bajunya ialah jubah merah yang besar yang ditabur dengan mutiara. Di kedua sampingnya, sebaris ada sejumlah pendeta, sebaris yang lain ialah rombongan boe-soe atau pahlawan. Ketika itu kebetulan ada tiga orang Tibet, yang dandan sebagai pembesar, tengah menghunjuk hormat kepada orang yang romannya bengis itu. Seorang pendeta, yang berjubah hitam, terdengar berkata: „Utusan dari Raja Shaka, utusan dari Raja Lungchan, dan utusan dari Raja Atung, menghadap kepada Pangeran!" Dengan „pangeran" itu diartikan putera raja. 03. Persekutuan Pangeran Nepal Koei Hoa Seng lantas berpikir. „Ah, kiranya dialah si putera raja. Dilihat dari roman dan dandanannya, dia bukan miripnya orang Tibet. Dia putera raja dari manakah?" Sia-sia ia menerka. Putera raja ini dan itu beberapa pendeta, bahasa Tibetnya lancar sekali. „Sama sekali aku tidak mengharapi pembalasan budi," terdengar si putera raja. „Maksudku yang utama ialah membantu dengan sungguh-sungguh kepada ketiga raja kamu supaya bisa menjadi raja-raja jago seperti perapian kaki tiga di Tibet ini! Asal kamu melayani baik-baik utusanku, di belakang hari aku pun akan mengirim pasukan perang untuk membantu kamu. Adakah raja kamu telah mengerti?" „Sudah, sudah mengerti," menyahut ketiga pembesar Tibet itu. „Kita datang ke mari memang istimewa untuk membuat perjanjian dengan tuan pangeran." Putera raja itu, yang dipanggil tuan pangeran, tertawa lebar. Pendeta yang terdepan lantas menghampirkan dengan membawa cawan tengkorak yang memuat arak darah, dengan hormat ia mengangsurkan itu kepada si putera raja, siapa menyambutnya, untuk diangkat tinggi seraya ia berkata-kata dengan nyaring dalam bahasa Tibet, maksudnya : „Meminum sisa arak kamu adalah satu kehormatan, apakah kamu sudi meluluskannya?" Hoa Seng mendengar kata-kata itu tetapi ia tidak menangkap artinya yang benar, rnaka itu ia terus memasang mata. Utusan dari Hoan-ong atau Raja Shako, lantas mengangguk, ia menyambuti cawan arak dari putera raja itu, ia mengirupnya secegluk. Habis itu si anak raja menyambuti pulang cawan itu, untuk ia pun meminumnya. Setelah itu cawan, dengan bergantian, diangsurkan kepada utusan-utusan dari Raja Lung-than dan Raja Atung, yang masing-masing minum seperti utusan dari Shaka, dan si putera raja pun meminumnya bergiliran seperti bermula tadi. Di akhirnya putera raja itu tertawa terbahak. „Mulai saat ini dan selanjutnya, kita adalah seperti satu keluarga!” katanya nyaring. „Lebih dulu aku akan mengirim orangku untuk mendidik pasukan perang kamu." Sampai di sini barulah Hoa Seng sadar. Jadinya mereka ini baru saja menjalankan upacara perserikatan menurut cara bangsa Han, yaitu dengan minum arak tercampur darah. Si utusan yang minum lebih dulu, baru si putera raja, demikian mereka bergantian. Setelah minum arak darah, ketiga utusan mengundurkan diri ke tempatnya masing-masing. Belum lama, pendeta-pendeta di kedua samping mengasi dengar suaranya: „Utusan Hoat-ong tiba!" Mendengar itu, putera raja berbangkit dengan air muka berseriseri, ia sendiri yang menyambut utusan itu, ialah utusan hoatong atau raja agama. Yang datang itu adalah si pahlawan berbaju hitam, yang memimpin kedua pendeta lama Putih tadi. Nampak nyata, putera raja itu menyambut kedua utusan hoat-ong ini lebih hormat daripada perlakuannya terhadap ketiga utusan hoanong. Sambil membungkuk, putera raja membalas hormatnya kedua utusan Lhama itu. „Adakah Hoat-ong sehat-sehat saja?" dia menanya, „Dengan berkah perlindungan Buddha kami, Hoat-ong kami sehat tak kurang suatu apa," menyahut kedua utusan itu sambil menjura. „Selama beberapa tahun ini Hoat-ong telah meninggalkan tanah suci, hal itu membuatnya hatiku tidak tenteram,” berkata pula putera raja. Ini pun sebabnya kenapa sekarang aku bersedia menyambut Hoat-ong kembali ke Tibet. Mengenai maksudku ini yang setulusnya, mengertikah Hoat-ong?" Pendeta lhama yang pertama menyahuti, katanya : „Tuan pangeran berkenan melindungi Agama kami, atas itu bukan main bersyukurnya Hoat-ong, maka juga kami sekarang diutus datang ke mari untuk menyampaikan ucapan terima kasih beserta sekalian mengikat janji." Mendengar ini, kembali Hoa Seng terkejut. Ia ingat bahwa sudah semenjak seratus tahun yang belakangan ini di Tibet telah terjadi kekacauan agama, sebab pelbagai golongan saling berebut kekuasaan, hingga karenanya pernah terjadi beberapa kali pertempuran. Kalau sekarang juga agama Putih dari Cenghay hendak kembali ke Tibet, untuk melakukan penyerbuan, tidakkah itu berarti bencana perang terlebih hebat pula? Kembali terdengar tertawa nyaring dari putera raja itu. Ia mengangkat cawan tengkoraknya, ia mengucapkan pula katakatanya tadi dalam bahasa Tibet, ialah meminta supaya si utusan lama ini minum arak perserikatan itu lebih dulu, bahwa ia sendiri akan meminum sisa arak. Utusan lama yang menjadi pemimpin itu menyambut cawan arak istimewa itu, untuk meminumnya, ia membungkuk dengan hormat, akan tetapi belum lagi pinggiran cawan itu nempel sama bibirnya, mendadak pahlawan-pahlawan di kedua pinggiran pada mengasi dengar bentakan-bentakan yang berisik. „Siapakah itu yang datang?" putera raja menegur dengan bengis. „Kenapa kau berani lancang memasuki kuil yang suci?" Koei Hoa Seng segera menoleh, akan melihat siapa itu si lancang, yang seperti tidak menghormati tempat suci. Segera ia mengenali si pendeta Lhama Putih, yang tadi ia tolongi hingga sadar dari pingsannya. Dia ini membawa tongkatnya, tongkat Kioe-hoan Sek-thung, sembari mengangkat itu tinggi-tinggi, ia memperkenalkan dirinya dengan nyaring : „Akulah Maskanan utusan dan Hoat-ong Agama Putih!" Keterangan ini membuat terperanjat pendeta-pendeta dan pahlawan-pahlawan di kiri dan kanan, mereka lantas mengawasi dengan mata mendelong. Si putera raja pun mengkerutkan keningnya. „Utusan Hoat-ong berada di sini sekarang!" ia berkata. „Kau sendiri siapa maka kau berani memalsukan diri mengaku utusannya Hoat-ong?" Utusan lhama Putih ini mengibaskan tongkatnya Kioe-hoan Sek-thung itu. Di ujung tongkat itu ada dua renceng mutiara terbikin dari emas, dengan dikibaskan, terdengarlah suara mutiara itu nyaring. Sambil berbuat begitu, dia angkat kepalanya dan tertawa, hingga karenanya di lehernya nampak tergantungnya sebuah patung Buddha emas yang kecil, yang memperlihatkan sinar bergemerlapan. Dia pun berkata pula dengan nyaring: „Di sini ada bukti-bukti dari barang-barang suci milik Hoat-ong, adakah aku memalsukannya?” Kedua pendeta lhama yang pertama menjadi heran sekali. „Kenapa Hoat-ong pun mengirim kau ke mari?" mereka tanya. Tidaklah heran kalau mereka ini berdua menjadi bingung. Merekalah orang-orang kepercayaannya Hoat-ong, diutusnya mereka ke Kota Iblis ini untuk membuat persekutuan adalah secara rahasia, yang mengetahuinya cuma berbatas dengan beberapa orang. Di samping itu Maskanan, dalam Agama Putih, kedudukannya sangat rendah, dia pun bukannya sebagai pelindung, menurut pantas, dia tak berhak mengetahui urusan rahasia itu, maka aneh, dia sekarang mengaku menjadi utusan serta pun memegang bukti-bukti itu tongkat dan patung emas mungil. Putera raja menyaksikan kebingungan kedua utusan lhama itu, ia mengerti pada itu mesti ada sebabnya yang baru, entah perkembangan apa itu, tetapi ia cerdik dan tabah, tahulah ia apa yang ia mesti lakukan. Maka juga ia tertawa. „Bagus!" katanya nyaring. „Hoat-ong telah menambah perutusannya, itu menandakan bagaimana pentingnya urusan kita ini! Bukankah kau datang untuk memperkuatkan ikatan kita? Nah, silahkan minum araknya!" Dengan arak, putera raja ini maksudkan arak campur darah itu. Ia pun menyebutnya itu tetap dalam bahasa Tibet seperti tadi. Kedua matanya Maskanan berputar, tanpa sungkan-sungkan ia mengulur tangannya, akan menyambuti cawan arak tengkorak itu. Setelah ia memegangnya, bukannya ia bawa cawan itu ke mulutnya, hanya dengan tiba-tiba ia menghajarnya dengan tangannya yang sebelah lagi. Maka tak ampun, cawan itu pecah-hancur dan araknya berhamburan. Ia pun berseru: „Perserikatan apakah yang hendak dibikin? Hoat-ong justru menitahkan kamu untuk lekas kembali, supaya kamu jangan bercampuran sama segala kaum sesat!" Kedua utusan yang datang lebih dulu itu menjadi kaget, dari bingung mereka menjadi gusar, airmuka mereka berubah. „Benarkah Hoat-ong menitahkan begini?" menegaskan yang satu. „Kau bernyanyi besar!" membentak yang lain. „Surat titahnya Hoat-ong berada ditanganku! Bukankah kau main gila dengan titahmu ini?" „Kau membawa titahnya Hoat-ong yang mana?" Maskanan tanya. „Kau ngaco!" membentak pendeta yang ditanya itu. „Memangnya ada berapa Hoat-ong? Aku membawa titahnya Hoat-ong ke-XV!" Tapi Maskanan menjawab nyaring: „Hoat-ong ke-XV itu sudah mengundurkan diri, dia sudah menyerahkan kedudukannya! Sekarang ini aku mendapat tugas dari Hoat-ong ke-XVI!" Di dalam kalangan ketiga agama Lhama di Tibet, yaitu Golongan Merah, Kuning dan putih, cuma golongan Putih yang mempunyai aturan menyerahkan kedudukan Hoat-ong kepada penggantinya. Meski begitu adalah aneh, generasi yang ke-XV ini, yang sedang makmumya, secara mendadak sudah digantikan oleh generasi ke-XVI. Maka itu, kalau mulanya mereka kaget dan heran, kedua Lhama itu menjadi murka. Mereka lantas menduga kepada duduknya hal. „Bagus betul!" mereka berseru. „Jadinya kamu kawanan iblis, kamu sudah memberontak merampas kedudukan Hoat-ong kami! — Tuan pangeran, utusan ini utusan yang palsu!" „Kamu berdualah yang palsu!" Maskanan pun membentak. Putera raja berdiri di pihak dua Lhama yang pertama. Ia tertawa dingin. „Tak usah ditanya lagi, segala apa sudah menjadi terang!" katanya. „Utusannya Hoat-ong mana berani berlaku kurang ajar dan mengacau di ini tempat suci?" Habis berkata, ia lantas mengibaskan tangannya. Melihat tanda itu, kedua lhama berikut si pahlawan baju hitam sudah lantas bergerak, hampir berbareng mereka menubruk lhama yang mereka tuduh utusan palsu itu. Hebat Maskanan, ialah yang ditubruk, tetapi ia juga yang turun tangan terlebih dulu. Dengan sebat ia menangkis kedua lhama penyerangnya, sambil menangkis ia menghajar demikian hebat, hingga seketika itu juga robohlah dua penyerang itu, roboh dengan pingsan. Si pahlawan jadi gusar sekali, sambil berseru ia menghunus goloknya yang berupa mirip bulan sisir, dengan itu ia lantas membabat batang lehernya si lhama. Maskanan tidak berkelit, ia hanya menangkis dengan tongkat kebesaran di tangannya. Kedua senjata bentrok nyaring, ujung tongkat kebangkol golok, lelatu apinya berhamburan. Dengan cepat ia menarik pulang tongkatnya, untuk membalas menyerang, maka lagi sekali dua senjata beradu. Hebat akibatnya dua kali bentrokan itu. Baik tajamnya golok, maupun ujung tongkat, dua-duanya gompal dan kentop. Si pahlawan menjadi penasaran agaknya. Ia menarik pulang goloknya, begitu sebat ia menarik, begitu sebat juga ia membacok pula. Goloknya itu menyambar ke bawah. Maskanan tidak takut, ia mainkan tongkatnya untuk membuat perlawanan. Maka dahsyatlah pertempuran mereka ini, anginnya tongkat dan golok seperti turut saling menyambar. Koei Hoa Seng, yang menyaksikan pertempuran itu, berkata di dalam hatinya: „Goloknya pahlawan berbaju hitam ini beroman luar biasa tetapi ilmu silatnya tidak ada bagian-bagiannya yang istimewa, adalah ilmu tongkat dari Maskanan, benar-benar bukan sembarang ilmu, gerakannya sangat cepat dan tangkas, mirip dengan ilmu silat tongkat Hok Mo Thung-hoat." Hok Mo Thung-hoat ialah ilmu silat tongkat Menakluki Iblis. Dugaannya Hoa Seng tepat sekali. Setelah lagi beberapa jurus, sambil berseru Maskanan telah menyampok golok lawannya sampai terlepas dari cekalan dan mental melayang! Si putera raja mengasi dengar suara „Hm!" dan terus mengatakan sesuatu. Ia bukannya omong Tibet tetapi katakatanya tidak terdengar nyata. Atas itu seorang pendeta asing yang berdiri di paling muka muncul dari dalam barisannya. „Letaki tongkat itu untukku!" ia berkata nyaring kepada Maskanan. Ia maju dengan bertangan kosong. Maskanan tidak sudi menyerahkan, bahkan ia mendongkol. „Kalau kau bisa, kau ambillah!" bentaknya. Ia tidak takut, bahkan ia lantas putar tongkatnya itu mengurung si pendeta asing, yang berjubah kuning. Pendeta itu tertawa dingin. Ia tidak membilang apa-apa lagi, ketika ia mengasi kerja kedua tangannya, tongkatnya Maskanan lantas kena dipancing, berbareng dengan mana, lengannya pun digempur. Bagus bersilatnya pendeta ini, dan sebat gerakannya itu. Ia pun membangkitkan kekagumannya Hoa Seng. Sekarang terlihat tegas, kalau tongkat Maskanan dimainkan dengan tenaga luar, yaitu keras, tangannya si pendeta lama Kuning bergerak dengan tenaga dalam, yang lemas. Belum ada setengah jam, perbedaan mulai terlihat. Yaitu si pendeta lhama Putih mulai mengeluarkan keringat dan gerakan tongkatnya tak secepat mulanya. Menyaksikan perubahan itu, Hoa Seng bergelisah sendirinya. Inilah sebab simpatinya berada di pihaknya si pendeta Putih. Lalu terlihat si pendeta Kuning memutar tangannya, mirip dengan gerakan tipu-silat Tionghoa „Hoay tiong pauw goat," yaitu „Merangkul rembulan." Ujung tongkatnya Maskanan lantas saja kena disambar. Hoa Sang terkejut. Ia percaya tongkat itu bakal kena dirampas. Maskanan sendiri tidak kaget karenanya. Dengan sebat ia menggentak tongkatnya itu, menggeraki kaget kepala tongkat. Atas itu dengan tiba-tiba terlihat menyambarnya dua buah sinar kuning berkilau. Dari kepala tongkat itu melesat dua renceng mutiara emas, yang merupakan senjata rahasia yang luar biasa. Pendeta Kuning itu kaget bukan main, benar ia keburu melepaskan tangannya kepada tongkat lawan seraya berkelit juga, akan tetapi datangnya serangan hebat sekali, sebutir mutiara mengenai juga matanya, hingga ia lantas menjerit keras sambil menutupi mukanya. Si putera raja menjadi sangat gusar, ia geraki tangannya akan memberi tanda. Atas ini kedua baris pendeta dan pahlawan maju semua, untuk mengurung si pendeta Putih yang liehay itu. Maskanan memutar tongkat sucinya hebat sekali, lalu beberapa puluh mutiaranya menyambar-nyambar, akan tetapi hasilnya itu tidak seberapa, cuma beberapa orangnya saja yang terluka. Inilah disebabkan kecuali orang sudah bersiap sedia, di antara mereka tidak sedikit orang-orang yang liehay. Oleh karena terkepung rapat, biarnya ia gagah sekali, Maskanan segera terbacok dua kali dan pundaknya pun terhajar satu kali tangannya si lhama Kuning. Dia ini sangat mendongkol dan gusar karena sebelah matanya terhajar mutiara hingga buta, dari itu tetap ia mendesak dengan sengit. Mengetahui ia terancam bahaya, habis menyerang dengan senjata rahasianya itu, Maskanan menggunai ketika untuk berlompat keluar dari kuil, guna menyingkirkan diri. Akan tetapi musuhnya penasaran, si lhama Kuning terus mengejar, di belakangnya menyusul dua orang lain. Lhama Kuning ini liehay sekali, tubuhnya sangat lincah, bagaikan melayang di udara, ia menyambar ke arah lawannya dengan satu lompatan pesat, atau sekejab saja tangannya yang besar sudah menjambak ke punggungnya Maskanan. Lhama Putih itu juga tidak kurang liehaynya, dia merasakan datangnya sambaran angin, untuk membela diri, dia tidak berkelit atau lari terus, hanya, sebat luar biasa, tongkatnya menyerang ke belakang! „Aduh!" demikian jeritannya si lhama Kuning, menyusuli mana dia roboh terguling. Maskanan heran hingga ia tercengang. „Kenapakah dia jatuh?" pikirnya. „Tongkatku toh belum mengenai tubuhnya? Mustahilkah Sang Buddha telah membantui aku?" Selagi ia berpikir demikian, dua kali ia mendengar jeritan susulan, dan dua lhama lain pengejarnya roboh saling-susul seperti si lhama Kuning itu. Dalam sesaat itu, riuhlah keadaan karena dari dalam kuil semua orang memburu keluar, untuk turut mengejar, tetapi setibanya di luar, mereka semua heran dan kaget akan menyaksikan robohnya tiga lhama itu. Tidak seorang jua yang melihat bagaimana robohnya mereka. Dalam saat itu maka terdengarlah satu seruan nyaring sekali. Maskanan terperanjat, matanya seperti kabur ketika ia menampak berkelebatnya dua bayangan bagaikan awan merah yang melesat ke arahnya, sesudah ia melihat tegas, ia mengenali si putera raja serta seorang lhama Merah. Ia terperanjat karena ia tahu betul dua orang itu liehay sekali. Lama Merah itu sudah lantas mengasi lihat kepandaiannya. Ketika ia menyambar dengan tangan bajunya, Maskanan lantas terpelanting jungkir balik! „Tinggallah Kioe Hoan Sek-thung padaku!" si putera raja berseru sambil menggeraki tangannya, untuk menyambar gelang emas di kepala tongkat suci dari si lhama Putih. Berbareng sama serangannya pangeran ini, dua kali terdengar suara sambaran angin disusul sama teriakan keras dari si pangeran, agaknya dia telah mendapat luka, akan tetapi walaupun demikian, dia berhasil merampas tongkat itu. Menyusul si putera raja ini adalah merangsaknya seorang lhama Merah, yang dengan sebat sekali telah melakukan penyerangannya, karena mana, Maskanan merasakan kepalanya pusing dan matanya kabur, lalu sejenak itu juga, tubuhnya pun dirasakan menjadi enteng sekali, bagaikan orang angkat tengteng dibawa terbang di atas mega. Pendeta lhama Putih ini tidak tahu bahwa dia telah disambar Koei Hoa Seng, untuk dibawa kabur, sedang ketiga lhama Merah tadi pun terhajar ini penolongnya yang tidak dikenal olehnya. Putera raja itu melihat ada pertolongan untuk si lhama Putih, segera dia berkaok-kaok, terus sambil memperdengarkan suaranya itu, dia berlompat naik ke menara guna menyusul. Hoa Seng menjadi heran. Tadi ia telah menotok pangeran itu, siapa tahu sekarang dia masih dapat bergerak dengan leluasa. Oleh karena ini, sambil sebelah tangan mengempit Maskanan, dengan tangannya yang lain ia menyerang, menyambuti pangeran itu, untuk mengundurkan dia. Putera raja itu diserang Hoa Seng dengan tangan kiri, hebat serangan itu, tidak perduli dia tangguh sekali, dia kena juga tertolak mundur hingga jatuh turun dari atas menara. Selagi pangeran itu roboh, seorang lhama Merah berlompat sampai, dengan lantas dia melakukan penyerangan. Sudah kepalang, Hoa Seng menyambutnya juga. Dengan begitu, tangan mereka bentrok satu pada lain. Hanya sedetik, tubuh si pendeta Tibet itu terhuyung-huyung. Atas ini dia mengeluarkan suara luar biasa dan nyaring, jubahnya digeraki seperti menungkrap kepala! Hoa Seng berlompat untuk menyingkir, tetapi ia tidak dikasi hati, ia lantas disusul dan diserang si lhama Merah itu, yang jubahnya liehay sekali. Tentu sekali ia kena didesak. Ia pun lagi mengempit satu orang yang sedang pingsan. Sekarang mereka berada di tingkat kedua. Lhama Merah yang liehay itu menekan payon, ia berlompat ke tingkat ketiga dari menara itu, dengan begitu ia jadi berada di sebelah atas, dan dengan berada di atas, leluasa sekali ia menungkrap dengan jubahnya yang merah api. Ketika ia menyerang pula, dari bawah berkelebat suatu sinar putih bagaikan kilat. Sinar itu disebabkan Koei Hoa Seng terpaksa menghunus pedangnya, pedang Theng-kauw-kiam, atau si Ular naga. Inilah pedang warisan ayahnya, Koei Tiong Beng. Dengan pedang itu Tiong Beng telah mengangkat nama hingga ia menjadi salah satu di antara tujuh jago pedang dari Thian San. Pedang adalah pedang mustika, dan tenaga dalam dari Hoa Seng mahir sekali, maka itu tak perduli si lhama Merah liehay luar biasa, jubahnya toh kena juga disontek hingga menjadi berlubang dua. Lhama itu gusar sekali, ia berseru, ia menyerang pula. Ia menggunai dua tangannya berbareng. Hoa Seng belum tahu siapa pendeta ini, ia tidak mau sembarangan melukakan, maka itu ia mainkan pedangnya di muka orang, untuk membikin silau mata orang, karena mana, si pendeta menjadi menubruk tempat kosong. Ketika ini digunai dengan baik. Dengan ujung pedang, dada si pendeta ditowel, tetapi ini pun sudah cukup untuk membuat pendeta itu roboh dari tingkat ketiga itu. Hoa Seng tertawa nyaring dan panjang, dengan menggendong Maskanan ia lari ke muka menara, untuk berlompat turun, akan dari situ lari terus menuju ke puncak gunung. Di atas gunung ada mega dan puncak-puncak bersalju, dengan rembulan bersinar indah, pemandangan di situ sebenarnya mentakjubkan, akan tetapi untuk Hoa Seng, tidak ada ketikanya guna mengicipi keindahan alam itu. Sambil terus menggendong Maskanan, ia lari terus. Sesudah sekian lama, napasnya mulai sengal-sengal juga. Ia berdiri diam seraya memandang ke bawah. Bagaikan di bawahan kakinya, Kota Iblis itu, yang tertutup mega, nampak wuwungan menaranya saja. Disebelah atas, puncak gunung tak nampak sama sekali. Sekarang sempat Hoa Seng memeriksa Maskanan. Lhama ini masih pingsan, nadinya berjalan keras, bukan tandanya ia terluka di dalam, bukan juga disebabkan totokan. Ia menjadi heran. Lalu ia membawanya pula berjalan sekian lama, hingga ia tiba di satu bagian tempat yang hawanya luar biasa, yaitu hawa dingin tercampur dengan hawa hangat. Ia maju lagi sedikit, sampai ia melihat satu selat yang mirip paso. Di situ ada sumber air, yang terus memuntahkan air mancur, ialah air hangat yang terbawa angin, pantas tadi Koei Hoa Seng merasakan hawa dingin-dingin hangat itu. Di bawah sinar rembulan, air mancur itu nampak bagus. Berada di dekat sumber hawa ada terlebih hangat. Hanya apa yang aneh, di dekat situ, di mana ada es, ada tumbuh juga sejumlah pohon bunga yang indah, yang entah apa namanya. „Kalau mereka menyusul aku, untuk tiba di sini, mereka memerlukan waktu sekian lama," Hoa Seng berpikir. „Baiklah aku beristirahat di sini ……..” Ia bertindak ke samping air mancur itu, di situ ia letaki tubuh Maskanan. Ia mencoba memeriksa dengan seksama. Pendeta itu tetap pingsan, tak ketahuan lukanya. Ia, mencoba mengasi orang membaui soat-lian, ini pun tidak ada hasilnya. Jadi orang bukan terkena racun. Heran juga Hoa Seng, ia menjadi berpikir keras. Tidak ada jalan lain, terpaksa ia mencoba menyalurkan tenaga-dalamnya dengan jalan mengurut perlahan-lahan di sekitar jalan darah thian-kie-hiat. Menurut kitab „Tat-mo Cin-Keng," inilah jalan untuk menolong diri dari totokan bagaimana liehay juga. Benar saja, Hoa Seng berhasil. Selang sekian lama, Maskanan sadar. „Oh, kiranya kaulah yang menolongi aku!" ia berkata : „Sekarang kau lekas melancarkan jalan darahku yang tertutup!" Sambil berkata, lhama ini menggeraki tubuhnya tetapi ia tak dapat bergeming. „Apa itu jalan darah yang tertutup?" tanya Hoa Seng. „Di mana adanya itu?" „Aku tidak tahu," menjawab Maskanan. „Kalau aku tahu, tidak nanti aku minta bantuanmu. Coba kau menotok seperti cara ilmu totok kamu." Luas pengetahuannya Koei Hoa Seng tetapi ia tetap tidak mengerti. „Apakah kau pernah pelajarkan ilmu menutup jalan darah tengah malam dan tengah hari?" Maskanan tanya pula. Hoa Seng menggeleng kepala. Tapi ia meminta keterangan. Maka tahulah ia, ilmu itu mulanya dari Eropah, lalu masuk ke Arabia dan dari Arabia ke India dari mana terbawa terus ke Nepal dan lainnya, hanya setibanya di India, ilmu itu dicampur sama ilmu yoga. Maskanan ketahui ilmu itu dari raja agamanya yang sekarang. Ilmu itu mirip sama ilmu Tionghoa, cara bekerja dengan mengikuti sang waktu (jam), dengan begitu darah bisa ditutup dan dialirkan seperlunya. Celakanya Maskanan ketahui itu tetapi tidak mampu menggunainya. Sebisanya Hoa Seng mencoba menolongi tetapi tidak ada hasilnya, bahkan napas si lhama Putih menjadi terasakan sakit. „Sudahlah, tidak ada daya lagi..." kata Maskanan akhirnya sambil tertawa menyeringai, karena ia rela. Justru ia berkata begitu, justru sebuah batu kecil menyambar padanya, hingga ia menjadi kaget sekali. Ia tidak dapat bergeming, ia tidak bisa berkelit. Tapi begitu ia kena tertimpuk, begitu juga ia menjerit dan lompat mencelat, di saat mana pulihlah kesehatannya. Koei Hoa Seng heran sekali. „Ha, kiranya kau mengerti!" kata Maskanan sambil menarik tangan orang, sedang Hoa Seng sebenarnya hendak menggeser tubuhnya. „Kau membohongi aku, kau sengaja hendak membikin aku ketakutan tidak keruan!" Pendeta Putihh ini menyangka Hoa Seng karena ia tidak tahu dari mana datangnya sambitan batu kecil itu. Hoa Seng lompat naik ke atas tumpukan es, akan melihat kelilingan. Ia hanya mendapat pohon-pohon bergoyang, daunnya rontok terbawa angin. Di situ tidak ada orang lain, tidak ada bayangannya juga. „Hebat ilmu menimpuknya orang itu," ia berpikir. „Dengan timpukan dia dapat menotok jalan darah dengan tepat sekali. Siapakah dia? Dia juga bertubuh sangat ringan, hingga dalam sedetik saja dia dapat menyingkirkan dirinya..." „Eh, kau lagi melihat apa?" Maskanan menanya. „Apakah ada musuh mengejar kita?" Hoa Seng lompat turun, ia menggelengkan kepala. Sampai di sini, keduanya lantas belajar kenal satu dengan lain. „Nah, sekarang dapatlah kau memberi keterangan padaku!" kemudian kata Hoa Seng tertawa. „Sebenarnya mereka itu orang-orang macam apa?" „Putera raja itu ialah putera raja Nepal," menyahut Maskanan dengan terus terang. „Yang lain-lainnya ada rombongan pendeta dan pahlawannya." Hoa Seng terkejut. „Kalau begitu, besar sekali angan-angannya putera raja itu!" katanya. „Memang. Katanya dia bukan putera mahkota hanya keponakan dari raja Nepal, disebabkan raja itu tidak punya turunan, dia dipungut menjadi putera. Tapi dia menghendaki lekas-lekas menduduk takhta kerajaan, dari itu dia menghimpun komplotan. Dia mempunyai pahlawan-pahlawan bangsa Arabia dan Eropah juga, sedang antara tetamutetamunya ada orang-orang liehay dari kalangan Brahmana. Untuk memperkuat kedudukannya, dia bermaksud mendirikan jasa di luar negaranya, ialah dia hendak membasmi dan merampas Tibet, untuk dijadikan jajahannya." „Kalau demikian, tidaklah heran dia telah memilih tempat luar biasa ini sebagai sarangnya!" berkata Hoa Seng kagum. 04. Peniup Seruling di Kota Iblis „Menurut cerita, Kota Iblis ini asalnya ialah sebuah kota tua," Maskanan menerangkan. „Sang tempo membuatnya kota jadi seperti sekarang ini, di depannya ada gurun pasir, di belakangnya ada gunung es. Karena suara-suara aneh yang terbawa angin itu, yang terdengarnya selalu di waktu malam, penduduk sini takut datang ke bekas kota tua ini, bahkan mereka membilangnya inilah Kota Iblis. Itulah si pangeran Nepal yang membangun rumah, kuil dan menara putih itu. Dia berdiam di sini sudah semenjak beberapa tahun, maka kecewalah pembesar-pembesar pemerintah Boan, mereka tidak mendapat tahu apa-apa!" „Dia berkonco sama beberapa hoan-ong, dia pun mencoba membujuk kaum agama Putih kami menerjang kembali ke Tibet.” Berkata Hoa Seng, „inilah ketikanya yang baik untuk ia menangkap ikan dalam air keruh!" „Hanya raja agama kami yang sekarang tidak kena terpedayakan!" kata Maskanan, yang menjelaskannya terlebih jauh. Nyatalah di dalam kalangan Lhama Putih pun ada terdapat dua golongan Hoat-ong, atau raja agama, yang lama adalah kaum kolot. Dia bercita-cita merampas Tibet dengan cara kekerasan, dari itu tak segan dia berserikat sama pangeran Nepal itu. Dia bersedia meminjam tenaga asing untuk mencapai maksudnya itu. Sebaliknya adalah cita-cita raja agama yang sekarang, yang baru. Dia berasal hoat-soe, guru agama, tugasnya ialah mengurus kitab-kitab dan surat-surat, dalam kedudukan, ia cuma berada di bawahan hoat-ong, tetapi karena pandai ilmu surat, dari sebuah kitab kuno, ia dapat mempelajari ilmu silat yang liehay. Karena ia pun mengerti Bahasa Sangsekerta dan Nepal, bahkan dia pernah berziarah ke tanah suci di India, dia jadi dapat sejumlah pengikut. Beda dari raja agama yang lama, dia justru ingin membuat pembicaraan sama pihak agama Kuning yang berkuasa di Tibet itu. Karena sikapnya ini, dia disebut partai baru, beda dari kaum kolot. Karena ada itu pertentangan tujuan, kedua kaum jadi bentrok. Partai baru ketahui sepak terjang kaum kolot, hendak dia menghalang-halanginya. Tapi kaum kolot bekerja terus, dia mengirim utusannya kepada pangeran Nepal. Karena ini, di hari kedua dari dikirimnya si utusan, oleh partai baru ia disingkirkan. Maka kejadianlah Maskanan diutus dengan tugasnya ini. Hoa Seng senang pada pihak agama Putih ada orang sadar seperti itu hoat-ong yang baru, maka itu ia lantas menawarkan tenaganya kalau itu dibutuhkan. „Jikalau kau sudi membantu, tuan, aku sangat bersyukur," menyahut Maskanan menghela napas. „Aku telah menjalankan tugasku, aku merasa beruntung yang aku berhasil mencegah dibikinnya perjanjian di antara mereka itu, tetapi di samping itu, aku menyesal sekali karena aku telah kehilangan tongkatku. Itulah suatu malu besar untukku. Mengenai ini, aku mesti lekas memberikan laporan kepada Hoat-ong. Kalau tuan suka membantu, harap tuan tolong mewakilkan aku pergi ke Lhasa menghadap kepada Buddha Hidup Dalai Lama, kepadanya tuan tuturkan segala peristiwa di sini sekalian menyampaikan cita-cita kami." „Kabarnya Dalai Lama dan Panchen Lama itu tidak biasa menemui sembarang orang," berkata Koei Hoa Seng Maskanan mengangguk. Ia meloloskan patung Buddha kecil di lehernya. „Kau bawalah ini sebagai tanda kepercayaan," ia berkata. „Dengan kepandaian yang kau punyakan, kau dapat masuk secara diam-diam ke dalam istana Potala." Ia menyerahkan patung Buddha emas itu. Hoa Seng menyambuti patung itu. Tengah ia mengangkat kepalanya, ia mendapat lihat sejumlah bayangan orang di dua arah selatan dan utara mereka. Ia berkata sambil tertawa : „Lihat di sana, dapat juga orang-orangnya si pangeran Nepal mencari kita …….!” Belum berhenti suaranya orang she Koei ini atau mendadak suara nyaring terdengar di samping mereka, dari jatuhnya batu besar yang digelindingkan dari sebelah atasan mereka. Sebab di atas situ ada orangnya si pangeran Nepal, yang melihat mereka, dan orang itu segera menyerang dengan batu besar itu. „Sungguh jahat!" seru Hoa Seng dengan murka. Ia menarik Maskanan, untuk diajak lompat menyingkir. Syukur mereka tidak terluka. Ketika itu tertampak munculnya seorang pahlawan dengan pakaiannya serba hitam. Rupanya dialah yang tadi membokong dan sekarang beraksi untuk membokong terlebih jauh. „Baiklah!" Hoa Seng tertawa — tertawa mendongkol. ,,Kau pun rasai batuku ini!" Ia menjumput sebutir batu, dengan dua jari tangannya ia menyentilkan itu, maka melesatlah batu itu, menyambar ke arah si pahlawan. Dia tidak menyangka suatu apa, dan umpama kata dia ketahui, dia pun tidak menduga batu bisa disentilkan jauh dan tinggi sampai belasan tombak. Dia baru kaget ketika tahu-tahu serangan itu mengenai tepat padanya, bahkan segera dia roboh terguling. Di situ ada beberapa pahlawan lain, melihat kawannya itu roboh, mereka tidak berani turun untuk mengejar, mereka cuma mengulangi serangan mereka dengan batu gunung. Maka itu nyaringlah suara batu itu jatuh tak hentinya ke bawah gunung. „Inilah hebat," berkata Hoa Seng kemudian. „Mereka itu menyerang kita sambil berbareng memberikan tanda kepada kawan-kawannya. Pula, kalau terus-menerus mereka menyerang secara begini, gunung es pun bisa longsor!" Memang juga, musuh masih menyerang terus. Hoa Seng omong dari hal yang benar. Belum lama, atau potongan es yang besar telah meluncur ke bawah. Kejadian itu biasa, hanya sekarang jatuhnya es dipercepat jatuhnya banyak batu besar itu. Es itu pun bisa longsor kalau ada angin dahsyat atau bumi gempa. Celakalah siapa kena ketimpa dan keuruk longsoran es itu. Sebab tidak dapat membuat perlawanan, Hoa Seng ajak Maskanan berlari-lari menyingkir dari ancaman bahaya itu. Mereka kelit sana dan kelit sini. Ia merasakan sulit karena ia pun mesti melindungi Maskanan, yang kesehatannya belum pulih betul. Serangan batu oleh kawanan pahlawan pangeran Nepal itu membawa akibat hebat. Dengan sendirinya serangan itu seperti merupakan gempa bumi. Meluncurnya es menjadi terlebih dahsyat. Dalam keadaan yang sangat mengancam itu, tiba-tiba kuping Hoa Seng mendengar mengalunnya suara seruling yang terbawa angin, walaupun suara jatuhnya es berisik sekali, suara seruling itu tetap terdengar nyata. Ia menjadi heran sekali. „Hebat orang itu," pikirnya. Sudah terang peniup seruling itu mempunyai tenaga dalam yang istimewa. Di sebelah itu, lagunya pun luar biasa, sedap sekali bagi telinga. Itulah lagu orang Kanglam, yang untuk di tapal batas adalah lagu yang langka, bahkan Hoa Seng belum pernah mendengarnya selama ia merantau. Sebentar kemudian, lagu itu membawa perubahan, dari halus menjadi nyaring, dari nada lemah-lembut menjadi bersemangat, hingga Hoa Seng merasa darahnya tegang. Pula yang aneh, setelah terdengar suara seruling, timpukan batu menjadi berkurang secara perlahan. Hanya selang sedikit lama, riuhlah terdengar jeritan kawanan pahlawan — jeritan kekagetan. Habis itu, lalu sirap dan tenanglah gunung es itu. Sebab turunnya es pun berhenti. Masih lewat lagi sekian lama, Baru terdengar suara nyaring dari arah Kota Iblis. Itulah suaranya genta dalam kuil. Maskanan kenal suara itu. „Itulah tanda mereka mengumpul kawan," ia bilang. Benar pembilangannya pendeta Putih ini, suaranya disusul sama suara panggilan di sana-sini, ialah suara pahlawanpahlawan itu saling memanggil mengajak pulang. Lagi sesaat, sirap juga suaranya sekalian pahlawan itu, maka tenanglah lembah sebagaimana tadinya. „Sungguh aneh," kata Maskanan kemudian. „Kenapa mereka agaknya jeri terhadap suara seruling itu?" Hoa Seng tengah berpikir, ia berdiam saja. Maskanan menghela napas. „Sebenarnya di tengah jalan pun pernah satu kali aku mendengar suara seruling seperti tadi," ia menambahkan sesaat kemudian. „Ketika itu kebetulan aku mendapat lihat dua orang menyusul aku. Merekalah dua pendeta yang dandanannya luar biasa sekali. Sebenarnya aku berniat mempergoki mereka, supaya mereka tak usah main sembunyi-sembunyi lagi, untuk sekalian menghajar mereka itu, atau mendadak terdengarlah suara seruling itu, yang datangnya dari arah padang rumput. Cuma suara itu tak sepanjang dan selama kali ini. Begitu mendengar suara seruling, kedua pendeta itu lantas lari menghilang. Bukankah barusan, karena seruling itu, semua pahlawan musuh tidak menyerang terlebih jauh?" Hoa Seng heran. Ia telah banyak pendengar dan pengalamannya, tetapi belum pernah yang seaneh ini. Benarbenar ia tidak mengerti, percuma saja ia kerjakan otaknya untuk menduga-duga ……. "Mereka takut akan suara seruling itu." kata Hoa Seng setelah berpikir sejenak, „justru di Kota Iblis itu orang membunyikan genta, sekaranglah waktunya untuk kau menyingkirkan diri. Nah, kau pergilah!" „Kau sendiri?" tanya Maskanan. Orang yang ditanya bersenyum. „Aku masih memikir untuk mencoba menyelidiki Kota Iblis," sahutnya. „Bahkan aku mengharap sekali nanti ada ketika atau jodohnya untuk bertemu dengan si peniup seruling itu." Maskanan mengangguk, „Baiklah, akan aku pergi," katanya. Ia mengulangi pesannya, lalu ia mengucap terima kasih dan berlalu. Hoa Seng mengawasi kepergian pendeta Putih itu, lalu ia lari kembali ke kuil tadi, yang si putera raja Nepal menyebutnya tempat suci. Ia berlari-lari dengan ilmunya ringan tubuh. Sekarang la mendapat kenyataan pintu kuil ditutup rapat dan penjaganya pun tidak ada barang satu jua. Tanpa bersangsi ia lompat naik ke atas menara, di undak pertama. Di sini kembali ia sembunyikan diri di bawah payon ujung, maka itu, ia bisa mengintai pula ke dalam kuil dengan perantaraan genteng kaca di wuwungan kuil. Di sana nampak si putera raja tengah berbicara sama sekalian pendeta dan pahlawannya. Dia mengerutkan kening, suatu tanda dia tengah berduka. Teranglah mereka lagi membicarakan urusan penting. Karena mereka bicara dalam bahasa Nepal, tak mengerti Hoa Seng akan pembicaraan mereka itu tentulah mengenai suara seruling tadi. Tidak lama terdengarlah tiga kali suara suitan, yang sekali panjang, yang dua kali pendek, lalu suara itu disusul sama bunyinya suara gelang pintu, tiga kali juga, bahkan sama lagunya, ialah sekali panjang dan dua kali pendek. Putera raja itu mengerutkan pula keningnya, lalu ia mengasi dengar suaranya, suara yang dalam. Yang diucapkan hanya dua patah kata. Segera juga pintu kuil terbuka, disusul sama bertindak masuknya seorang pahlawan pakaian hitam diikuti seorang pendeta lhama berjubah merah yang tubuhnya tinggi besar. Dilihat dari romannya, pendeta lhama Merah ini telah berumur enampuluh tahun lebih, di jidatnya terlihat kisut-kisut, tetapi walaupun demikian, mukanya bercahaya merah menandakan ia sehat sekali dan bersemangat. Begitu berada di dalam, ia tertawa lebar, lalu dengan bahasa Tibet, ia berkata nyaring : „Tuan pangeran berkenan memanggil padaku, seharusnya aku mesti datang siang-siang, sayang sekali ada sesuatu urusan yang memperlambat aku, maka itu aka mohon sudi apakah kiranya aku diberi maaf!" Putera raja Nepal itu berbangkit dan kursinya, untuk bertindak menyambut. Ia menyambutnya dengan hormat sekali. „Adakah Siangjin baik?" dia bertanya. „Siangjin telah sudi berkunjung ke mari, itulah menandakan kebahagiaan negaraku. Tjhong Leng Siangjin, sudikah kau merendahkan diri akan datang ke negaraku untuk menjabat guru negaraku yang nomor satu?" Mendengar disebutnya nama itu, Koei Hoa Seng terperanjat. Ayahnya, yaitu Koei Tiong Beng, semasa hidupnya, telah merantau ke seluruh Mongolia dan Tibet, dan ayah itu pernah menceritakan kepadanya bahwa di Tibet ada seorang pendeta dari golongan Merah yang bernama Tjhong Leng Siangjin, yang pandai ilmu silat Bit Cong, bahwa ilmu luar dan ilmu dalamnya liehay sekali. Pendeta ini dapat dikalahkan le Lan Coe, salah seorang jago wanita dari Thian San Cit Kiam, sesudah mereka bertempur lebih daripada seratus jurus. Dan sekarang, pendeta lama yang liehay ini diundang putera raja Nepal itu, dan bersama dia ada utusan-utusan dari ketiga raja Shaka serta juga utusan dari lama Putih dari Cenghay. Jadi sungguh hebat cita-citanya pangeran ini. Pendeta lhama Merah itu, ialah Tjhong Leng Siangjin, merangkap kedua tangannya. „Sekarang ini golongan Kuning yang memegang tampuk pimpinan," berkata dia, „maka itu meski benar golonganku tidak dapat berbuat dengan merdeka, aku toh tidak leluasa untuk meninggalkan jauh-jauh negara kita." „Itulah bukannya suatu keberatan, Siangjin," berkata pangeran Nepal itu membujuk. „Memang benar sekarang ini agama Siangjin belum dipilih untuk menjadi agama negaraku, akan tetapi jikalau Siangjin sudah datang ke negaraku itu, dapatlah Siangjin menyebar itu di antara rakyatku. Tidakkah itu bagus? Dengan begitu, di belakang hari pun bakal ada ketikanya untuk Siangjin kembali ke negaramu!" Mendengar begitu, Tjhong Leng berpikir. Tiba-tiba ia berpaling, untuk dengan sepasang matanya yang tajam menyapu semua orang di kiri-kanannya, ialah rombongan pahlawan dan pendeta lama itu. Cuma sejenak, lalu ia tak dapat menyembunyikan wajahnya yang menandakan putus asa. Menyaksikan kelakuan orang itu, Hoa Song heran. „Apakah di sini tidak ada Bapak Daud?" Tjhong Leng menanya pula. „Negaraku kecil, tidak dapat kami mohon dia berdiam di Nepal, maka itu dia telah pergi ke Mekkah," sahut pangeran itu. „Apakah Liong Yap Taysoe dari India pun tidak datang?" „Liong Yap Taysoe pernah datang pada tahun yang sudah ke ibukotaku, Katmandu," menjawab pula si pangeran, „maka itu mungkin dia bakal datang pula lain tahun." „Sayang," berkata Tjhong Leng. „Aku tinggal di tempat sunji belukar, pendengaranku sedikit, tetapi toh aku tahu Bapak Daud itu ialah jago nomor satu untuk wilayah Arabia, sedang Liong Yap Taysoe, pernah aku sendiri menemuinya di New Delhi pada belasan tahun yang lalu ketika aku berziarah ke sana. Di dalam ilmu silat, dia mahir sekali, dari itu bersama Bapak Daud, aku percaya dia dapat menandingi si wanita tuabangka she Ie itu!" Hoa Seng tertawa di dalam hatinya mendengar disebutnya si „wanita tua-bangka she Ie," sebab ia tahu betul, siapa yang dimaksudkan. Ialah bukan lain daripada Ie Lan Coe. Ia merasa lucu yang pendeta ini tidak ketahui, jago wanita itu sudah menutup mata pada tujuh atau delapan tahun yang lampau, dan dia masih saja tak melupakan kekalahannya. Sementara itu sikapnya pendeta ini menyebabkan kecewanya pendeta lainnya dan sekalian pahlawannya pangeran itu. Mereka merasa bahwa mereka dipandang tak mata oleh ini orang baru. Pangeran Nepal itu pun sudah lantas berkata: „Tidak sulit untuk Siangjin menemui mereka berdua. Lain tahun bakal dibikin upacara suci dari Buddha di negeriku, di ibukota Katmandu, itu waktu tentulah mereka itu bakal datang." Yang dimaksudkan upacara suci oleh putera raja itu ialah sembahyang besar umum di waktu mana semua orang tak dibedakan tingkat derajatnya, si bangsawan dan si hina, si kaya dan si miskin, semua dipandang sama rata. Sembahyang semacam ini pernah diadakan kaum Buddhist di Tiongkok semasa Kaisar Liang Boe Tee dan diadakannya di kuil Tong Tay Sie. Mendengar itu, hati Hoa Seng ketarik, hingga ia memikir untuk pergi ke Katmandu untuk menyaksikan upacara sembahyang besar itu. Atas kata-kata si putera raja, Tjhong Leng Siangjin menghela napas. „Mana dapat aku menanti sampai lain tahun itu?" katanya masgul. „Jikalau hari ini mereka berada di sini, dapat aku meminjam tenaganya untuk mengambil serupa Benda mustika yang sangat langka ……..” „Mustika apakah itu?" tanya putera raja ketarik. „Di manakah akan diambilnya?" Pendeta lama Merah itu tertawa. „Justru di ini gunung!" sahutnya gembira. „Aku telah menggunai tempo beberapa puluh tahun untuk mencari tahu dan menyelidiki, baharu sekarang aku mendapatkannya, cuma perihal kepastiannya, aku tetap masih bersangsi. Ada kemungkinan aku keliru ……….” Pangeran Nepal itu masgul. Bukankah orang tak sudi se¬gera menjelaskannya? „Siangjin sudah sanggup bersabar hingga puluhan tahun, kalau begitu baiklah Siangjin tidak usah terlalu tergesa-gesa," katanya kemudian. „Menurut aku, baiklah Siangjin pergi dulu ke negeriku. Kita menanti sampai kita sudah dapat mengundang Bapak Daud dan Liong Yap Taysoe barulah kita datang pula ke mari untuk mencarinya." Tjhong Leng Siangjin menggeleng kepala. „Tidak bisa, tidak bisa!" katanya cepat. „Baiklah aku menjelaskannya kepada tuan pangeran. Kali ini aku turun gunung, kesatu untuk menyambut undangan tuan pangeran, dan kedua untuk mustika itu. Hanya, begitu tiba di sini, aku melihat sesuatu yang mencolok mataku. Rupa-rupanya ada seorang yang pandai dan liehay yang telah datang ke mari dan kedatangan mereka mungkin ada untuk benda mustika itu …..” „Apakah itu yang mencurigai kau, Siangjin?" tanya pangeran Nepal itu. Ia heran dan berkuatir. „Bukankah tadi kamu mendengar suara seruling?" Tjhong Leng balik menanya. „Kenapa dia?” „Peniup seruling itu ialah seorang yang mahir tenaga dalamnya. Pangeran ada mempunyai tak sedikit orang liehay, mustahil tidak ada di antaranya yang mendapat dengar suara seruling itu?" Mulanya terkejut, pangeran itu akhirnya tertawa. „Belum bisa dipastikan dia datang untuk mustika itu!" katanya. „Aku justru berkuatir dialah penentangku....." „Tidak perduli bagaimana, mustika itu tak dapat didahului lain orang!" berkata Tjhong Leng pula. „Biarnya mesti menghadapi bencana besar, malam ini mesti aku pergi mengambilnya. Maka itu, tuan pangeran, baiklah kita memikir dua daya yang sempurna..." Putera raja itu mengawasi. „Apakah itu, Siangjin?" dia menanya. „Dayaku itu ialah begini," menjelaskan si pendeta lama Merah itu. „Lebih dulu tuan pangeran membantu aku mendapatkan mustika itu, habis itu aku nanti membantu kau menghadapi musuh. Tuan pangeran jangan kuatir, begitu lekas mustika itu berada di dalam tanganku, aku bakal menjadi jago tak tandingan di kolong langit ini!" Hoa Seng heran, sedang pangeran Nepal itu bersangsi. „Bagaimana aku harus membantunya, Siangjin?" dia menegasi. „Tuan pangeran memilih satu barisan pahlawan untukku, untuk aku yang pimpin," menyahut pendeta lhama Merah itu. Sembari berkata, ia mengawasi pula para hadirin, kembali nampaknya ia kecele. Kelihatan nyata ia menyesal tidak melihat ada orang yang pandai yang berarti di antaranya, maka ia memintanya pun karena terpaksa. Agaknya permintaan itu berat untuk pangeran Nepal itu tetapi ia toh meluluskannya. Untuk memilih pahlawan-pahlawannya itu, ia bermupakatan sama si pendeta. Yang dipilih ialah delapan pahlawan, semuanya lengkap dengan golok mereka model bulan sisir, yang indah dan tajam sekali. Itulah golok istimewa pahlawan Nepal. „Biarlah aku coba," kata Tjhong Leng Siangjin tak nyata ketika ia berlalu bersama barisannya itu. Hoa Seng pun berpikir keras. „Sebenarnya benda apakah itu yang dia hendak cari?" ia menduga-duga. „Dia membilangnya mustika dan dapat dipakai untuk menjagoi di dalam dunia ini. Tidak bisa lain, mesti aku kuntit dia, untuk mendapatkan kepastian ……” Meski ia sudah berpikir demikian, ia toh tidak segera pergi menyusul si pendeta lhama Merah itu. Ia berpikir pula: „Melihat gelagat, mungkin si peniup seruling pun bakal muncul malam ini, maka sungguh sayang sekali apabila aku tidak melihat dia……. Siapa tahu apabila aku dapat kesempatan belajar kenal dengannya?" Setelah berpikir sejenak, Hoa Seng mengambil putusan akan berdiam dulu, akan menantikan si peniup seruling. Untuk menyusul Tjhong Leng. bolehlah belakangan. Seberlalunya Tjhong Leng Siangjin dan rombongannya itu, pageran Nepal masih herbicara sama sekalian pendeta dan pahlawannya yang lainnya itu, tetap mereka bicara dalam bahasa Nepal hingga Hoa Seng pun tetap tidak mengerti apaapa, hingga ia cuma bisa menduga, urusan mesti penting sekali. Tidak lama mereka itu berunding, mendadak tertampak roman mereka tegang sendirinya. Bahkan Hoa Seng turut merasa tegang juga. Itulah sebab, di antara siurannya angin, kembali terdengar suara seruling tadi. Kali ini suara seruling halus dan jernih, bukan lagi bersemangat seperti yang pertama terdengar tadi. Hanya kali ini, suara itu datang semakin lama semakin dekat, sampai akhirnya tiba di muka kuil. Begitu suara seruling berhenti, sebagai gantinya ialah ketokan pada daun pintu. Semua pendeta dan pahlawan bungkam, mata mereka mengawasi pangeran mereka. Mendadak pangeran itu merogo ke sakunya, untuk mangeluarkan serupa barang yang terus ia pakai di mukanya. Maka segeralah ketahuan, barang itu topeng adanya. Maka di lain saat ia terlihat cuma sepasang matanya serta bibirnya alas dan bawah. Perbuatannya ini diturut oleh semua orang lainnya, hingga dalam sekejab mereka semua telah menyalin wajah mereka. Anehnya mereka semua sedia topeng, dan muka topeng pun nampak djenaka, bagaikan badut. „Rupanya mereka ini kenal peniup seruling itu," Hoa Sang menduga-duga. „Mungkinkah mereka kuatir mereka nanti dapat dikenali?" Selagi pemuda ini menerka-nerka, suara ketukan pada pintu terdengar pula, terdengar terus hingga pada ketukan yang ke tigabelas kali. Sampai di situ, pangeran Nepal itu memberi tanda dengan tangannya, atas mana pintu sudah lantas dibuka. Segera terlihat, orang yang mengetuk pintu itu, yang sekarang bertindak masuk, ada seorang nona muda-belia dengan pakaian serba putih, mukanya cantik seperti bulan remaja, rambut yang bagus teriap ke pundaknya. Potongan tubuhnya, tinggi dan katenya setimpal sekali. Dia mempunyai kulit yang putih dan halus, alisnya hitam dan lentik seperti dilukis. Tubuhnya pun nampak sehat sekali. Melihat wajahnya, dia seperti orang asing, orang Tibet, mirip juga dengan orang Han. Di matanya Koei Hoa Seng, baik orang Han maupun orang Tibet, belum pernah ia menemui nona secantik dia ini. Hampir Hoa Seng tidak mau mempercayainya, nona asing ini justru pandai memperdengarkan lagu Tionghoa, bahkan lagu berasal Kanglam. Tetapi keanehan tidak berhenti sampai di situ. Sekarang terlihat kedua bibir si nona bergerak-gerak, mengasi dengar suaranya yang halus tetapi terang, yang berlagu seperti suara burung kuning. Hoa Seng asing untuk suara itu, suara dalam bahasa Nepal, tetapi ia tersengsam untuk iramanya, nadanya. Suara bicara itu berpengaruh seperti suara serulingnya tadi. Masih semua hadirin itu membungkam. Mendapatkan orang berdiam saja, bukannya ia murka, si nona sebaliknya tertawa. Maka kembali orang mendengar tertawanya yang merdu itu. Setelah itu, ia berbicara pula, hanya kali ini, bicaranya mengejutkan Koei Hoa Seng. Sebab si nona menggunai bahasa Tionghoa. „Pangeran Ngordu!" katanya nona itu, „kau tidak berani menemui aku! Kenapakah itu? Adakah itu disebabkan segala perbuatanmu di sini ialah perbuatan-perbuatan yang memalukan? Baiklah, untuk melindungi mukamu, tidak suka aku menegur kau di hadapan orang banyak ini. Sekarang, lekas kau pulang ke negeri! Segala apa yang terjadi malam ini, aku tidak akan uwarkan pada siapa juga." Nona itu dapat berbicara Tionghoa, itu pun sudah aneh, akan tetapi, masih ada lagi satu keanehannya, ialah ia bicara dengan lidah Peking, dengan lagu suara yang menarik hati itu, cuma cacadnya ialah tak terlalu lancar ……….. Lain keanehan ialah si putera raja pun mengerti bahasa Tionghoa. Koei Hoa Seng heran atas itu semua, malah keheranan ini barulah terpecahkan setelah ia kemudian tiba sendiri di Nepal. Sebenarnya, semenjak hikayatnya, Nepal sudah mempunyai perhubungan dengan Tiongkok. Pendeta Fa Hsien pernah mengunjungi Negara asing itu, dan belakangan, di jaman dinasti Tang, pendeta Huan Tsang pun pernah pergi ke sana, hingga kejadian bangsa Nepal mengirim utusannya demikian pun sebaliknya. Dan di jaman Goan (ahala Mongol), Nepal pernah mengirim delapan puluh lebih ahli pembangunan, ahli ukir patung dan ahli petukangan ke Tiongkok, pemimpinnya bernama Aniko, bahkan kemudian dia ini pernah memangku pangkat menteri seperti tay¬hoe atau soetouw. Setelah itu ada perhubungan terus-menerus di antara kedua negara, hingga kejadianlah di kalangan atas dari negeri Nepal, siapa mengerti bahasa Tionghoa dan dapat omong dengan baik, dia merasa bangga, sebab itu adalah suatu kehormatan. Terutama di kalangan keluarga raja Nepal, sejak kecilnya mereka tentu ditemani belajar oleh pelajar yang mengerti bahasa Tionghoa. Si nona serba putih itu menggunai bahasa Tionghoa adalah dengan maksud hadirin lainnya di situ tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Akan tetapi si pangeran Nepal tetap membungkam. Nona itu mengangkat tangannya ia membuat bunderan. „Ngordu, aku telah memberikan kau satu jalan untuk mundur," ia berkata. „jikalau kau tidak dengar kata-kata baik, itu artinya kau mencari malu sendiri!" Sembari berkata. Si nona lantas bertindak di antara kedua baris pendeta dan pahlawan itu, matanya menatap tajam kepada setiap orang, ia agaknya seperti hendak mencari yang mana satu si putera raja Nepal. Tepat ketika ia mendekati sebuah patung Buddha yang besar, di depan patung itu, seorang pendeta lhama Merah mendadak saja melakukan penyerangan, dengan ujung jubahnya yang gerombongan ia menungkrap kepala si nona! Pendeta lhama ini juga mengenakan topeng akan tetapi Koei Hoa Seng mengenali dengan baik dialah si pendeta lhama Merah dengan siapa ia pernah bertempur. Ia terkejut menyaksikan si nona dibokong. Ia melihat bagaimana jubah merah itu melayang bagaikan awan merah dan anginnya berkesiur keras. Si nona diserang secara curang tetapi ia tidak roboh sebagai kurban. Seperti juga ada mempunyai mata di belakang kepalanya, sebelah tangannya diangkat, serulingnya bergerak, untuk memapaki jubah merah itu, maka gagallah penyerangan si pendeta. Habis itu, tanpa kepalang, si nona membalas, menyerang beruntun hingga tiga kali. Gudang Ebook (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net Pertempuran tidak menjadi reda sampai di situ, bahkan menjadi bertambah hebat. Menyaksikan si nona gagah, sekalian pahlawan lantas turun tangan, untuk membantui si pendeta lhama Merah. Maka riuhlah suara anginnya pelbagai macam senjata serta bergemerlapanlah cahayanya semua senjata itu. Dari belakang dan kiri-kanan si nona, beberapa pahlawan menyerang dengan golok mereka, yang tadinya mereka soren di pinggang mereka. Senjata-senjata mereka itu dilontarkan bagaikan hoei-to atau golok terbang. Hoa Seng kaget menyaksikan itu. Itu artinya si nona berada dalam bahaya, sebab nona itu lagi melayani si pendeta yang kosen itu. Maka tanpa bersangsi lagi, ia menjumput genteng, yang ia bikin pecah lalu ia pakai itu untuk menyerang kawanan pengerojok pembokong itu. Sayang untuknya, karena lagi sembunyi di atas payon, sebab sebelah tangannya dipakai pepegangan, ia cuma dapat menggunai satu tangan. Demikian enam buah golok dapat ia robohkan, tetapi beberapa yang lain meluncur terus ke arah si nona! Sekonyong-konyong nona baju putih ini tertawa panjang, serulingnya menjontek. Entah tipu silat apa itu yang ia gunakan, jubah si lama kena disontek hingga tertarik terampas, maka dengan gerakan lebih jauh dari seruling itu, jubah itu dapat dipakai sebagai alat penyambut semua golok selebihnya! Sekalipun Koei Hoa Seng, ia heran dan kagum untuk tipu silat menyambut serangan golok-golok itu, hingga ia merasa malu sendirinya. Katanya dalam hatinya, „Kalau tahu begini, buat apa aku usilan membantui dia ……..” Si pendeta lhama Merah kaget bukan main karena jubahnya itu kena dirampas, di saat itu ia tidak memikir lain daripada ingin lekas-lekas menyingkirkan diri, akan tetapi sudah terlambat baginya …….. Sangat sebat gerakannya si nona, serulingnya sudah bekerja lebih jauh, sekarang ini untuk menjontek topeng di muka orang, hingga pendeta itu menjadi gelagapan sebab topengnya kena tersontek pecah! Kembali Hoa Seng menjadi heran. Heran sebab seruling itu kelihatan podol dan licin mengkilap tetapi di tangan si nona menjadi seperti pisau yang tajam, sampaipun topeng itu, yang terbuat dari kulit tebal, kena digores pecah. Di sebelah itu, kulit mukanya si pendeta tak sampai terlukakan! Oleh karena serangan pada topengnya itu, si pendeta lhama kaget hingga ia berdiri tercengang. Kawan-kawannya pun kaget hingga muka mereka menjadi pucat. Sampai di sini, si nona tidak mengulangi serangannya, hanya ia bawa serulingnya ke depan dadanya, untuk dilintangi, sedang dengan matanya, yang bersinar hidup, ia menyapu mukanya semua lawan. Kembali terjadi keanehan. Semua lawan itu, yang tadinya bersikap garang, ketika tersapu sinar mata si nona, semua menggigil sendirinya, semua berdiri diam saja, hingga ruang itu menjadi sunji-senyap hingga umpamakata ada jarum jatuh, suaranya pasti kedengaran. Di akhirnya sinar mata si nona berhenti di muka si pendeta lhama merah. „Too Seng Koksoe." ia berkata kepada pendeta itu, suaranya halus, „bukannya kau berdiam di Katmandu, sekarang kau datang ke Tibet ini. Adakah di sini kau hendak menjiarkan agamamu?" Pendeta lhama Merah itu, yang dipanggil Too Seng dan katanya menjadi guru agama, tetap berdiam, hanya sesaat kemudian, setelah menyingkirkan topengnya, ia bertindak ke luar kuil, untuk berjalan pergi. Di antara kawanan pahlawan Nepal itu terdengar seruan, lalu beberapa di antaranya berlari pergi, mengikuti si pendeta lama. Selagi kacau itu, tiba-tiba ada terdengar bunyinya panah nyaring, entah siapa yang melepaskan. Atas itu beberapa pahlawan bergerak pula, dengan goloknya, mereka maju. Rupanya merekalah orang-orang kepercayaannya si putera raja. walaupun mereka tahu mereka bakal tidak berdaya, mereka toh mentaati titah, ialah titah yang berupa panah nyaring itu. Si nona serba putih menggeleng kepala dan menghela napas. „Pangeran Ngordu," katanya dingin, „jikalau kau tetap tidak hendak mendengar kata-kataku, jangan nanti kau sesalkan aku, hendak aku melukai juga kulit mukamu!" Kata-kata ini ditutup sama bergeraknya seruling, cepat dan berkilauan, dan menerbitkan suara juga, dan hanya dalam beberapa jurus, goloknya kawanan pahlawan itu lantas pada mental terlepas, menyusul mana lima atau enam pahlawan telah rusak topengnya masing-masing. 05. Pertemuan Yang Menggoncangkan Lagi sekali si nona mengasi dengar tertawanya yang nyaring dan panjang menyusul terhentinya gerakan serulingnya. Kali ini, suara seruling itu hebat kesudahannya. Bagaikan, gelombang, maka lari serabutanlah semua pahlawan Nepal itu, lari ke luar kuil, hingga di lain saat, di situ tinggallah si nona seorang diri. Hoa Seng kagum sekali, hingga ia menepuk-nepuk tangan. „Seruling kemala terbang suaranya, kawanan iblis hilang sirna! Siancay, siancay!" ia memuji sebelum ia keluar dari tempatnya sembunyi. „Terima kasih untuk bantuan tuan," berkata si nona. „Silahkan tuan keluar untuk kita membuat pertemuan." Hoa Seng memunculkan diri, ia bahkan menghampirkan si nona. Maka sekarang, setelah berada dekat satu dengan lain, di antara sinar pelita dari kuil itu, ia dapat melihat tegas wajah nona itu. Saking kagum, ia menjadi berdiri tercengang. Nona itu sangat cantik-manis dan menggiurkan hati. Si nona sebaliknya sudah lantas mengangkat tangannya, memberi hormat dengan liamjim, dengan kedua tangannya dirangkap. „Terima hormatku, tuan," katanya halus. Hoa Seng sadar, dengan tersipu-sipu ia membalas hormat. Pertemuan ini, yang secara kebetulan, membuatnya kedua pihak goncang hatinya. „Kalau si pemuda gugup dan seperti kacau pikirannya, si pemudi kaget berbareng girang, karena ia memikir, ,,Benarlah, orang Han tampan sekali...." Akan tetapi ia dapat mengendalikan diri, ia tidak menjadi tersengsam seperti si pemuda itu. „Maaf untuk tak tahu adatku, bolehkah aku mohon tanya she dan nama nona?" kemudian Hoa Seng berkata. Dengan lekas ia dapat menguasai dirinya. Untuk adat-istiadat Tionghoa, segera menanyakan she dan nama seorang nona adalah perbuatan lancang, maka syukurlah untuk Hoa Seng, si nona tidak mengambil mumat adat-istiadat itu, bahkan dia berlaku wajar dan sambil tertawa dia menjawab: „Kenapa tidak dapat? Aku Hoa Giok." Kembali Hoa Seng tercengang. „Itu toh nama Tionghoa?" katanya heran. Si nona tertawa pula. „Begitu?" katanya. „Meskipun benar aku belum pernah mengunjungi Tiongkok tetapi sudah lama aku mengenalnya. Aku dengar kamu bangsa Han paling menghargakan batu kumala, bahkan di dalam kitab-kitab kamu, kumala itu dipandang sebagai pelambang kebersihan dan kesucian, maka itu, aku sengaja pakai namaku itu." Nama Hoa Giok itu pun berarti kumala yang murni dan indah. „Nyata kau mengenal baik bahasa Tionghoa, nona," Hoa Seng memuji. „Aku belajar bahasa Tionghoa cuma beberapa tahun saja." berkata si nona, menerangkan, „dari itu aku belum mengerti banyak. Tuan, apakah shemu yang mulia dan namamu yang besar?" „Aku Koei Hoa Seng," Hoa Seng perkenalkan diri. Mendengar nama itu, si nona tertawa pula. „Aku dengar," katanya „kebiasaan kamu di Tiongkok, nama saudara, baik saudara laki-laki atau perempuan, suka memakai sebuah huruf yang sama, benarkah itu?" „Benar'', itulah kebiasaan kekeluargaan." „Kau bernama Hoa Seng, aku bernama Hoa Giok, coba kita berada di Tiongkok, mungkin orang mengatakan kita bersaudara!" Lega hatinya Hoa Seng. Ia melihat si nona polos sekali. Karena ini ia menjadi berani. „Kau benar, nona." katanya. „Memang demikianlah kebiasaan kami. Hanya aku, mana aku mempunyai itu keberuntungan untuk mendapatkan seorang sebagai kau sebagai adikku?” „Malam ini kau telah membantu banyak padaku," ia berkata. „Agaknya kau terlebih tua daripada aku, maka baiklah kau menjadi kakakku!" Hoa Seng heran, tetapi ia girang bukan main. „Jangan kau nampik!" berkata pula si nona. „Menurut kalangan agama Buddha, aturan itu harus sama rata, maka itu juga, anak laki-laki atau anak perempuan, semua adalah saudara, kakak dan adik. Bicara tentang kita, bukankah pertemuan kita ini luar biasa? Kalau kita menjadi kakak dan adik, apakah halangannya?" „Kalau begitu, nona, kau jadinya murid Sang Buddha?" Hoa Seng tanya. „Untuk bangsaku, semenjak dulu hingga sekarang ini, kami memerintah negara kami menurut aturan agama Buddha," menjawab si nona. „Di mana seluruh negara mempercayai agama Buddha, aku tidak menjadi kecuali." Mendengar itu, Hoa Seng merasa sedikit kecewa. Ia tahu, menurut kebiasaan bangsa si nona, memang umum orang dari berlainan she mengangkat saudara seperti saudara sendiri. Bagus untuknya, tak usahlah ia ngelamun. „Engko," berkata si nona kemudian, „adakah kau diutus pemerintah Boan?" Tanpa likat-likat, nona itu lantas memanggil engko. „Bukan," menyahut Hoa Seng cepat. Biar bagaimana, ia merasakan panggilan itu manis sekali. „Jikalau begitu, mengapa kau menempuh bahaya?" tanya si nona. „Mengapa kau lancang masuk ke dalam ini Kota Iblis? Kenapa kau memusuhkan mereka itu?" „Akulah orang Tionghoa," menjawab Hoa Seng. „Mereka memusuhkan Tiongkok, karena itu pasti aku mesti menyeterukan mereka! Adik, adik kecil, mengapa kau juga menyeterukan mereka itu?" „Itulah sebab aku bangsa Nepal!" jawab si nona. Hoa Seng menjadi heran. „Bukankah pangeran Ngordu itu putera raja Nepal?" ia tanya. „Tidak salah!" sahut pula si nona. „Justru karena dia putera raja, hendak aku mengusirnya dia pulang ke negerinya. Nepal dan Tiongkok bersahabat rapat, persahabatan itu mendatangkan kebaikan untuk kedua pihak, tetapi jikalau mereka berperang, bukan saja Nepal dan Tibet bakal bercelaka, bahkan Nepal mungkin musnah karenanya. Untuk Tiongkok sendiri, mungkin kerugiannya tidak terlalu besar." Keterangan si nona mendatangkan penghargaan dari Koei Hoa Seng. Teranglah bahwa nona itu cerdas dan pandangannya jauh. Hanya, mengenai hubungan si nona dengan si putera raja Nepal, ia heran, hingga ia jadi ragu-ragu. Kenapa putera raja itu tidak berani membuka topengnya untuk menghadapi si nona? Dan nona ini, mengapa dia meninggalkan negaranya yang jauh dan datang seorang diri ke Tibet ini? Mungkinkah si nona memangnya sudah tahu sepak terjangnya putera raja itu? Kalau benar, cara bagaimana dia mengetahuinya? Dan, si nona masih begini muda, dari mana dia dapatkan ilmu silatnya itu yang demikian mahir? „Biarlah, perlahan-lahan saja aku mencari tahu," pikirnya kemudian. Sebagai kenalan baru, tidak mau ia terlalu mendesak, ia kuatir orang menjadi tidak puas dan tidak senang karenanya. „Eh, engko, kau pikirkan apa?" tanya si nona, yang mengawasi pemuda itu. Ia tertawa. Hoa Seng berpikir hingga karenanya ia berdiam saja. Pemuda itu gugup. „Aku pikir... aku pikir..." sahutnya terputus-putus. „Kau merasa aku aneh, bukankah?" si nona tanya, tertawa. Mukanya Hoa Seng menjadi merah. Si nona telah menerkanya jitu. „Ya, sedikit ……." sahutnya perlahan. „Kalau begitu, sama saja dengan kau," kata si nona kemudian. „Kau pun datang ke mari seorang diri dan aku merasa heran sedikit. „Akulah seorang laki-laki," sahut Hoa Seng. „Seorang laki-laki sudah wajar merantau ke empat penjuru dunia, guna menambah pengetahuannya." Nona itu tertawa. „Ada apakah perbedaannya di antara seorang pria dan seorang wanita?" tanyanya. „Kalau seorang laki, pantas pesiar, apakah wanita pun tidak boleh keluar menambah pengetahuannya?" Ditanya begitu, Hoa Seng bungkam. Ia jadi semakin kagum. Nona itu mengawasi, lalu ia tertawa, geli tertawanya. „Kau barusan omong dari hal menambah pengetahuan," ia berkata pula. „Sekarang ini depan mata kita ada suatu urusan yang dapat menambah pengetahuan, maka maukah kau bersama aku pergi untuk membuka mata kita?" „Ke mana kita pergi?" tanya Hoa Seng. „Suka aku menemani kau." Nona itu hersenyum. „Kitab suci ada membilang, pergi itu menuruti jodoh, banyak kemauan banyak keruwetan," katanya. „Kita bertemu secara kebetulan, sekeluarnya dari gunung ini, sudah selayaknya kita berpisahan. Kau tak usah mau tahu banyak tentang urusanku, aku juga tidak akan menanya apa padamu, Supaya dengan begitu, setelah berpisah, kita tak usah menambah keruwetan kita." Hoa Seng berdiam. Kata itu berarti dalam, tapi singkatnya toh perpisahan. Si nona memandang, terus ia berkata : „Baiklah, sekarang sudah waktunya kita berangkat!" „Sebenarnya, urusan apakah itu?" Hoa Seng menanya. „Akan aku antar kau mencari suatu benda mustika yang langkah," jawab si nona. Tiba-tiba hati Hoa Seng bercekat. „Bukankah itu mustika yang dicari juga Tjhong Leng Siangjin?" dia tanya. „Benar. Marilah kita lihat dia mempunyai kepandaian atau tidak untuk mendapatkan mustika, yang langkah itu dari lubang es yang dalamnya ribuan tombak …….” Hoa Seng heran bukan main. Tapi ia tidak dapat main heran saja atau terus berdiri menjublak di situ, karena si nona sudah mulai berlari pergi, maka lekas-lekas ia menyusul. Nona itu menggunakan kepandaiannya ringan tubuh untuk mendaki puncak, dari itu ia menyusulnya untuk mengikuti di sebelah belakang. Ketika mereka telah jalan hingga terang tanah, mereka sudah dapat melihat sebuah puncak yang penuh dengan salju. Si nona menoleh, matanya melirik, lalu ia tertawa. „Engko, apakah kau letih?" ia menanya perlahan. „Sedikit," menyahut Hoa Seng. Ia merasa mukanya panas dan hatinya sedikit memukul, napasnya pun rada sukar. Ia tertawa menyeringai. Si nona, bertindak dengan perlahan. „Aku pun letih," katanya, tetap perlahan. „Syukur gunung ini tidak terlalu tinggi. Ketika, aku datang ke mari, aku melintasi gunung Himalaya. Gunung itu barulah gunung tinggi. Pernah aku memikir untuk mencoba mendaki terus, akan tetapi tempo aku baru tiba di kaki puncak yang bersalju dari Cholmo Lungma, aku tak dapat bernapas lagi, dengan terpaksa aku turun pula ......” Koei Hoa, Seng mengawasi nona itu, yang mukanya merah hingga tampak wajahnya yang boto, ia mau percaya si nona bukan tengah mengedjek padanya, maka ia berkata: „Kalau begitu, bolehkah kita beristirahat sebentar?" „Lebih baik kita jalan terus perlahan-lahan saja," menyahut si nona. „Sebentar, setelah kesegaran kita pulih, baru kita lari pula serintasan." Tatkala itu matahari baru muncul, maka sinarnya kepada es membuatnya es itu nampak indah. Es itu, bagaikan solokan, lagi mengalir turun dari atas puncak, warnanya biru dan muda jernih. Pula bunga salju, yang belum lumer, memberikan pemandangan yang indah sekali. „Sungguh indah, sungguh indah!" si nona memuji. „Sayang di dalam buku syair Tionghoa belum pernah aku membaca syair yang memuji keindahan sungai es." Mendengar itu, Hoa Seng kata dalam hatinya : „Penyair di jaman dulu mungkin belum ada yang pernah pergi ke Tibet, dari itu, mana ada yang menulis tentang keindahan es dan salju ini?" Sambil berpikir, ia melirik si nona, maka tergiurlah hatinya. Di pagi seperti itu, selagi bergembira dan bersenyum, sungguh luar biasa kecantikannya ini nona kawannya — kawan yang baru saja dikenal. Ia lantas berpikir dan kemudian berkata: „Ya, aku juga belum pernah membaca syair yang melukiskan keindahan es, akan tetapi pernah aku membaca tulisan mengenai salju yang mungkin ada miripnya. Terus ia membacakannya : „Salju musim semi datang memenuhi udara, di tempat di mana, dia kebentrok dia berubah bagaikan bunga mekar. Entahlah pohon di dalam rimba, pohon bwee tulen atau bukan?" Si nona bertepuk tangan. „Bagus!" serunya. „Kalau itu tulen bunga bwee, dapatkah itu dibedakannya?" Ibunya Hoa Seng adalah Mo Wan Lian, seorang wanita terpelajar untuk Kanglam, karena itu ia mendapat pendidikan ilmu surat baik sekali dari ibunya, maka juga dapat ia melayani nona ini bicara tentang sastera, hikayat, syair, musik dan seni lukis. Makin lama mereka bicara makin asyik, walaupun mereka baru saja bertemu, mereka sudah seperti sahabat lama. Bahkan mereka menyesal yang baru sekarang mereka berkenalan. Mereka berjalan terus hingga terasa hawa mulai hangat. Begitu lekas mereka menikung di sebuah pengkolan, mata mereka seperti terbuka lebar, karena di hadapan mereka sekarang terbentang air telaga yang luas, airnya jernih, dan di sepanjang tepiannya ada rumput yang hijau. Air itu pun berbayang, memperlihatkan keindahannya. Di atas air, bagaikan butir-butir mutiara, terlihat ngambangnya potongan-potongan es yang belum terlumerkan sinarnya matahari. „Orang Tibet bilang bahwa di atas gunung Nyenchin Dangla ada sebuah telaga yang diberi nama Tengri Nor atau Telaga Langit, inilah benar," kata Hoa Seng. „Dan telaga ini, yang begini besar, ujung pangkalnya seperti menyambung dengan langit." „Memang pemandangan di sini indah sekali," berkata si nona. „Karena tempat ini wajar, kita pula mirip sama dewa-dewinya. Sayang di atas ini tidak ada penghuninya. Rupanya ini mirip sama syairnya Tao Yuan Ming, 'Membuat gubuk di wilayah manusia tetapi tidak ada suara berisiknya kuda kereta.' Tao Yuan Ming menyebut di 'wilayah manusia,' coba itu diartikan di atas telaga Tengri Nor ini, di puncak es, inilah benar tempat dewa." Hoa Seng tertawa. „Biar bagaimana, ikhtiar adalah pada manusia," ia bilang. „Putera raja Nepal dapat membuat kuil dengan menaranya di Kota Iblis, maka kita pun boleh membangun rumah lauwteng dan peseban serta panggung di atas puncak es ……….” „Ah, bagus sekali lamunanmu!" berkata si nona. „Aku sendiri, setelah tiba di sini, aku seperti kembali pulang ke tempat dewi dalam impianku ……." Lantas ia mengeluarkan serulingnya dan meniup itu. Hoa Seng mendengari, ia mengenali lagunya Su Tung Po „Nyanyian air." Ia memandangi si nona, yang tengah meniupnya dengan asyik. Tak dapat ia menduga, bagaimana pikirannya si nona waktu itu. Sehabisnya lagu itu, si nona tertawa. „Aku hendak mengajak kau pergi mencari mustika nomor satu di kolong langit," katanya, „siapa tahu aku pun dibikin kesengsam dengan ini keindahan alam yang nomor satu di kolong langit ini. Nah, marilah kita berangkat melanjuti perjalanan kita!" Hoa Seng mengangguk, ia mengikuti nona itu. Mereka jalan mengitari telaga itu, jalannya mendaki. Kira-kira satu jam, mereka naik semakin tinggi, jalanan pun makin sukar. Ketika mereka mencoba memandang ke bawah, mereka mendapatkan mega memain di bawahan mereka itu. Hari sebenarnya sudah tengah hari tetapi hawa dingin terasa semakin hebat. „Kau dengar!" kata si nona tiba-tiba. „Mereka itu tengah melakukan menggali! Kita jadi datang pada waktunya yang tepat!" Karena si nona memandang ke atas, Hoa Seng pun lantas mengangkat kepalanya. Ia memasang kupingnya. Di atas ada puncak es, potongannya mirip dengan seorang nona tengah berdiri diam dengan tubuhnya yang langsing. Ia pun lantas mendapat dengar suara seperti batu dipahat atau dicongkel, keluarnya seperti dari dalam „perut" puncak es itu. Ia menjadi heran. „Sebenarnya mustika itu mustika apa?" ia tanya si nona. „Kenapa mustika itu disebut sebagai mustika nomor satu di kolong langit ini?" „Apakah kau tidak percaya?" si nona balik menanya, tertawa. „Jikalau itu bukannya mustika nomor satu di kolong langit ini, mustahil Tjhong Leng Siangjin mau bekerja sekuat tenaganya untuk mendapatkan itu? Kau tahu, mustika itu berada di lobang es yang dalamnya seribu tombak dari ini puncak Giok Lie Hong!" Hoa Seng jadi semakin heran. „Adik yang baik," katanya, mendesak, „coba kau menjelaskan terlebih jauh. Sebenarnya, mengapa kau pun ketahui tentang mustika itu?" „Mulanya inilah kejadian pada tiga tahun yang lalu," menyahut si nona, yang suka memberikan keterangannya. „Pada tahun itu aku beruntung sekali dapat bertemu sama Liong Yap Taysoe dari India, kebetulan aku lagi belajar ilmu pedang, aku lantas mohon diberikan pengajaran. Ia memberikan aku beberapa pelajaran bersamedhi, mengenai ilmu silat pedang, ia kata itulah bukan kebiasaannya yang istimewa, meski begitu, ia menghadiahkan aku sejilid kitab dalam bahasa Sangsekerta di dalam mana antaranya ada termuat sebuah ceritera bagaikan dongeng." „Apakah itu, adikku?" „Menurut keterangan," Hoa Giok menyahut, menjelaskan terlebih jauh, „di puncak Giok Lie Hong dan gunung Nyenchin Dangla ini ada sebuah lubang atau guha es, di dalam situ ada inti es yang telah terbenam selama jutaan tahun, inti es yang tak dapat lumer. Katanya kalau inti es itu dibikinkan menjadi golok atau pedang, keras dan kuatnya melebihkan baja. Tapi itulah belum semua. Di puncak Giok Lie Hong ini pun kedapatan batu kumala, batu kumala itu bercampur menjadi satu dengan inti es itu dan menjadi keras. Sebuah batu kumala bercampur inti es itu berada di tengah-tengah, di pusatnya lubang es itu. Itulah batu es kumala yang harus dicari, untuk dijadikan pedang istimewa. Hawa dinginnya inti es itu membuat orang yang berada di dekatnya mesti mundur jauhjauh. Pedang itu ialah yang dinamakan Pengpok Han-kongkiam, atau Pedang Inti Es, Kalau kau berhasil mendapatkan itu, bukankah kau menjadi tidak ada tandingannya di kolong langit ini?" Hoa Seng tertawa. „Kalau benar ceritera itu, benarlah itulah pedang mustika paling aneh di kolong langit ini!" ia berkata. „Cuma, kalau pedang bukan didapatkan orang bijaksana, aku rasa tidak ada faedahnya, bahkan sebaliknya pedang itu dapat mencelakai diri sendiri." Si nona bersenyum. „Sudahlah, kita jangan omong dulu tentang pedang," ia berkata. „Mari kita bicara tentang ini guha es. Tidak sembarang orang dapat turun ke dalam guha semacam ini. Kau tahu, katanya Tjhong Leng Siangjin mendapat tahu guha ini setelah ia menjelajah pelbagai gunung di Tibet, dan ia menemukannya pun secara kebetulan. Untuk dapat masuk ke dalam guha ini, ia telah membuatnya persiapan, ialah ia telah mengumpul banyak macam bahan obat, yang ia bikin menjadi semacam pil. Kalau pil itu dimakan, orang dapat melawan hawa dingin. Ia telah bersiap selama sepuluh tahun, selama itu ia mencari tahu, ia menduga-duga keletakannya pusat atau tempat beradanya kumala inti es itu dan berapa jam saat terlemahnya hawa dingin di situ. Ia hendak memasuki guha di saat yang hawa dinginnya paling berkurang. Demikianlah, baru hari ini ia mulai dengan usahanya itu." „Kalau begitu pantaslah Tjhong Leng Siangjin — begitu ia bertemu sama putera raja Nepal — sudah lantas menanyakan tentang Bapak Daud dan Liong Yap Taysoe, nyatanya dia hendak mencari pembantu." Hoa Giok mengangguk. „Bapak Daud itu meyakinkan ilmu silat tangan kosong Imyang- ciang," Ia mengasi keterangan, „sedang Liong Yap Taysoe adalah seorang pendeta suci dari agama Sang Buddha. Tjhong Leng berpikir jauh sekali. Coba pikir, orang suci sebagai Liong Yap Taysoe mana sudi membantui dia mencari pedang itu?" Hoa Seng tidak membilang suatu apa mengenai pikiran si nona ini, ia hanya memikir tentang si nona sendiri. Bukankah Hoa Giok masih sangat muda? Kenapa Liong Yap Taysoe sudi memberikan kitab rahasia kepadanya? Sebenarnya, siapakah dia? Si nona pun tidak perhatikan sikap kawannya itu, ia berkata pula: „Kau telah bertemu sama Tjhong Leng Siangjin. Dia berbuat atau membilang apa saja?" „Dia minta delapan pahlawan kepada putera raja Nepal itu," sahut Hoa Seng. Nampaknya si nona terperanjat. „Kalau begitu, dia hendak menggunakan goloknya pahlawanpahlawan Nepal itu," ia berkata. „Aku percaya, dia sendiri dapat melawan hawa dingin tetapi delapan pahlawan itu tidak." Selagi si nona bicara itu, kuping mereka mendengar suara kelenengan. „Mari!" Hoa Giok mengajak. Mereka naik hingga di datar es di atas puncak Giok Lie Hong itu, dari situ mereka dapat berdiri menghadapi lubang atau guha es itu. Karena mahirnya ilmu ringan tubuh mereka tidak terpergok pahlawan-pahlawan yang menjaga di pinggiran lubang es itu. Keduanya melihat tegas empat pahlawan Nepal yang membawa golok bengkung mereka, mereka itu tengah menggerak-geraki tangan dan kaki mereka, dalam cara yang luar biasa sekali. Hoa Seng heran, tetapi waktu ia menoleh kepada Hoa Giok, si nona sebaliknya mengasi lihat roman girang. Segera, tanpa si nona menjelaskan lagi, ia dapat membade sebab dari tingkah lakunya empat pahlawan Nepal itu, ialah mereka tengah kedinginan, dan untuk melawan hawa dingin itu, mereka berolah raga. Suara kelenengan terdengar terus, makin nyaring. Tiba-tiba empat pahlawan itu pun mengasi dengar suara aneh, terus keempatnya lagi ke tepian lubang. Di sini mereka lantas bekerja. Tidak lama, atau mereka telah mengangkat empat buah keranjang, di setiap keranjangnya ada seorang pahlawan Nepal, yang mukanya pucat pias, yang napasnya empas-empis, semuanya rebah tak berkutik. Menyusuli keempat pahlawan itu, terlihat Tjhong Leng Siangjin berlompat naik, ketika ia geraki kedua tangannya, dan tubuhnya juga, menggibrikkan jubahnya, hancuran es muncrat berhamburan. Hebat es itu, sekalipun Hoa Seng, yang terpisah beberapa puluh tombak, merasakan hawa dinginnya. Tjhong Leng Siangjin pun kedinginan, tandanya ialah mukanya pucat sekali, akan tetapi meski begitu, ia dapat bertindak dengan tegar dan sikapnya tenang seperti biasa. Melihat kekuatannya si orang suci, Hoa Seng kagum. Nyatalah dia jauh terlebih tangguh dari kedelapan pahlawan Nepal itu. Tjhong Leng Siangjin mengangkat empat pahlawan itu, untuk diletaki di luar keranjang, setelah itu, ia menyuruh empat yang lainnya turun. Mereka ini berdiam saja. Hati mereka jeri sebab melihat empat kawannya rebah tak berdaya itu. „Kamu berani membantah titahku?" Tjhong Leng membentak. „Hm, Eh, kau siapa?" Pertanyaan ini ditujukan bukan kepada empat pahlawan itu, hanya kepada seorang lain. Sebab tahu-tahu Hoa Giok, si nona serba putih, sudah berdiri di depan pendeta ini. Si nona muncul setelah dia berlompat turun. Keempat pahlawan Nepal itu kaget, mereka mengawasi si nona, atau mendadak mereka mengasi dengar seruan tajam saking kaget dan herannya, tidak ayal lagi mereka menjatuhkan diri, untuk menekuk lutut ke hadapan si nona seraya mereka merapatkan tangan mereka sebagai tanda hormat. Mereka pun mengucap kata-kata pula. Koei Hoa Seng tidak mengerti kata-katanya keempat pahlawan Nepal itu, ia cuma bisa melihat benar orang heran dan kaget tetapi bukan karena ketakutan, hanya disebabkan kegirangan. Ia mau percaya, mereka itu menghormati si nona kepada siapa sekalian mereka memohon bantuan …….. Tjhong Leng Siangjin mengawasi tajam sesudah tegurannya itu. Karena si nona lebih memperhatikan keempat pahlawan Nepal itu, ia jadi gusar. Tapi kali ini ia berseru: „Aku kira kau siapa, nyatanya kaulah si siluman wanita yang di dalam Kota Iblis sudah meniup seruling! Kau mempunyai kepandaian apa maka kau juga berani mengharap mustika di lubang es ini?" Nona itu mengasi lihat sikap memandang enteng. „Aku tidak perduli segala mustika!" katanya dingin. „Aku hanya hendak memerintahkan ini delapan pahlawan pulang ke negerinya!" Tjhong Leng tetap bergusar, sesaat kemudian, setelah mengawasi si nona, ia ubah lagu suaranya. „Baiklah," demikian katanya. „Kedelapan pahlawan ini memang tidak bisa berbuat apa-apa, maka kalau kau ingin aku melepaskan dia, nah, kau turunkanlah mereka! Tapi hendak aku menjelaskan padamu, kalau kau membantu aku, aku tidak akan sia-siakan bantuanmu itu. Untukmu, kau boleh ambil es inti itu, kau boleh bikin itu menjadi peluru, hanya mengenai itu kumala, jangan kau memikirnya yang bukan-bukan!" Si nona baju putih tertawa pula, tetap tertawa dingin. „Adalah mustika itu kepunyaan kau sendiri?" ia menanya. „Jadi untuk mendapatkan itu, orang perlu mengharap pembagian dari kamu?" Sepasang alis gompiok dari Tjhong Leng Siangjin bangun berdiri. „Aku telah bercapai hati beberapa puluh tahun, kau tahu?" katanya bengis. „Kau jadinya hendak mendapatkan bagian enaknya saja? Begitu gampang? Hm! Kau berani menjebutkannya kau tidak memperdulikan mustika dalam lubang es ini?" Lagi-lagi si nona tertawa dingin. „Karena kau berkata begini macam, dari tak ada minatku jadi ada niatku!" ia berkata. „Sekarang hendak aku mengambil itu kumala inti es! Baik, marl kita keluarkan masing-masing kepandaian kita! Mari kita lihat siapakah yang nanti berhasil mendapatkan mustika itu!" Belum berhenti suaranya si nona atau Tjhong Leng Siangjin sudah berlompat maju dibarengi seruannya yang bengis, sebelah tangannya menyambar turun. Atas datangnya serangan, si nona berkelit. Maka celakalah es yang berada di depan pendeta ini, es itu kena diajar hingga muncrat, suaranya pun nyaring. Hoa Seng kaget sekali. „Hebat tangannya pendeta ini," ia berpikir. „Agaknya serangannya ini terlebih hebat daripada pukulan Taylek Kimkong- cioe dari Siauw Lim Pay. Kalau ada ketikanya, hendak aku mencoba-coba dengannya." Tjhong Leng Siangjin penasaran karena gagalnya serangannya yang pertama itu, dalam sengitnya, ia menjerang pula. Ketika ini pun gagal, ia mengulangi untuk ketiga kalinya. Tapi ini juga gagal. Setelah berlompat si nona, yang bersikap sabar sekali, berkata dengan tenang: „Kau tunggu dulu, hendak aku menyadarkan ini empat orang. Sebenarnya aku akan melayani kau mainmain!" Tjhong Leng sedang mendongkolnya, ia tidak perdulikan perkataan orang. Ia maju pula, ia menjerang kembali. Dan ia menjerang secara bertubi-tubi. Setiap serangan itu juga mengasi dengar desiran angin, tanda dari kehebatannya. Diperlakukan secara demikian galak, alisnya si nona berbangkit. Sekarang ia mengangkat serulingnya, walaupun dengan ayal-ayalan. Justeru di saat itu, es di atas mana Koei Hoa Seng menaruh kaki, telah kena tergempur serangannya Tjhong Leng Siangjin. Benar serangan itu bukan disengaja tetapi toh si anak muda terancam bahaya. Tapi ia dapat menyelamatkan dirinya, karena semenjak tadi ia telah memasang mata. Ketika ini lantas digunai si anak muda. Sambil berkelit, ia berlompat, bukan untuk menyingkir, hanya guna sekalian menerjang. Ia lompat tepat kepada si pendeta, menyerang dengan satu jurus dari ilmu silat Ngo Kim Ciang-hoat, kedua tangannya bergerak hingga ia mirip burung rajawali tengah menerkam. „Bagus!" tertawa si nona, yang melihat gerakan si anak muda. Ia dapat tertawa karena ia sudah bebas dari ancaman si pendeta. „Engko, kau tolonglah mewakilkan aku menyambut dia beberapa jurus!" Ia lantas berdiri diluar gelanggang. Tjhong Leng Siangjin melihat datangnya si anak muda, tanpa menghiraukan si nona, ia menyambut serangan orang. Ia telah mengerahkan tenaganya di kedua belah tangannya. Maka itu, hebatlah benterokan tangan mereka, — hebat seperti suara si pendeta, yang berseru keras. Sebagai kesudahan, terlihat tubuh Hoa Seng berjumpalitan, sedang tubuh Tjhong Leng terhuyung mundur beberapa tindak. Dari sini segera terlihat bahwa kekuatan mereka seimbang. Hoa Seng jumpalitan lantaran ia tengah menerkam, kedua kakinya tidak menginjak tanah, sebaliknya si pendeta sambil memasang kuda-kudanya. „Dia benar hebat," pikir Hoa Seng. „Kelihatannya dia tak ada di bawahanku." Tjhong Leng sendiri kaget tidak terkira. Ia merasakan dirinya tangguh, ia mau menganggap ialah orang kosen nomor satu untuk Tibet, siapa tahu, ia telah menghadapi lawan yang tangguh. Tadinya cuma tiga orang yang ia pandang tinggi, ialah satu Ie Lan Tjoe, kedua Liong Yap Taysoe, dan ketiga Bapak Daud. Siapa sangka sekarang, di atas gunung Nyenchin Dangla ini, sudah bertemu si nona baju putih, juga ini pemuda. Ia lebih heran akan mendapatkan baik si nona maupun sipemuda, dua-duanya masih sangat muda, umumya kurang lebih dua puluh tahun. Tapi pendeta ini penasaran, maka itu, setelah menetapkan hati, sambil berseru ia maju pula, untuk menyerang. Ia menggunai dua, tangannya. Koei Hoa Seng mencoba keras lawan keras, ia menolak serangan itu dengan kedua tangannya juga, ia menggunai tipu silat Siang-twie-Ciang, — Sepasang Tangan Menolak. Maka itu, kembali mereka mengadu tenaga. Dalam penasarannya, Tjhong Leng menyerang terus, bagaikan gelombang saling susul, saling susun, tetapi dilayani si anak muda, ia tidak berhasil untuk merobohkan lawannya itu, sia-sia belaka segala percobaannya. Selagi melayani si pendeta, tiba-tiba Hoa Seng berseru: „Kita sudah mengadu tangan kosong, sekarang Mari kita mengadu senjata!" Pendeta dari Tibet itu tertawa lebar. „Marilah!" ia menyambut tantangan. „Kau hendak menggunai senjata apa! Aku sendiri tetap dengan kedua lengan kosong!" Kata-kata ini ditutup sama satu serangan dahsyat. Hoa Seng berkelit atas serangan itu, berkelit untuk menghunus senjatanya, sebab selagi menantang, ia sudah mencekal gagang pedangnya. Karena ini, habis serangan si pendeta, ia membalas menyerang. Bahkan ia menyerang saling-susul hingga tiga kali. „Sret!" demikian satu suara nyaring. Sebab tahu-tahu, jubahnya Tjhong Leng kena ditanya pedangnya si anak muda. „Lebih baik kau hunus saja senjatamu!" mengejek Hoa Seng. la pun mendongkol yang si pendeta mencoba mengejek ia tadi. Baru sekarang Tjhong Leng tahu lawannya itu liehay. Tjhong Leng Siangjin menjadi malu dan gusar, ia tertawa dingin. „Bocah tak tahu mampus atau hidup!" katanya sengit, „kau menghendaki aku mengeluarkan senjata, itu sama saja kau menginginkan aku mengantar kau pulang ke pintu dari Langit Barat!" Lalu, mendadak saja, ia mengeluarkan senjatanya, ialah sepasang cecer yang terbuat dari kuningan, senjata mana lantas terlihat warnanya yang kuning berkilauan, dan tempo keduanya diamproki satu dengan lain, terdengarlah suaranya yang nyaring sekali membuatnya kuping ketulian. Dengan senjatanya yang istimewa itu. ia segera menyerang Hoa Seng, pedang siapa hendak ia menjepitnya. Pemuda she Koei itu meloloskan diri dari jepitan, setelah itu, ia mencoba menggempur cecer itu. Ketika kedua senjata bentrok, terdengarlah suara yang nyaring dan berisik. suara seperti suara emas atau kumala. Ia menjadi heran apabila ia mendapat kenyataan, pedangnya tidak dapat merusak gegaman lawannya itu. Nyata cecer itu bukan terbuat dari kuningan belaka hanya campuran dari emas. Dengan senjata cecernya itu, Tjhong Leng Siangjin telah melatih diri lamanya beberapa puluh tahun, maka itu bisalah dimengerti yang ia dapat menggunainya dengan sempurna, malah sebagai jurusnya adalah jurus-jurus yang sangat langka di dalam kalangan persilatan. Begitulah pernah dengan cecernya itu ia melayani Ie Lan Tjoe, liehiap dari Thian San, hingga hampir banyaknya seratus jurus. Ia jadi sangat bangga karenanya. Maka kalau menghadapi lawan yang sama derajat, tidak mau ia mengeluarkan senjatanya itu. Tapi sekarang ia toh mengeluarkannya juga terhadap lawan yang muda belia ini, inilah kejadian yang pertama kali, di luar kebiasaannya. 06. Mustika di Guha Es Koei Hoa Seng muda akan tetapi ialah akhli waris sejati dari ilmu silat pedang Tat-mo Kiam-hoat, maka itu terdengarlah, di antara suara bentrokannya senjata, siulannya yang panjang, lalu sinar pedangnya naik ke atas menangkis, maka dengan gampang sekali dapatlah ia menyingkirkan serangannya Tjhong Leng Siangjin. Heran pendeta itu, hingga air mukanya pun berubah. Hanya sejenak, ia perlihatkan roman mengejek yang menyeramkan. Berbareng dengan itu, ia menggeraki cecer di tangan kirinya. Hoa Seng hendak menangkis serangan itu, atau mendadak si pendeta menarik pulang cecer kirinya itu, untuk segera diganti dengan cecer kanan, tetapi bukannya dia menyerang, hanya dia adukan kedua cecernya itu. Maka segeralah terdengar suara berisik, yang menulikan kuping. Hoa Seng heran hingga ia tercengang. „Tipu silat apakah ini?" ia menanya dalam hatinya. Tapi tengah ia berpikir, sekonyong-konyong kedua cecer itu menyambar ke arahnya. Ia lantas berlompat, dengan pedangnya ia menyontek ke bawah, guna menangkis. Kedua cecer itu lewat di bawahan kakinya, lalu berputar, kembali kepada pemiliknya! Itulah jadinya semacam serangan membalik seperti boomerang, maka sejenak kemudian, kedua cecer sudah berada pula di tangannya Tjhong Leng Siangjin. „Sungguh berbahaya!" seru Hoa Seng dalam hatinya. Karena ini, ia tidak berani berlaku sembarangan. Ia putar pedangnya, hingga ia bagaikan mengurung dirinya. Dengan itu ia menjaga diri dulu, untuk selama itu mencari jalan untuk membalas menyerang. Mereka bertempur terus. Dengan menggunai pedang, Hoa Seng lebih unggul sedikit tetapi di dalam tenaga dalam, ia agaknya kalah. Sampai hampir seratus jurus, keduanya masih sama tangguhnya. Luar biasa cecer Tjhong Leng Siangjin, kalau diadu sendirinya, suaranya terus menulikan kuping. Lagi beberapa jurus, lengkap sudah seratus jurus mereka bertarung, masih saja mereka sama imbangannya, hanya suara cecer itu makin lama makin hebat, sebab saban ada ketikanya, Tjhong Leng mengadu itu, hingga sendirinya, pikiran Hoa Seng menjadi rada kacau, karena ia terganggu pemusatan pikirannya itu. Sebenarnya siapa mahir tenaga dalamnya, yaitu samedhinya, dia sukar terganggu oleh segala godaan. setahu kenapa, Hoa Seng seperti kuat mempertahankan diri. Mungkin ini disebabkan ia mendapatkan lawan sangat tangguh. Tjhong Leng Siangjin liehay sekali, ia seperti melihat kelemahannya lawan ini, lantas ia mendesak semakin hebat, maka walaupun ia bersenjatakan pedang, Hoa Seng agak terdesak, dia cuma dapat membela diri. Agaknya, untuk menangkis saja, dia sudah kewalahan. Di dalam saat yang genting itu, yang berbahaya untuk si pemuda she Koei, sekonyong-konyong Tjhong Leng Siangjin berseru sendirinya, sebab selagi bertempur, ia mencuri ketika akan berpaling kepada si nona dan keempat boesoe atau pahlawan. Hoa Seng pun lekas-lekas melirik. Ia melihat keempat boesoe itu, yang hampir beku karena kedinginan, sudah dapat berbangkit berdiri, dan ketika itu, mereka lagi memberi hormat kepada si nona baju putih. Menggunai ketika lawannya tertarik perhatiannya kepada lain hal, ia mencoba membalas menyerang dengan desakannya. Tjhong Leng repot membela diri. Terang ia hendak menghampirkan keempat boesoe Nepal itu akan tetapi ia tidak sanggup. Maka ia melainkan dapat mengawasi saja bagaimana habis memberi hormat kepada si nona, mereka itu lantas lari bagaikan terbang turun dari gunung! Bukan main mendongkolnya Tjhong Leng. Ia murka berbareng heran sekali. Untuknya, kehilangan delapan boesoe itu tidak berarti banyak. Ia hanya terkejut yang si nona dengan cara gampang saja dapat menyembuhkan orang. Terang sudah, nona ini mempunyai obat melawan hawa dingin. Kekuatirannya adalah, selagi ia melayani Hoa Seng, si nona nanti pergi ke dalam guha untuk mengambil apa yang dia namakan mustika itu. Si nona tidak bertindak lebih jauh sehabisnya dia menolong kedelapan boesoe Nepal itu — dia tidak masuk ke dalam guha, dia tidak maju untuk membantui Hoa Seng. Dia hanya menghampirkan mulut guha, untuk duduk bersila di depan guha itu, sikapnya tenang-tenang saja. Dengan anteng ia menyaksikan pertempurannya dua orang itu, yang berlangsung terus. Tjhong Leng tidak dapat menerka maksud si nona, akan tetapi karena orang tidak mengambil tindakan lain, hatinya menjadi tetap, ia terus memusatkan perhatian kepada lawannya saja, kepada Koei Hoa Seng, sepasang cecernya bergerak-gerak dengan hebat, kadang-kadang sambil terbang. Ia menyerang dan membela diri lebih dahsyat dan sempurna daripada semula tadi. Hoa Seng merasakan sulit melayani pendeta yang tangguh dan ulet ini, sampai ia merasakan pernapasannya sesak. Suara cecer berulang-ulang juga mengacaukan pikirannya, hingga ia mesti menguasai diri untuk dapat melawan terus. Lama-lama ia merasa bahwa ia tak dapat bertahan terus-terusan secara demikian. Ketika anak muda ini membayangi datangnya detik-detik yang membahayakan dirinya, tiba-tiba kupingnya mendapat dengar suara seruling, dari perlahan menjadi muluk. Perlahan suara seruling itu tetapi toh dia dapat menembusi suara cecer yang berisik dan aneh itu, yang hebat pengaruhnya. Suara seruling itu adalah satu penawar bagi Hoa Seng, seperti di gurun kering orang bertemu sumber air, atau di panas terik orang meminum air salju. Dengan datangnya suara seruling, lenyaplah kekacauan pikiran anak muda ini, karena mana semangatnya pun menjadi terbangun pula, hingga ia bisa bersilat dengan baik dengan ilmu silatnya, ilmu silat pedang Tat-mo Kiam-hoat. Dengan begitu, dalam tempo yang cepat, ia dapat memperbaiki diri, hingga tak lagi ia terdesak, hingga keduanya menjadi berimbang pula. Tidak lama sehabis perubahannya Koei Hoa Seng ini, sebagai gantinya, Tjhong Leng Siangjin adalah yang nampak bergelisah, karena mana, cecernya ia mengadunya berulangulang, dengan keras sekali. Di lain pihak, suara seruling terdengar nyata semakin halus, dan walaupun suara halusnya itu, suara cecer tidak dapat menekannya. Hati Hoa Seng menjadi tenang. Ia merasakan suara seruling merdu sekali. Dengan pikiran tenang itu, makin merdeka ia bergerak dengan pedangnya. Hanya sesaat kemudian, ialah yang terlebih unggul, tidak perduli Tjhong Leng Siangjin menggunai jurus yang sangat berbahaya, senantiasa ia berhasil memunahkannya. Ia sekarang justeru membuatnya pendeta itu mulai terdesak, hingga dia mesti main mundur …… Lagi beberapa detik, mendadak suara seruling berubah nadanya, dari halus menjadi tinggi, menarik tinggi dengan teratur, perlahan tetapi tentu. Satu kali Hoa Seng mencelat tinggi, atau ia merasakan, gerakgeriknya cocok sama irama seruling itu. Dari atas, ketika ia turun pula, ia menyerang lawannya dengan tipusilat „Hoei niauw touw lim," yaitu „Burung terbang pulang ke dalam rimba," lalu pedangnya berkilau bagaikan bintang cemerlang di langit hitam. Sebagai akibat serangan ini, terdengar suara nyaring dan jeritan dari kaget dan kesakitan. Sebab cecer tembaga dari Tjhong Leng kena dirusaki pedang dan robohnya terluka dengan tujuh lubang. Tatkala Hoa Seng turun dan menaruh kaki di tanah, ia menampak Tjhong Leng lari kabur turun gunung cepatnya bagaikan terbang, hingga ia menjadi sangat kagum untuk ketangguhan pendeta itu. Bukankah orang habis bertempur lama dan terluka juga? Si nona baju putih berhenti dengan lagunya yang menarik hati itu. Karena ialah yang meniup seruling. Ia berbangkit dengan perlahan-lahan. „Sungguh satu ilmu pedang yang bagus!" ia memuji sambil bersenyum manis. Mukanya Hoa Seng merah sendirinya. „Jikalau tidak kau membantui, mungkin aku telah terluka sepasang cecernya pendeta itu," katanya likat. „Mana aku membantu kau?" berkata si nona manis. „Itulah melulu disebabkan kepandaianmu sendiri yang telah ada dasarnya. Umpama kata pelita atau lilin yang dapat menyala, atau seruling yang dapat dilagukan, aku melainkan mendatangkan api yang berkelak-kelik atau meniupnya dengan napas yang halus. Untuk itu, tidak ada apa-apa yang berharga yang harus diucapkan." Hoa Seng menatap untuk kata-kata si nona yang berarti itu, cuma sejenak, ia lantas sadar. Maka ia merangkapkan kedua belah tangannya. „Memang pelita dan lilin dapat dinyalakan dan seruling dapat dibunyikan," katanya bersyukur. .,Memang iblis dari luar sebenarnya tak ada, kosong belaka. Nona, aku berterima kasih kepadamu!" „Engko," berkata si nona tertawa, „kau telah insaf, kau memperoleh kemajuan satu tindak pula. Bicara sejujurnya, bicara dari hal ilmu silat, aku bukanlah tandingan dari Tjhong Leng Sianjin. Yang benar, engko, adalah ilmu pedangmu yang liehay sekali. Adakah itu ilmu silat Tionghoa?" „Bukan," menyahut Hoa Seng sambil menggeleng kepala, „sebenarnya ini asal dari Barat, yaitu Tat-mo Kiam-hoat, ilmu pedang Bodhidarma, hanya, setelah melalui tempo seribu tahun lebih, berkat bantuannya pelbagai akhli silat Tionghoa, kemajuannya luar biasa, sekarang jadi melebihkan asalnya, menjadi terlebih sampurna." Si nona mengangguk. „Engko benar juga," ujarnya. ,,Memang, di antara Barat dan Tionggoan, tidak ada perbedaannya, bahkan ilmu silat dari seluruh dunia, dapat dipersatukan ………… Mendengar pembicaraan si nona, Hoa Seng ingat sesuatu. „Tadi malam aku melihat kau menggunai seruling menuruti cara ilmu pedang, melihat itu terbukalah mataku," ia berkata. „Aku sangat mengagumi kau. Dengan begitu, juga ilmu silat kita berdua dapat disatu padukan. Mungkin perpaduan itu tak sampai membuat kita dapat menjagoi di kolong langit ini tetapi aku percaya, kita bakal bantu memancarkan cahaya gilang gemilang dalam ilmu pedang!" „Benarkah itu?" bersenyum si nona, kedua matanya menatap. Lantas ia membungkam. Hoa Seng balik menatap, ia pun berdiam. „Untuk bepergian, untuk berdiam, itulah bergantung sama jodoh," kata si nona sesaat kemudian. „Kata-katamu ini baiklah diucapkan lagi nanti apabila di kemudian hari ada jodohnya …….” Hoa Seng tidak bergembira mendengar kata-kata itu. Ia mengangkat kepalanya memandang langit. Nyata matahari sudah berada di atasan kepala mereka. Dan puncak es, di bawah sinar matahari itu, memperlihatkan pemandangan yang indah sekali. Dan bayangan sendiri bersama bayangan si nona, bayangan yang berada di bawah puncak es itu, bagaikan bersatu padu ……………. Inilah keadaan, atau pemandangan, yang ia mengharapnya tak nanti lenyap pula, supaya dapat berada dengan kekal adanya, bagaikan impian indah yang berkesan lama. Si nona memandang kelilingnya. „Sekarang sedang tengah hari, hawa dingin saatnya paling lemah, sudah waktunya kita bekerja," katanya kemudian. Hoa Seng mengangguk, lalu ia mengikuti si nona bertindak menuju ke lubang guha es. Di sana ada sinar terang, ada siuran angin dingin yang halus, tetapi mengenai tubuh, siuran itu rasanya menusuk-nusuk. „Liong Yap Taysoe telah memberikan aku kitab bahasa Sangsekerta," kata si nona, tertawa, „di dalam kitab itu ada resep obat buat melawan hawa dingin, maka aku telah membikin tujuh obat itu, yang dinamakan Yang Hoo Wan. Tapi sekarang baiklah kita mencoba dulu tenaga tubuh kita, jangan kita mengandali kekuatan obat, dikuatir di belakang hari kita nanti tidak dapat menggunai Peng-pok Hankong-kiam serta Peng-pok Sin-tan." Hoa Seng belum mengerti akan itu kata-kata Peng-pok Hankong- kiam, yang berarti pedang inti es, dan Peng-pok Sin-tan, peluru inti es, maka ia tidak membilang suatu apa. Hanya, berdiri di mulut guha, ia memandang ke arah dalamnya. Ia melihat hanya segala apa putih, semua mirip dengan halnya istana dewa di dalam dongeng …….. Guha itu seperti tertutup mega kabut. Pemuda ini menjumput sebutir batu, ia melemparkannya ke arah guha. Atas itu ia tidak mendengar suara apa juga. Maka dapatlah diduga dalamnya guha itu. „Apakah kau jeri?" si nona menanya, mengawasi. Si pemuda tertawa. "Aku ada bersama kau, apakah yang aku takut?" katanya. Ia lantas menghunus pedangnya, pedang Theng-kauw-kiam, dengan itu ia menusuk kepada tebing es yang berupa sebagai tembok, lalu ia geraki tubuhnya, untuk turun. Berulang-ulang ia menggunai pedangnya itu serta tangan kirinya, karena mana ia dapat turun ke dalam guha yang mirip lubang sumur. Ia menggunai Pek-houw Yoe-Ciang-kong, atau „Cecak Memain di Tembok", hanya bukannya memanjat, tetapi meluncur turun. Sembari turun, Hoa Seng mencoba melihat si nona, yang telah mengikuti ia turun. Hanya beda daripada ia, si nona cuma menggunai kedua tangannya yang dipentang, ditempel bergantian kepada kedua tepi guha itu, yang merupakan es semua, turunnya lancar, bagaikan tak menggunakan tenaga. Dengan cepat ia telah dilewati. „Ah" memikir pemuda ini. Ia yang bangga akan kepandaiannya, sekarang kalah oleh satu pemudi. Ia lupa bahwa Nepal adalah negara es dan di sana bocah-bocah sudah memain di es semenjak usianya tiga tahun, hingga si pemudi tidaklah menjadi kecuali, melainkan si nona ini menggunai akal, tanpa sepatu es atau bangkolan tangan. Di lain saat, nona itu telah tiba lebih dulu di dasar guha. Ketika ia melihat ke atas, Hoa Seng baru sampai di tengah. Ia bersenyum. Lantas ia mengeluarkan sehelai tambang, yang sepuluh tombak, tambang mana ia lemparkan ke atas. Dengan bantuan tenaga dalamnya, ia dapat membuat tambang itu lempang kaku. Hoa Seng melihat tambang itu meluncur naik, ia berlompat menyambar dengan gerakannya „Burung kapinis berjumpalitan," kemudian dengan ilmu „Dengan sebatang gelagah menyeberangi sungai," ia meluncur turun. Si pemuda, dengan kesebatannya, membuatnya tambang itu semakin pendek, maka lekas sekali si pemuda sudah turun, berdiri berendeng bersamanya. Di dalam guha itu, hawa dingin ada luar biasa. Maka Hoa Seng lantas mengempos semangatnya, napasnya dibikin berjalan lurus, untuk melawan hawa dingin itu. Bersama si nona, dengan tindakan perlahan, mereka berjalan. Di dalam guha luas, tak sempit seperti liangnya tadi. Di sekitarnya terlihat es yang gilang gemilang bagaikan ratusan atau ribuan buah kaca rasa, sinarnya pun berbalik, hingga tubuh mereka berbayang hampir tak dapat dibedakan. Tidak lama mereka berjalan, sinar terang mulai menjadi lemah, sebaliknya, hawa dingin bertambah. Mereka melawan, mereka berjalan terus. Sampai lenyaplah itu cahaya bagaikan kaca rasa di tembok es itu. Hanya sekarang Hoa Seng merasakan tangan dan kakinya seperti membeku dan napasnya pun mulai sesak. "Es di sini telah membeku menjadi batu," berkata si pemudi, menyelaskan, „bukan seperti es di luar yang ada seperti es wajar. Di dalam kitab bahasa Sangsekerta itu, es di sini dinamakan 'es laksaan tahun.' Tentu saja, yang benarnya, bukan melainkan laksaan tahun saja ………” Hoa Seng menghunus pedangnya dan membacok kepada es itu, ia mengambil satu potong. Mencil sendirian, potongan es itu bersemu rada hitam, kuatnya betul seperti batu. Dipegang dengan tangan, es itu dingin luar biasa, meresap ke dalam tulang, maka lekas-lekas si pemuda melemparkannya. Dengan meminjam sinarnya pedang, muda-mudi ini berjalan terus, sampai mereka melihat sinar terang, sinar yang kehijauhijauan. „Karang Han-giok-giam berada di depan kita," berkata si nona, „di sana kita dapat menggali itu kumala han-giok yang usianya sudah jutaan tahun. Engko, dapatkah kau melawan hawa dingin di sini?" Sebenarnya Hoa Seng telah kedinginan hingga kedua barisan giginya atas dan bawah bercakrukan, akan tetapi mendengar suara si pemudi, yang halus dan merdu, ia bagaikan mendapat hawa hangat hingga ia dapat melawan hawa dingin itu. Ia mengangguk. Di depan mereka ada berdiri sebuah atau setumpuk batu karang yang besar, yang merupakan seperti angin, di kiri dan kanannya ada tembok es yang hitam. „Coba engko memapas di situ," berkata sinona seraya tangannya menunjuk. Hoa Seng menurut, ia mengajun pedangnya. Begitu lekas juga di depan mereka terlihat sinar terang mencorot ke empat penjuru, membikin terang seluruh guha itu. „Inilah inti es yang semenjak dulu kala tidak pernah lumer," si nona menerangkan. „Kalau inti es ini dibuatnya menjadi peluru, dia akan menjadi senjata rahasia yang nomor satu di kolong langit ini." Pada batu es itu ada beberapa tanda-tanda bacokan, menunjuk pada itu, si nona tertawa. „Golok Nepal tajam tetapi golok itu tidak dapat melawan pedang mustika," ia berkata pula. „Inilah buktinya kenapa batu es ini tidak dapat digempur oleh mereka yang mendahului kita datang ke mari. Tjhong Leng Siangjin tidak menyangka inti es ini begini keras dan kuat. Syukur dia tidak membawa pedang mustika. Maka syukurlah engkau, engko, aku dapat mengandal kepadamu!" Hoa Seng gembira sekali, lalu ia membacok pula berulangulang, membuat batu es itu jatuh berkeping-keping, tetapi kemudian, ia membentur serupa barang yang keras, yang tidak mempan terbacok. Suara bacokan itu nyaring. „Coba kasikan pedangmu padaku, engko," berkata si nona. Hoa Seng mengangsurkan pedangnya. Dengan pedang mustika itu, si nona mencongkel, menggali dengan hati-hati. Ia menggali memutar. Sembari bekerja, ia berdiri berendeng sama Hoa Seng. Ia bekerja bukannya, tanpa menggunai tenaga, ia malah mengerahkan tenaga Taylek Engjiauw- kang. „Mari kita bekerja sama!" mengajak si nona kemudian. Terus ia menjambret inti es yang telah digali seputarnya itu, terus ia menarik sekuat tenaganya. Hawa dingin luar biasa, tetapi keduanya bertahan. Satu kali si nona berseru, lantas ia berhasil mencabuti inti es itu, ialah kumala hijau tiga kaki persegi, seluruhnya bersinar terang mengkilap. Bukan main girangnya si nona, wajahnya menjadi ramai. „Engko, kita berhasil mendapatkan ini kumala es dari laksaan tahun," katanya, „dan ini kita mengandal kepada pedangmu ini. Han-giok ini engko boleh ambil, untuk dibuatnya menjadi sebatang pedang mustika, dengan memakai pedang ini, kau bakal tanpa lawan lagi!" Hoa Seng tertawa. „Tanpa bertemu sama kau, tidak nanti aku ketahui guha es ini," ia berkata. „Maka itu, bagaimana aku berani mengambilnya? Lagi pula pepatah Tionghoa ada menyebutnya, benda itu enteng, budi itu berat, dari itu, dengan kau hendak memberikan kumala ini padaku, aku telah menerima budimu, budi yang terlebih berharga daripada kumalanya sendiri. Aku mengerti kau, budimu ini tidak nanti aku melupakannya." Si nona bersenyum, „Kau bisa sekali bicara, engko!" katanya. „Karma kau membilang demikian, baiklah aku menghendaki kumala es ini." Ia mengeluarkan sebuah kantung sulam, kumala es itu dimasuki ke dalam kantung itu. „Dari apa dibuatnya kantungmu ini?" Hoa Seng menanya. „Kenapa kantung bersinar menyilaukan mata, bukan seperti kantung sulam biasa?" „Kantung ini terbuat dari sutera dari India Barat," menyahut si nona. „Air dan api tak dapat membasahkan atau membakar sutera ini. Kau melihatnya sendiri, kumala ini dapat dimasuki ke dalamnya tanpa sinarnya nembus keluar." Hoa Seng kagum hingga ia pegang-pegang kantung itu. Perkataan si nona benar adanya. „Karena kau mempunyai kantung wasiat ini," ia berkata, „baiklah kau ambil sekalian ini potongan-potongan inti es, supaya kemudian kau dapat membuatnya menjadi peluru es Peng-pok sintan." „Benar," si nona menyahuti, lalu ia tertawa. „Hanya saja, selagi aku mendapatkan barang, kau sendiri pulang dengan tangan kosong!" Hoa Seng tertawa, lalu ia membacok pula beberapa kali, mendapatkan beberapa potong sisa kumala es. „Kumala ini tidak dapat dibikin jadi pedang es tetapi masih dapat dijadikan barang mainan!" katanya. „Toako, tahan!" mendadak si nona berkata. Ia bersikap sungguh-sungguh. „Coba lihat, apakah ini?" Si nona menunjuk, dan si pemuda mellhatnya. Di bekas tumpukan karang han-giok itu terlihat lukisan aneh seperti huruf. Si nona mengawasinya, hingga kemudian ia berseru: „Inilah huruf-huruf Sangsekerta! Inilah penyelasan caranya membikin pedang Pengpok Hankong-kiam! Ah, aku mengerti sekarang. Orang berilmu itu, yang membuat kitab rahasia bahasa Sangsekerta itu adalah seorang pendeta yang berilmu tinggi, rupanya dulu dia yang bermula menemui gunung kumala es ini, tetapi dia tidak mempunyai pedang mustika, dia tidak berhasil mendapatkannya, tetapi dia liehay sekali, dia dapat bertahan melawan hawa dingin di sini, maka dia berhasil juga mengukir huruf-huruf ini, untuk memberi pelajaran kepada mereka yang akhirnya mendapatkan kumala es ini." Habis berkata, si nona lantas duduk bersila, tubuhnya tegak, sembari bersila, ia membaca huruf-huruf itu, sekalian dengan menuruti pengajaran itu, ia melatih diri melawan hawa dingin itu. Dengan beraturan ia memainkan pernapasannya. 07. Pencipta Ilmu Pedang Sungai Es Hoa Seng mengerti tugasnya, maka ia berdiri diam di samping si nona dengan pedang terhunus di tangan. Dengan begitu ia hendak melindungi si nona yang tengah berlatih itu. Tugas ini sangat berat untuknya. Hawa dingin menyerang hebat sekali kepadanya, sampai ia merasakan hampir tak dapat bertahan lebih lama pula ……………… Mereka tidak tahu sudah berapa lama mereka berdiam di dalam guha itu, sedang sebenarnya ketika itu sudah lewat lohor, lagi mendekati magrib. Coba latihan tenaga dalam dari Hoa Seng tidak sempurna, tidak nanti ia dapat bertahan sampai begitu lama, atau tentulah ia sudah beku. Tengah Hoa Seng berdiam seraya menyalurkan napasnya, buat tetap melawan serangan hawa dingin itu, tiba-tiba kupingnya mendapat dengar satu suara berkelisik, yang datangnya dari arah luar. Ia terkejut. Ia menduga kepada datangnya seorang berilmu. Ia heran ada lain orang yang begitu tangguh, yang dapat memasuki guha itu. Ia berpaling, untuk memasang mata. Suara tadi terdengar pula semakin nyata, lalu di lain detik terlihat siapa yang menyebabkan itu. Yaitu seorang yang luar biasa sekali, sebab tubuhnya kurus-kering mirip sebatang bambu, jidatnya celong, matanya merah seperti api, rambutnya berdiri riap-riapan. Tegasnya, ia beroman sangat aneh dan bengis. Lainnya lagi, yang mendatangkan rasa heran, adalah kedua tangannya. Dengan kedua tangannya itu ia menyerang kalang-kabutan, kalau tangan itu mengenai es, es itu lantas gempur lumer seperti terkena sorot matahari. Tidakkah aneh, inti es yang tidak mempan senjata tetapi runtuh oleh tangannya manusia aneh itu? Tengah Hoa Seng tercengang itu, si manusia aneh mengasi dengar bentakannya: „Hai, kedua bocah, sungguh besar nyalimu? Cara bagaimana kamu berani lancang memasuki Puncak Bidadari untuk mengambil mustika?" Walaupun orang beroman bengis, tetapi Hoa Seng tidak takut. Ia bahkan tertawa. „Inilah benda laksaan tahun yang tak ada pemiliknya!" ia menjawab. „Siapa ada mempunyai kepandaian, dia dapat mengambilnya? Dapatkah kau menghalang-halangi kami?" „Hm!" manusia aneh itu mengejek. Lalu dia meneruskan dengan dingin: „Jadinya kumala han-giok yang sudah laksaan tahun usianya telah dapat diambil oleh kamu?" „Benar! Habis kau mau apa?" Hoa Seng menantang. „Kau keluarkanlah, kau serahkan padaku!" berseru manusia aneh itu. Hoa Seng tertawa bergelak. „Di kolong langit ini mana ada urusan demikian gampang?" katanya. „Benda yang dengan susah-payah aku mendapatkannya, mana dapat aku memberikannya padamu? Kau ada mempunyai hak apakah?" Manusia aneh itu bukannya gusar, bahkan dia tertawa. „Kamu mempunyai kepandaian memasuki guha ini mengambil mustika, maka aku pun ada mempunyai kepandaian akan merampasnya dari tangan kamu! Apakah yang aku andalkan? Kedua tanganku ini!" Sembari mengucap demikian, manusia aneh itu bertindak menghampirkan, ketika ia menghentikan suaranya, mereka berdua terpisah tinggal sepuluh tombak lebih. Begitu suaranya berhenti, begitu tubuhnya mencelat, pesat luar biasa, sejenak saja ia sudah sampai di depan si pemuda, ketika kedua tangannya diangkat, kedua tangan itu tertampak merah sebagai darah segar. Koei Hoa Seng telah bersiap sedia, akan tetapi melihat tangan orang itu, ia kaget juga, tapi karena ia tidak takut, ia lantas menusuk dengan pedangnya ke arah tangan orang itu. Ia menggunai jurus „Menunjuk Langit Selatan," pedangnya mengarah ke telapakan tangan. Si orang aneh seperti mendapat tahu pedang itu sangat liehay, dia menarik pulang tangannya yang ditikam itu, dia membaliknya, maka di lain saat terlihatlah cahaya merah berkelebat, dan di antara suara angin, tangan itu menyambar ke muka si anak muda. Hebat manusia aneh itu, sudah tangannya itu kuat dan sebat sekali, juga anginnya mendatangkan hawa panas, seperti api yang menghembus karena dikipasi. Hoa Seng berkelit, terus ia berkelit berulang-ulang karena ia segera diserang saling-susul. „Tahan!" teriaknya kemudian. „Apakah kau Seat San Yauwjin Cek Sin Coe?" Tepat dugaannya pemuda ini, manusia aneh itu benar-benar Soat San Yauwjin Cek Sin Coe atau si Siluman dari Seat San, Gunung Salju. Dialah orang yang menyebutnya si iblis dari perbatasan Sinkiang dan Tibet di mana dia biasa malang malintang, tetapi pada sepuluh tahun yang lalu dia telah dihajar dikalahkan Boe Keng Yauw, salah satu dari Thian San Cit Kiam, yang memaksanya berdiam di atas Seat San, Gunung Salju itu, dan dilarang keluar pula dari gunung itu, tetapi dia tidak puas, maka itu dia berdiamnya di gunung dengan hatinya terus panas. Selama belasan tahun itu, dia telah melatih dirinya, ialah dia melatih kedua tangannya dengan caranya yang luar biasa pula. Dia telah membuang kulit tangan dan kakinya, dia rendam itu di racunnya semacam rumput, maka lama-lama tangan dan kakinya itu menjadi merah sebagai darah, berhawa panas, kalau mengenai orang, orang dapat binasa. Hebat pula, tenagadalamnya dapat disalurkan kepada kedua tangannya, membuat tangannya itu jadi liehay luar biasa juga. Dengan latihannya ini, Cek Sin Coe hendak menempur pula Boe Keng Yauw, hanya di luar dugaannya, selagi latihannya telah berhasil, Boe Keng Yauw dan juga Ie Lan Coe, dua-dua telah saling-susul meninggalkan dunia yang fana ini. Tapi karena meninggalnya dua lawan tangguh itu, dia menganggapnya dia tak ada tandingannya lagi di kolong langit ini, maka sekarang dia berani turun dari Soat San, akan muncul pula di Tibet. Yang pertama dia lakukan ialah mencari sahabat karibnya, yaitu Tjhong Leng Siangjin, guna mendengar pelbagai keterangan selama tahun-tahun yang belakangan ini. Sungguh kebetulan, justeru Cek Sin Coe tiba, justeru dia bertemu sama Tjhong Leng Siangjin, di saat pendeta itu baru saja dipecundangi Koei Hoa Seng. Pertemuan itu terjadi di kaki gunung Nyenchin Dangla itu. Kapan Tjhong Leng mengetahui niat sahabatnya ini, untuk malang melintang pula, ia kata: „Jangan kau menganggap kau telah berhasil melatih tangan iblismu, lantas kau menganggap dirimu tanpa tandingan di dalam dunia ini. Tahukah kau apa yang tersembunyi di dalam guha es dari Puncak Bidadari? Di sana ada kumala es yang usianya sudah jutaan tahun, yang dapat menjadi lawan yang akan mengalahkanmu. Sekarang ini justeru ada orang yang tengah memasuki guha es itu, buat mengambil inti es itu buat dibikin menjadi pedang Pengpok Han-kong-kiam, guna membunuh kau!" Kata-kata ini membuatnya Cek Sin Coe penasaran, maka tidak ayal lagi ia mendaki gunung, ia mencari guha es itu dan terus masuk ke dalamnya. Ia pun hendak mengambil inti es itu. Ia hanya heran, ia justeru bertemu sama si anak muda dan si pemudi, bahkan segera ternyata, pemuda itu liehay. Karena ia berpengalaman, dalam beberapa jurus saja ia mengenali ilmu silat Hoa Seng ada ilmu silatnya salah satu Thian San Cit Kiam, ialah dari kaumnya Boe Keng Yauw, musuh besarnya itu. Ia heran berbareng gusar, maka itu ia berkelahi dengan lantas menggunai tangan iblisnya itu. Hebat lawannya Koei Hoa Seng. Ke mana tangannya Cek Sin Coe menyambar, di situ es lumer tersampok tangannya itu, maka di antara hawa dingin, ada juga hawa panas yang menyambar kepadanya. Coba tenaga-dalamnya tidak sampurna, mungkin ia sudah roboh karena pusingnya. Toh lama-lama ia merasakan pernapasannya terintang, tenaganya mulai berkurang, hingga ia menjadi mirip orang yang lagi terserang penyakit berat. Ketika ia mencoba melirik si nona, ia mendapatkan nona itu tetap lagi duduk bersamedhi, dia seperti tidak memusingkan apa yang terjadi di sekitarnya itu. Serangan Cek Sin Coe menjadi bertambah-tambah dahsyat, sambaran anginnya menjadi menderu-deru. Hoa Seng melawan terus. Ia terpaksa mencoba kelincahannya, akan senantiasa berkelit diri dari setiap serangan lawan, agar tidak sampai kena terpukul. Oleh karena ini, ia menjadi kena terkurung. Hanya celaka untuknya, selagi hawa dingin sedang hebatnya, hawa panas pun demikian, pernapasannya jadi semakin tertindih, ia menjadi merasai kepalanya pusing, matanya mulai berkunang-kunang, ia merasa bagaikan bumi gempa dan langit ambruk ……….. Di saat pemuda ini sudah tidak sanggup bertahan lebih lama lagi, sekonyong-konyong ia mendengar suara yang merdu dari si pemudi yang menjadi kawannya itu. Kata si nona: „Engko, kau ke marilah, jangan kau layani si manusia aneh!" Menyusuli kata-kata si nona, lantas terdengar suara sar-ser tak hentinya, suara mana disebabkan meluncurnya sebutir demi sebutir dari peluru-peluru inti es, yang sinarnya berkeredepan, semua menyambar ke arah Cek Sin Coe. Terkena hawa panas, peluru itu jatuh hancur, akan tetapi berbareng dengan hancurnya, keluarlah hawanya yang dingin, hawa dingin yang terus menentang hawa panas dari Cek Sin Coe itu. Tak usah berjalan lama atau Cek Sin Coe menggigil sendirinya. Hawa dingin itu menentang hawa panas, hingga dia merasa hawa panasnya berubah menjadi hangat. Koei Hoa Seng tidak mengundurkan diri walaupun si nona telah memanggilnya, dari bertahan, ia maju menyerang, melakukan pembalasan. Ia pun telah merdeka dari kurungan hawa panas. Dengan serangan „Sin Hong tiauw bwee," atau „Naga sakti menggoyang ekor," ia memaksa Cek Sin Coe terdesak mundur beberapa tindak. Adalah setelah itu, baru ia lompat mundur, meninggalkan lawan yang tangguh itu, untuk berdiri di dampingnya si nona manis. Cek Sin Coe kaget berbareng murka. „Kalau begini tidaklah dusta kata-katanya Tjhong Leng Siang¬jin," dia berpikir. „Peluru es saja sudah begini liehay, bagaimana lagi kalau mereka ini berhasil membuatnya pedang inti es itu? Mana aku mempunyai tempat lagi akan menancap kakiku?" Karena berpikir begini, mendadak dia berseru dan maju berlompat, untuk menerjang si nona. Di saat orang berlompat hampir sampai di depannya, si nona mencelat dari tempatnya duduk bersila, kemudian sambil bersenyum ia berkata: „Kecewa kau hidup sampai kepada usiamu sekarang ini! Kenapa kau masih tidak tahu mundur atau maju? Kenapa pikiranmu gelap begini rupa? Kenapa kau mencari kegetiran?" Si nona berkata dengan manis tetapi tangannya lantas melayang, melayangkan tujuh buah peluru esnya. Cek Sin Coe menjadi kelabakan, bagaikan binatang liar yang ditombaki si pemburu, hingga ia mesti memperdengarkan kaokannya yang keras. Kedua matanya menjadi merah saking murkanya. Walaupun kemurkaannya itu, ia toh terpaksa mundur. Sebab tiga jalan darahnya kena dihajar peluru es itu, hawa dingin luar biasa masuk meresap ke dalam tubuhnya, mengikutinya. Latihan tenaga dalam dari Cek Sin Coe adalah latihan sesat, meski begitu, tenaga dalam itu dapat dipersatukan dengan tenaga dalam sejati, maka dengan terserang peluru es itu, ia dapat mempertahankan diri apabila ia lantas duduk bersila untuk bersamedhi. Tapi sekarang, ia tidak diberikan kesempatan untuk beristirahat, si nona sudah mengulangi timpukannya yang bertubi-tubi, percuma ia menahan dengan hawa panasnya, hawa dingin itu tidak mau buyar lenyap. Dengan ia paksakan mengeluarkan hawa panasnya, ia menjadi mensia-siakan tenaganya, di lain pihak, si nona menimpuk tak habisnya. Celakanya untuk Cek Sin Coe, latihannya masih belum menyampaikan puncak kemahirannya. Diserang terus-menerus, Cek Sin Coe menjadi seperti orang kalap, hawa dingin menyerang dia sampai tubuhnya menggigil. Koei Hoa Seng menyaksikan keadaan orang, ia menjadi heran sekali. „Sungguh senjata rahasia yang luar biasa aneh!" pikirnya. ,,Lainnya macam senjata rahasia melukai atau meracuni tubuh tetapi ini membuatnya orang kedinginan!" Tengah orang kalap dan menggigil itu, si nona tertawa dan berkata: „Aku berkasihan melihat kelakuanmu ini, aku suka mengasi ampun padamu. Kau pergilah!" Meski ia suka memberi ampun, si nona toh mengajun tangannya, akan menimpuk dengan tiga peluru lainnya. Cek Sin Coe membuang dirinya hingga ia roboh terguling. ketika ia bangun berdiri pula, tanpa berpaling lagi, ia lari kabur sekuat-kuatnya. Si nona mengawasi tanpa mengejar, ia kata sambil tertawa: „Tiga peluru barusan mengenai jalan darah leng kie hiat, karenanya dia tidak dapat lagi melatih diri hingga dia mendapatkan pula tenaga aslinya. Coba aku menggunai tujuh peluru, dia mesti segera terbinasa di sini. Dia rupanya tahu bahaya, maka itu dia lari kabur!" Hoa seng menghela napas lega. „Jikalau kau tidak turun tangan di saatnya yang tepat, pasti aku telah roboh terbinasa di tangannya siluman ini," ia berkata. la ingat ancaman bahaya barusan, bagaimana hawa panas dan dingin membuatnya napasnya sesak, sendirinya ia menggigil, ia seperti kehabisan tenaga, hatinya pun tidak tenang. Si nona melihat keadaan kawannya ini, ia bersenyum. Ia merogo sakunya, akan mengasi keluar peles peraknya, dari mana ia mengambil sebutir pel warna hijau. „Engko, kau makanlah obat ini," ia berkata seraya mengangsurkan obat itu. „Kau menempur Cek Sin Coe sampai lebih dari seratus jurus, syukur tenaga dalammu mahir sekali, melebihkan aku, dengan begitu kau masih dapat mempertahankan diri. Sayang hari-hari dari berkumpulnya kita tidak banyak, kalau tidak, ingin aku memohon pengajaran dari padamu." Mendengar itu, dingin hatinya Hoa Seng. Si nona menyebut hal perpisahan …….. Maka bersendunglah ia perlahan-lahan: „Di dalam dunia ini sukar mencari dua orang yang cocok satu dengan lain, mengapakah tuan dengan gampang sekali menyebut dari hal perpisahan?" Mendengar itu si nona tertawa. „Ah, kau telah melupakan apa yang aku bilang perihal pergi dan berdiam itu ada mengikuti jodoh!" ia berkata. „Di dalam dunia ini di mana ada pesta yang tidak bubar? Jikalau kau berkukuh, baiklah aku percepat kepergianku …… Eh, lekaslah kau telan obat ini!" Hoa Seng tidak berani membilang apa-apa lagi, ia menyambut pel itu, terus ia kasi masuk ke dalam mulutnya. Segera ia merasakan bau yang harum dan hatinya menjadi lega, tubuhnya yang dingin pun lantas mulai terasa hangat. „Kau cuma terganggu sedikit tenaga-asalmu," berkata pula si nona, „tidak demikian dengan Cek Sin Coe, dia bakal roboh dengan sakit berat. Sekarang kau duduklah beristirahat, untuk bersamedhi, kalau sebentar hawa dingin sudah berkurang, kita boleh keluar dari guha es ini." Hoa Seng mau berduduk bersila tetapi tak dapat ia menenangkan diri, sikap si nona membuatnya pikirannya kacau, tapi ia mendengar ketika si nona seperti berbisik di kupingnya mengatakan dengan perlahan: „Bodhi itu bukannya pohon, kaca itu bukannya ranggon, pikiran sesat datangnya dari hati, karena sendirinya terkena debu ……..” Berpengaruh kata-kata ini, Hoa Seng lantas mencoba menguasai dirinya. Nampaknya ia berhasil menenteramkan hatinya. Berapa lama ia sudah beristirahat, inilah si pemuda tidak tahu ketika ia mendengar suara si pemudi: „Sekarang bolehlah kita berangkat pergi!" Tanpa bersangsi sedikit juga, Hoa Seng mencelat bangun. Dan segera ia merasakan dirinya segar sekali. Hawa dingin telah lenyap seanteronya. Maka itu ia lantas menghadapi pemudi di depannya itu. „Terima kasih untuk petunjukmu," ia mengucap. „Aku tidak menyangka kau telah menurunkan kepadaku tenaga dalam yang mahir sekali." Si nona bersenyum. „Sebenarnya aku tidak mempunyai kepandaian seperti apa yang kau sebutkan," ia berkata. „Semua ini aku menginsyafinya karena bunyinya ajaran kitab Sangsekerta itu, begitupun ilmu menyerang dengan peluru es itu, aku dapatkannya dari bunyinya huruf dari karang es Han Giok Giam tadi. Bicara terus-terang, aku pun seharusnya menghaturkan terima kasih kepadamu atas bantuanmu menemani aku masuk ke dalam guha es ini." Hati Hoa Seng lega juga. Keduanya lantas keluar dari guha es itu sambil bicara-bicara dengan diseling tertawa mereka. Di luar mereka mendapatkan matahari merah di atasan kepala mereka. Tak tahu mereka berapa lama mereka berada di dalam guha, tahu-tahu itulah sudah tengah-hari dari hari yang kedua. „Sebenarnya aku ingin sekali berdiam pula di dalam guha es itu beberapa hari lagi," berkata Hoa Seng sembari tertawa, „Adik Giok, seberlalunya dari sini, ke mana kau hendak pergi? Di rumahmu masih ada siapa-siapakah keluargamu? Dan ilmu silatmu itu, dari manakah kau dapatkannya?" Si nona tertawa. „Ah, kembali kau mencari tahu asal-usulku!" katanya. „Jikalau di belakang hari kita berjodoh untuk bertemu pula, semua ini kau bakal mengetahuinya tanpa kau menanyakannya! Hari ini marilah kita pesiar di antara keindahan gunung salju ini, kita mengicipi pemandangan dari Thian Ouw, jangan sekali kita bicara dari hal keduniaan ……..“ Hoa Seng dapat menginsafi keadaan mereka, ia menerima ajakan itu dengan gembira, maka hari itu mereka melewatinya dengan si nona dengan mendatangi peng-coan atau sungai es dan telaga Thian Ouw itu, juga pesiar di atas puncak es di mana mereka meninggalkan tapak kaki mereka. Apa yang mereka bicarakan adalah tentang ilmu sastra atau kerohanian. Begitu asjik mereka berada bersama, tanpa merasa mereka telah melewatinya tiga hari berturut-turut. Demikianlah itu hari, berdua mereka berada di Puncak Bidadari, memandangi sungai es yang malang-melintang di atas gunung. „Apakah yang bagus dari sungai es ini?" menanya si anak muda. Ia heran mendapatkan kawannya seperti tersengsam. "Lihatlah sungai es itu bagaikan naga perak menari-nari," menjawab si nona. „Kalau kita melihatnya dari dekat, es di bagian atas beku-keras, hampir tak nampak bergeraknya, tapi yang benar, es di bagian bawahnya mengalir tak hentinya. Inilah keindahannya sungai es ini, bergerak dalam diam. Ya, pedang Pengpok Han-kong-kiam yang bakal aku yakinkan pasti akan beda sekali dari pedang yang mana saja di dalam dunia ini, aku akan membangun suatu partai persilatan pedang dengan ilmu pedangnya yang paling istimewa!” „Aku pun mempunyai semacam cita-cita!" kata Hoa Seng dengan gembira. „Maka kita …….. kita ………..” Pemuda ini belum sempat melanjuti kata-katanya itu atau mendadak si nona berlompat turun dari puncak itu, akan menghunus serulingnya, akan lantas bersilat di atas es, sebentar perlahan, sebentar cepat, bagaikan „air mengalir atau mega melayang-layang," indah dan menarik nampaknya. Mengawasi si nona, Hoa Seng berkata di dalam hatinya: „Kalau nanti dia berhasil dengan ilmu pedangnya, mesti itu luar biasa sekali, mungkin melebihkan ilmu pedangnya Pekhoat Mo Lie dari Thian San. Sekarang masih kelihatan beberapa kelemahannya, entahlah di belakang hari ……….” Tidak lama si nona bersilat, lalu ia menyimpan seruling kumalanya itu. Ia lantas menghadapi Hoa Seng untuk berliamjin, memberi hormat dengan merangkap kedua tangannya, wajahnya tersungging senyuman. „Aku tidak dapat menyembunyikan apa-apa dari matamu, engko, maka itu aku mengharap petunjukmu!" katanya. „Adik kecil kau cerdas luar biasa," berkata Hoa Seng, kagum. „Bukankah ilmu pedangmu kau ciptakan dari gerak-geriknya sungai es tadi?" „Memang, untuk menciptakan suatu partai baru, itu tak gampang seperti diucapkannya," berkata si nona, dengan penyahutannya yang menyimpang. „Aku tidak menghendaki pujianmu untuk mengumpak-umpak aku, aku ingin kau omong dengan terus-terang. Ada apakah kelemahannya dengan ilmu silat pedangku ini?" „Dalam kesebatan, kau telah menyampaikan puncaknya," berkata si anak muda, mengutarakan pendapatnya, „cuma pengaruh tersembunyinya masih belum mencukupi. Kau telah mendapati gerak-gerik sungai es itu, kau belum mencakup kebekuannya." „Kalau begitu," berkata si nona, „sari ilmu pedang Tat-mo kiam-hoatmu bakal menutup kekuranganku itu …….” Mendengar demikian, hati Hoa Seng tergerak. „Jikalau demikian adanya," katanya, „lebih baik kita berdiam bersama di Puncak Bidadari ini selama tiga tahun untuk bersama-sama meyakinkan dan menciptakan satu ilmu pedang yang luarbiasa istimewa, untuk kemudian menamakannya itu ilmu silat pedang Peng-coan Kiam-hoat. Wajah si nona menjadi merah-dadu, ia berdiam. Ia menunduk mengawasi sungai es. Ia menjumput beberapa potong kepingan es, ia menghancurkan itu. Ia pun memungut selembar bunga yang mengambang di atas es itu, ia memecahkannya, ia melepaskannya hingga hancurannya terbang terbawa angin. Habis itu ia menghela napas dan berkata perlahan, „Bunga terbang melayang sendirinya, es mengalir sendirinya pula, melainkan sinarnya es dan bayangannya es berdua yang berduka sendirinya ………” Habis mengucap begitu, tubuh si nona mencelat, melompati sebuah sungai es, akan menaruh kaki di lain tepinya, di mana ia berdiri diam, matanya memandang ke udara di mana mega bergumpal, melayang-layang, ketika kemudian ia memandang ke bawah, tanpa merasa sinar matanya beradu sama sinar mata Koei Hoa Seng, yang mengawasi padanya. Anak muda itu lantas saja merasa dirinya terbenam sendirinya, ia lantas bersenandung. „Ah," mengatakan si nona. Hoa Seng berdiam, ia berdiri menjublak, sampai kemudian jauh di atas gunung sana, ia mendengar suara seruling, halus tetapi terang. Mendengar itu, si nona tertawa sedih. „Ah, di sana budak pelayanku memanggil aku pulang," katanya. „Hendak aku pergi sekarang!" Hoa Seng terkejut. „Kau hendak pergi ke mana?" tanyanya. „Dari mana aku datang, ke mana aku pergi," sahutnya. „Mustahil secara begini saja kita berpisahan?" menanya pula si pemuda. „Habis di belakang hari? “ „Urusan di belakang hari, nanti saja di belakang hari kita membicarakannya ......" menyahut pula si pemudi. Ia lantas mengeluarkan tangannya yang putih-halus, ia menggeraki itu seperti menekan tiga kali, ia membalikinya dengan jerijinya terbuka, terus ia menunjuk ke arah dadanya di mana ada tergantung satu kaca rasa dari kumala yang menjadi barang perhiasannya, terus ia bersenandung dengan suaranya yang terang nyata: „Jikalau nanti kita bertemu pula janganlah menanya lagi, masing-masing mengikuti saja jodohnya hingga di ujung pangkalnya langit!" Kata-kata ini ditutup sama lompatan tubuhnya, yang terus berlari-lari keras dengan ilmunya ringan tubuh ……… 08. Masuk Ke Istana Potala Hoa Seng berdiri menjublak, lama, lama sekali, hingga tahutahu ia mendapatkan si Puteri Malam mulai muncul di arah timur, sedang puncak es memperlihatkan sinar berkilau bagaikan kaca. Ia kehilangan kawan, ia menjadi merasa sangat sunyi, sunyi sekali. Lalu teringatlah pengalamannya selama beberapa hari ini. Ia merasa bahwa ia baru saja habis bermimpi. Sayang sekali, ia telah terlalu lekas mendusin ....... Dengan lenyap kegembiraannya pemuda ini jalan turun gunung, sembari berjalan ia berpikir. Apakah artinya gerakan tangan si nona tadi — menekan tiga kali, lalu menunjuk kaca kumala di dadanya? Apakah artinya senandungnya itu? Bukankah itu berarti bahwa bakal datang saatnya yang mereka akan bertemu pula kelak di belakang hari? Di manakah tempatnya bertemu pula itu? Dan kapankah waktunya itu? Ia memikir dengan sia-sia, bahkan ia jadi seperti kelelap dalam. Sungguh sebuah teka-teki yang tidak dapat dipecahkan, sukar sekali ………. Tiba di kaki gunung, Hoa Seng memandang jauh ke Kota Iblis. Di sana ia melihat stupa putih yang dibangun oleh putera raja Nepal. Lantas ia ingat akan pesan Maskanan. Maka berpikirlah ia: „Itu sekalian boesoe Nepal telah diusir si nona baju putih, tetapi putera raja Nepal itu masih berada dengan cita-citanya yang besar, cita-cita itu belum dapat ditumpas. Maskanan meminta aku pergi ke Lhasa untuk menghadap Buddha Hidup, untuk aku menyampaikan amanat hoat-ong dari agama Putih, kenapa aku melupakan itu?" Setelah ingat begitu, pemuda ini lantas membuka tindakannya ke arah Lhasa. Ketika itu sudah mulai permulaan musim semi, es dan salju yang menutupi gunung-gunung sudah mulai lumer, jalanan jauh lebih menyenangkan untuk dilewati, maka itu berjalan hampir satu bulan, ia telah tiba di ibukota Tibet. Hari sudah sore ketika Hoa Seng memasuki kota Lhasa. Ia menampak rumah-rumah yang wuwungannya rata bercampur baur sama tenda-tenda, pemandangan mana sungguh beda sama pemandangan di Tionggoan. Di tengah jalan ada banyak orang yang mundar mandir. Dari setiap tenda ada mengepul keluar asap dupa, ada sinar lilinnya yang menggenclang, bahkan di depan sejumlah tenda ada orang-orang Tibet yang membakar dupa dan menjalankan kehormatan, yang bersembahyang. „Adakah hari ini hari besar?" ia menanya seorang tua yang di sampingnya, tangan siapa ia tarik. „Bukan hari ini, hanya besok," menyahut orang tua itu. Dia lantas menunjuk pada sang Puteri Malam yang terangbenderang, dia menanya: „Tuan, kau datang dari mana? Bukankah kau penganut Sang Buddha yang maha suci? Mengapa sampaikan hari ulang tahunnya Sang Buddha kau melupakannya?" Hoa Seng dongak melihat ke langit, ia mendapatkan rembulan tengah bundar dan besar. Ia menjadi heran. „Bukankah ulang tahunnya Sang Buddha pada tanggal delapan bulan empat?" tanya ia. Orang tua itu tercengang, lalu ia tertawa. „Tuan, kau seorang Han, ada yang kau tidak tahu," ia berkata. „Syukur aku mengerti penanggalan orang Tiong¬hoa, jikalau tidak, aku tentunya heran sekali untuk pertanyaanmu ini. Besok ialah tanggal delapan bulan empat!" Hoa Seng memandang pula sang rembulan. „Rembulan toh sedang bundarnya ………." katanya. Orang tua itu tertawa pula. „Kami menggunai penanggalan Tibet dan kamu orang Tionghoa menggunai imlek," ia menerangkan. „Untuk kamu bulan purnama ialah di tanggal limabelas, akan tetapi bagi kami tidaklah demikian, untuk kami ada kalanya di permulaan tanggal, ada kalanya juga di akhir bulan. Menurut hitungan Imlek, hari ini ialah tanggal empat belas bulan tiga dan besok tanggal limabelas. Oleh karena tahun ini hari ulang Sang Buddha kebetulan bulan purnama, ramainya perayaan menjadi luar biasa. Semenjak kemarin kami sudah mulai mandi bersih dan pantang dan membakar dupa untuk menghormati Buddha kami." Hoa Seng ingat suatu apa. „Bulan tiga tanggal lima.... bulan tiga tanggal limabelas ….." katanya perlahan. Mendadak saja ia sadar. Bukankah si nona baju putih menekan tangannya tiga kali? Bukankah itu berarti tiga kali lima menjadi limabelas? Bukankah itu berarti tanggal limabelas bulan tiga? Dan tangannya menunjuk kepada kacanya dari kumala, bukankah dengan itu diartikan sang rembulan purnama? „Tuan, kau sungguh beruntung," berkata pula si orang tua, yang ternyata suka berbicara. „Tahun ini Buddha Hidup Dalai bakal mengepalai sendiri upacara, besok. Ia akan muncul di antara kami. Tiga buah pendopo besar di depan Istana Potala pun besok akan dibuka, untuk mengijinkan semua pria dan wanita yang sujud, bersujud di undakan tangga pendopo besar itu. Dalam seumur hidup kami, belum tentu kami dapat memandang wajahnya Buddha Hidup sekalipun hanya satu kali, tetapi kau, begitu kau datang, kau menemui saatnya yang baik. Kalau besok kau berkumpul di antara orang banyak, akan melihatnya wajah Buddha Hidup kami itu. Itulah sungguh suatu keberuntungan yang maha besar!" Hoa Seng girang bukan main, ia lantas menghaturkan terima kasih kepada orang tua itu, kemudian ia pergi mencari sebuah tenda yang biasa menerima menumpangnya tetamu. Akan tetapi malam itu ia tidak dapat tidur pulas, hatinya banyak berpikir. „Kiranya adik Giok menjanjikan aku bertemu besok tengah malam di Istana Potala ini?" demikian pikirnya. „Hanya, dengan cara bagaimana ia dapat memasukinya istana? Mungkinkah di waktu malam pun istana dibuka untuk umum seperti di siang hari dan orang dibiarkannya pesiar sesukanya?" Oleh karena ia tidak dapat tidur, Hoa Seng berbangkit untuk mencari pemilik tenda, guna meminta keterangan, dan ia memperoleh keterangan sama seperti dituturkan si orang tua tadi, hanya tuan rumah ini menjelaskan juga, pendopo yang besok bakal dibuka ialah tiga-tiganya, pembukaan dilakukan di siang hari, begitu tiba magrib, semua orang harus meninggalkan pendopo itu. Kata pula tuan rumah ini: „Buddha Hidup sangat mulia dan agung, mana dapat sembarang orang memasuki perdalaman istananya? Bahwa kami telah diperkenankan menghunjuk hormat di undakan tangga saja sudah suatu keberuntungan yang bukan main besarnya!" Di waktu mengucap demikian, tuan rumah itu bersikap sangat bersujud. Hoa Seng menjadi masgul, pikirannya menjadi bertambah ruwet. „Apakah aku salah mentafsirkan pertanda si nona baju putih?" ia menanya dirinya sendiri. „Tapi, kalau bukan demikian dugaanku, bagaimana mestinya? Maka ia jadi semakin merasa aneh untuk hal ikhwalnya si nona baju putih itu. „Biarlah sang besok lekas datang!" akhirnya ia kata dalam hatinya. Malam itu ia tak pulas semalam suntuk. Begitu sang fajar di hari kedua muncul, ia lantas berbangkit untuk menemui tuan rumah kepada siapa ia minta pinjam seperangkat pakaian orang Tibet. Ia hendak menyamar supaya di waktu berkumpul sama banyak orang tidaklah ia menyebabkan tertariknya perhatian orang banyak itu. Halnya Dalai Lama membuka Istana Potala untuk umum dan ia sendiri bakal mengepalai upacara ulang tahun Sang Buddha telah menggemparkan seluruh Lhasa, bahkan ada penduduk dari lain tempat yang memerlukan datang berkunjung. Hoa Seng menganggap ia bangun pagi-pagi sekali, siapa tahu sekeluarnya ia dari tempatnya mondok, ia melihat jalan-jalan umum telah penuh dengan orang banyak. Ia menyelip di antara mereka itu, ia turut mereka menuju ke istana. Perlahan-lahan jalannya semua orang itu. Istana Potala dibangun di luar kota Lhasa, di atas gunung Anggur. Orang Tibet menamakannya gunung itu Potala, maka nama istana diambil namanya gunung itu. Tingginya istana ada tigabelas tingkat. Menurut cerita maka raja Tibet yaitu Srontsan Gampo telah menikah sama Puteri Wen Cheng dari Kaisar Lie Sie Bin dari ahala Tang (tahun 611) dan puteri inilah yang meminta dibangunnya istana …… Setelah perbaikan tahun ketemu tahun, istana itu menjadi bertambah indah. Batu yang dipakai membangun itu pun ada potongan-potongan batu ukuran persegi yang digali dari tengah gunung. Di atas istana ada tiga buah wuwungan besar dari emas serta delapan stupa emas dari tubuhnya Buddha Hidup. Buddha Hidup Tibet, ialah seluruhnya dibungkus dengan lembaran-lembaran daun emas yang tengahnya ditabur mutiara, yang dilihat dari jauh, nampak bersinar gemerlapan, indahnya bukan buatan. Hoa Seng mengikuti terus orang banyak itu. Mendekati tengah hari, barulah ia tiba di jalanan gunung di bawah Istana Potala. Ia melihatnya jalanan yang menuju ke pintu istana merupakan tangga batu yang berliku-liku. Di sebelah depan terdapat dua baris lhama dengan jubah kuning menjadi penunjuk jalan. Pintu dari tiga pendopo besar sudah dipentang lebar-lebar, maka semua pria dan wanita yang bersujud itu mengikuti kedua barisan lama itu memasuki pintu-pintu besar itu. Ketika Hoa Seng sampai di tangga batu pendopo, orang telah penuh padat, hingga umpama kata tidak ada tempat untuk sepotong jarum, hingga mereka yang datang belakangan harus bersujud dari luar pintu. Dengan mementang matanya Hoa Seng memandang kelilingan. Ia hendak mencari si nona baju putih, nona yang ia panggilnya adik Giok. Ia merasakan ia seperti mencari sepotong jarum di dalam lautan besar. Nona itu tak ada bayangannya. Ia penasaran, ia mendesak maju, untuk ini ia mengerahkan tenaga dalamnya. Maka setiap orang di dekatnya merasa tubuhnya tertolak suatu tenaga besar, hingga dengan sendirinya mereka masing-masing membuka jalan untuk ia maju lebih jauh. Tidak ada orang yang menaruh curiga, mereka itu menyangka itulah desakan biasa saja dari mereka, dari orang-orang yang ber¬ada di sebelah belakang ........ Hoa Seng seperti menjelajah semua tangga batu dari ketiga pendopo besar itu, tangga yang terdiri dari beberapa ribu undakan, ia telah menggunai tempo satu jam, masih ia tidak mendapat si nona baju putih. Ketika itu arus orang banyak menuju ke lorong di luar pendopo, maka ia pun mendesak ke sana. Ia ketahui, upacara bakal dilakukan di pendopo besar yang tengah. Segera ia melihat empat patung emas yang merupakan muka manusia bertubuh burung, yang digantungi kelenengan yang terukir halus dan indah. Pemuda ini telah melakukan perjalanan satu bulan lebih, ia senantiasa berada di tempat belukar, yang berhawa dingin sekali, sering ia berada di tanah datar dari Tibet itu di mana dalam beberapa puluh lie tidak ada manusia atau asap, tetapi sekarang berada di Istana Potala, ia seperti tengah menempati diri didalam impian yang indah dan manis ……. Segala apa indah di pendopo, tiang dan penglari dari emas, atau yang terukir indah atau gambar-gambar. Melihat semua itu, anak muda ini kagum bukan main. "Di luar saja sudah begini indah, entah di sebelah dalam," pikirnya. Ia tidak tahu, untuk membangun istana itu, berapa banyak tenaga manusia dan berapa banyak uang sudah dipergunakan. Di empat penjuru tembok, di luar dan di dalam, ada gambargambar, yang kebanyakan melukiskan pelbagai lelakon yang terdapat dalam kitab-kitab Buddha, yang umumnya aneh atau luar biasa, yang semua nampaknya hidup. Gambar itu adalah sutera putih ditempel di tembok, lalu sutera itu dilukis dengan cat minyak, maka gambar semacam itu awet, tahan lama mengkilapnya. Selama beberapa ratus tahun, entah ada berapa banyak pelukis yang datang dari Tionggoan, yang datang dari India, dari Nepal dan juga dari Bhutan, yang membuat karyanya di tembok itu. Maka itu dapatlah dikatakan pusaka seni. Selagi Hoa Seng terdesak orang banyak menikmati gambargambar indah itu, tiba-tiba ia merasakan ada dorongan keras dari sebelah belakang, lalu ia merasakan pinggangnya sesemutan, seperti ada orang yang menotok jalan darah joanmoa- hiat. Ia menjadi kaget sekali. Syukur ia getap, segera ia mengerahkan tenaga dalamnya, untuk melindungi diri. Berbareng dengan itu ia membuang tangannya ke belakang, untuk menangkap tangan yang menotoknya itu. Gerakannya ini disusul sama jeritan beberapa orang, yang tubuhnya roboh, ketika ia berpaling, ia mendapat kenyataan yang ia kena cekal ialah tangannya seorang wanita gemuk, yang matanya melotot kepadanya seraya terus menanyakan, „He, kau bikin apakah?" Lekas-lekas Hoa Seng melepaskan pegangannya, karena begitu mencekal, ia mengetahui nyonya gemuk itu tidak bertenaga. „Maaf," ia lekas berkata. „Barusan aku merasa ada orang menolak tubuhku dan merabaraba, aku menyangka kepada tukang copet, aku tidak sangka aku kena menangkap tangan kau. Nyonya, harap kau tidak menjadi gusar." Di antara orang Tibet, antara pria dan wanita tak ada aturan kesopanan yang keras dan kukuh seperti di antara orang Tionghoa, karena orang percaya perkataan pemuda ini, dari gusar nyonya teromok itu menjadi tertawa. Ia kata, „Di dalam Istana Potala, di tempat bersemayamnya Buddha Hidup, siapa berani mencopet? Mungkinkah kau orang Han yang belum lama di sini?" Hoa Seng mengangguk. „Benar," sahutnya, berlaku terus-terang. Nyonya itu masih hendak berkata-kata pula tatkala dari pendopo terdengar suara tambur dan genta, diikuti oleh dua baris lhama jubah kuning jalan mengitari istana sambil senantiasa menciprati air suci. Itulah tanda sudah dimulainya upacara besar itu. Maka sekarang, di luar dan di dalam pendopo, sunyi segala apa, bahkan semua orang lantas menunduki kepala untuk menghunjuki hormatnya. Selagi orang bersujud itu, Hoa Seng berpikir: „Pembokong itu liehay dan cerdik, aku bergerak cukup sebat tetapi dia dapat juga meloloskan dirinya. Mereka yang roboh itu tentulah dia sengaja merobohkannya, supaya dia dapat menyingkir selagi keadaan kacau, agar aku tak mengetahuinya. Siapakah dia? Mengapa dia menyerang aku secara gelap itu?" Percuma anak muda ini menerka-nerka, ia tidak mendapat jawabannya yang tepat. Ketika itu suara tambur dan genta sudah berbunyi tiga kali, lantas dua orang lhama mengangkat kepalanya membaca doa. Lewat sesaat habis itu, di antara suara genta dan kata-kata bahasa Sangsekerta, nampak Buddha Hidup muncul dengan perlahan-lahan antara iringan pengikut-pengikutnya. Semua hadirin lantas mengasi dengar pujaan, semua bertekuk lutut dan menjura dalam, tidak ada yang berani mengangkat kepala untuk melihat orang yang dianggap suci itu. Tentu sekali Hoa Seng mesti menelad orang banyak itu, hanya diam-diam saja ia mencoba mencuri lihat wajah Dalai Lama sang Buddha Hidup itu, yang usianya ditaksir lebih kurang empat puluh tahun, tubuhnya sedikit gemuk, sikapnya agung, tetapi pada itu tidak ada lainnya yang luar biasa. Di itu waktu, yang menarik perhatiannya Hoa Seng bukan si Buddha Hidup hanya seorang lain ……………. Di belakang Dalai Lama itu ada kedapatan beberapa orang pendeta yang roman dan dandanannya istimewa, dengan satu kali melihat saja teranglah sudah mereka ada tetamu-tetamu beribadat yang datangnya dari lain negara, mungkin dari India, Nepal, Bhutan dan Sikkim. Di antara mereka ada seorang pendeta asing, yang jubahnya merah dan gerombongan, ialah si pendeta asing dengan siapa Hoa Seng pernah bertempur. „Eh, mengapa dia pun datang ke mari?" anak muda ini menanya dirinya sendiri. Ia lantas bercuriga dan menduga mesti pendeta itu muncul dengan minatnya yang luar biasa. Tempo yang digunai oleh Buddha Hidup untuk memimpin upacara singkat sekali. Paling dulu ia mencipratkan air suci kepada, patung Sang Buddha, untuk itu ia, menggunai cabang yang-lioe. Setelah itu ia mempersembahkan „hada" ialah saputangan yang terbuat dari sutera. Ini ada persembahan yang menyatakan dari kesujudan. Paling akhir hormat yang sangat, tanda dari kesujudan. Paling akhir ialah membakar dupa. Semua-mua tempo yang dipakai itu ada hanya sepasangan sebatang hio. Sampai di situ, selesailah upacara yang hikmat itu. Lalu murid Buddha Hidup yang bertugas maju mengumumkan kepada semua hadirin yang mereka diharuskan meninggalkan istana sebelumnya magrib. Hoa Seng pulang ke pondokannya selagi tuan rumahnya belum kembali. Ia lantas beristirahat. Setelah ia bersantap sore, barulah tuan rumah pulang. Dengan gembira sekali tuan rumah ini membicarakan urusan upacara tadi siang. Dia pun memujikan keselamatannya Hoa Seng, siapa membalasnya memujikan juga. Kemudian tuan rumah ini memberitahukan bahwa sebentar malam di Istana Potala akan diadakan upacara memasang lentera untuk menghormati Sang Buddha, maka akan banyak pria dan wanita yang bersujud yang akan berdiam di bawah Gunung Anggur untuk menyaksikan keramaian itu, untuk itu mereka tidak pulang lagi untuk dahar. „Sayang aku sudah berusia lanjut dan kesehatanku sudah lemah," kemudian berkata tuan rumah dengan menghela napas, „kalau tidak, aku pun akan turut menyaksikan buat mana aku rela kelaparan satu malaman. Tetamuku yang baik, inilah ada ketikamu yang baik sekali, yang sukar dicarinya, karena itu kau haruslah tidak melewatkannya!" „Benar, benar!" berkata Hoa Seng, yang terus saja pamitan dari tuan rumahnya itu. Istana Potala di waktu malam benar-benar sangat mentakjubkan. Wuwungan emas bergilang-gemilang karena tojohannya sinar gunung salju, cahayanya kekuning-kuningan dan sangat indah. Di setiap pojok genteng atau pajon ada digantungi lentera kaca yang terhias. Di sana cahaya rembulan, sinar salju, sinar lampu, saling tojoh menjadi satu. Sesungguhnya, pemandangan itu menciptakan sesuatu yang mengesankan, yang mempengaruhi. Cuma Hoa Seng seorang, yang pendapatnya lain. Sebab di antara lain, ia memikirkan hanya si nona baju putih. Dari bawah gunung, Hoa Seng memandang ke atas, ke istana yang bertingkat-tingkat itu, yang terpecah warnanya dalam empat rupa ialah putih, merah, kuning dan merah tua. Dari tingkat ketujuh hingga ke tingkat dua belas, semua itu adalah tempat kediaman sekalian lhama. Setelah memandangi sekian lama, Hoa Seng terbenam dalam kesangsian. „Istana Potala begini luas," pikirnya, „taruh kata adik Giok benar ada di dalamnya, cara bagaimana aku mencarinya? Api pun terang-berderang begini macam, bagaimana aku mesti mencurinya masuk?" Maka itu, dengan berkisarnya sang rembulan, makin lama makin dojong ke barat, Hoa Seng menjadi sibuk sendirinya. Ia tahu, kalau sang fajar datang, tidak ada ketika lagi untuk mencari si nona. Maka itu di akhirnya ia mengambil putusan, mesti ia memasuki juga istana itu. Selagi orang banyak berkerumun di kaki gunung, Hoa Seng diam-diam jalan mengitar ke belakang gunung itu. Kalau perlu, ia jalan merayap. Senantiasa ia menyembunyikan diri di tedeng-aling pepohonan atau batu karang. Secara begini perlahan-lahan ia mendekati Istana Potala di bagian belakang. Ia memang telah membekal seperangkat pakaian lhama, maka itu di situ ia lantas menyalin dandanan. Ia menanti lagi sekian lama sebelum ia bertindak terlebih jauh. Justeru angin menghembus keras, Hoa Seng menjumput beberapa biji batu, dengan itu ia menyambit pecah tiga buah lentera di atas pintu sebelah barat. Kejadian itu membikin kaget lhama yang menjaga di situ. „Kenapa angin malam ini hebat sekali?" katanya seorang diri. Lekas-lekas ia mengambil lampu yang baru, dengan naik di tangga, ia menukar yang pecah itu. Ketika inilah yang ditunggu Hoa Seng. Selagi orang bekerja, ia berlompat dengan ilmunya enteng tubuh, masuk di pintu besar. Si lhama, yang lagi berada di atas tangga panjang, tidak melihat orang melesat masuk. Setibanya di dalam, Hoa Seng bertindak secara wajar. Ia jalan sambil tunduk, tangannya ditakepi ke depan, diangkat sedikit tinggi, hingga separuh mukanya kena teraling. Di dalam istana itu ada banyak lhama lainnya, mereka tidak memperhatikan satu sama lain, maka itu Hoa Seng dapat melalui beberapa pendopo. Selama itu ia kagum sekali. Di sebelah dalam, semua gambar di tembok melebihkan apa yang di luar. Lentera, alat-alat dari kumala, kursi meja kuno, meja abu dan perapian kuno, semua terukir indah. „Keadaan di istana kaisar pasti tak melebihkan ini," pikirnya, Maka ia menyesal, ia bukannya lagi pesiar hanya lagi mempunyai urusan penting. Gudang Ebook (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net Ketika terdengar tanda jam tiga, Hoa Seng sudah memasuki istana tingkat kedua di mana ada kamar tidur Buddha Hidup. Sebenarnya ia tidak tahu kamar siapa itu. Mendadak dua lhama terlihat mendatangi. Lekas-lekas ia bersembunyi, di belakang patung Buddha. „Sampai begini malam Buddha Hidup masih menerima tetamu, sungguh ia lelah," berkata satu lhama. „Kau tidak tahu, yang datang hari ini semua orang kenamaan," kata yang lain. „Sampaipun lie-hoehoat yang membawa daun bodhi suci turut datang juga. Aku percaya Buddha Hidup akan menemui nona itu." „Memang. Untuk dia, Buddha Hidup telah menyediakan satu kamar menyendiri dan dua puteri diwajibkan menemani dia. Katanya semasa Dalai Lhama generasi kedua, Istana Potala ini pernah menyambut seorang puteri dari India yang pun mempunyai daun bodhi suci itu, yang diijinkan bermalam di sini satu malam lamanya. Sudah banyak tahun, belum pernah ada wanita yang diijinkan masuk ke mari, maka kali ini, sungguh luar biasa." Mendengar itu, Hoa Seng berpikir, ia menduga-duga, liehoehoat siapa itu yang mengunjungi Istana Potala ini, yang diperlakukan demikian hormat. Untuk mendapat tahu lebih jauh diam-diam ia menguntit dua lhama itu sampai di tingkat ke tiga. Ia menanti sampai mereka itu masuk dan keluar lagi, dengan berhati-hati ia menghampirkan jendela. Dari situ ia melihat cahaya api terang-terang di dalam kamar di mana dua bayangan orang berpeta. Ia lantas mengenali, yang satu ialah Buddha Hidup, yang lain si pendeta Merah dari Nepal. 09. Pertemuan Dengan Buddha Hidup Segera terdengar suaranya si pendeta asing jubah Merah: „Sang Buddha Hidup dengan kepandaiannya yang luar biasa telah menyebar agamanya, dengan begitu negara-negara tetangga yang kecil, semua sama mendapat berkahnya. Putera raja kami sebetulnya hendak menghadap sendiri, sayang karena banyaknya urusan negara, tidak dapat ia datang ke mari, dari itu sengaja ia mengutusnya siauwceng untuk menyampaikan hormatnya sekalian untuk mendengar pengajaran." Pendeta itu menyebutnya „siauw-ceng," atau pendeta kecil, untuk merendahkan diri. Maka berkatalah Dalai Lama: „Negerimu adalah tempat kelahirannya Sang Buddha, semenjak dulu kala hingga sekarang ini, negaramu itu tetap menjadi Negara Sang Buddha, sementara rajanya, turun-temurun, semua memerintah menuruti ajarannya, maka itu dengan perlindungannya Sang Buddha, mesti negaramu hidup makmur. Putera rajamu telah menghadiahkan menara emas, tindakan itu tepat dan mendapat rasa syukur kami, maka itu tolonglah kau menyampaikan ucapan terima kasih kami." „Masih ada sesuatu yang putera raja kami, hendak menyampaikannya kepada Buddha Hidup," berkata pula sang pendeta asing jubah Merah itu. „Silahkan utarakanlah," Buddha Hidup menitah. „Hal itu ialah begini," menjawab si pendeta asing, menjelaskan: „Raja agama dari Agama Putih telah mengirim utusan ke negara kami, dia mengajukan permintaan supaya negara kami suka membantunya pulang kembali ke Tibet. Putera raja kami mengetahui baik sekali, bahwa agama yang sejati adalah Agama Kuning, bahwa dua Dalai Lama dan Panchen Lama adalah Buddha-Buddha Hidup, dari itu, ia telah tolak permintaan itu. Putera rajaku membilang, hal itu haruslah dilaporkan kepada Buddha Hidup." Mendengar keterangan itu, Koei Hoa Seng mencaci di dalam hatinya. Terang-terang adalah putera raja Nepal itu yang mengojok-ojok, menganjurkan raja Agama Putih menyerang ke Tibet, sekarang dia membilang sebaliknya. Bukankah itu tindakan menimbulkan yang tidak-tidak? Bukankah itu perbuatan sengaja belaka supaya di Tibet terbit perang saudara, agar Nepal bisa menangkap ikan di air keruh, untuk mendapatkan keuntungan? Dalam sengitnya, Hoa Seng mau lompat keluar dari tempatnya sembunyi, guna membeber kepalsuan pihak putera raja Nepal itu, atau mendadak ia merasakan samberan angin di arah belakangnya. Tentu saja ia menjadi kaget. Untuk menolong diri, ia menyerang ke belakang, untuk menangkis. Segera ia mendengar orang membentak dalam Bahasa Tibet: „Orang jahat bernyali besar, cara bagaimana kau berani lancang memasuki istana suci ini?" Dan teguran itu disusul lagi dengan sambaran angin yang dahsyat, menyerang ke arah punggung. Hoa Seng segera menoleh. Nyata ia tidak dapat menghalau penyerang gelap itu, ialah dua pendeta, yang satu mengenakan jubah hitam, yang lain kuning. Kepala mereka digubat sabuk putih, hingga roman mereka mirip malaikat Hian Tan Kong. Teranglah mereka dua pendeta bangsa India, pendeta-pendeta mengembara. Pendeta yang berada paling dekat padanya, si jubah hitam, tengah menyerang dengan senjatanya yang berupa tongkat bambu, sangat sebat serangannya itu, sejenak saja sudah tujuh jurus, semua serangan mengarah jalan darah. Si jubah kuning cuma mengawasi saja. Ia mencekal sebuah mangkok tembaga, mangkok peranti bangsa pendeta meminta amal. Nampaknya segera bakal turun tangan akan membantui kawannya. Hati Hoa Seng bercekat juga, Ia heran untuk si pendeta jubah hitam itu, yang ilmu totoknya liehay tak kalah dengan akhli silat kelas satu dari Tiongkok. Ia pun heran untuk penyerangan mereka secara membokong itu. Tapi ia cukup sabar, ia memikir untuk minta keterangan. Atau ia didului si pendeta jubah kuning. „Bekuk saja padanya!" demikian pendeta jubah kuning ini menyerukan kawannya. „Kita jangan membuatnya Buddha Hidup menjadi kaget!" Ia berteriak begitu, ia pun lantas bergerak. Senjatanya yang istimewa itu lantas diputar balik, dipakai menyerang dari atas ke bawah, hingga mangkok itu mirip gunung Tay San yang dipakai menungkrap batok kepala! Karena ia tidak dapat ketika untuk minta keterangan atau memberi penjelasan, terpaksa Hoa Seng menghunus pedangnya, pedang Theng-kauw-kiam si „Ular Naga Naik." Dengan itu ia menangkis serangan dari atas itu. Suara keras lantas terdengar akibat tusukan pedang pada mangkok peranti minta amal itu. Atas itu, si pendeta memutar mangkoknya, maka di lain saat, seperti ada tenaga yang menarik, pedang itu tak dapat lantas ditarik pulang oleh pemiliknya. Mau atau tidak, Hoa Seng terperanjat. Itulah aneh. Ia kagum untuk kepandaiannya si pendeta bangsa India itu. Dalam saat si anak muda terancam bahaya, pendeta jubah hitam maju menyerang, tongkat bambunya menotok ke jalan soan-kie-hiat di dada, lalu itu diulangi ke jalan darah Ciangboen- hiat di iga, dan kemudian ke hong-hoe-hiat di belakang kepala. Penyerangan berantai tiga kali itu dilakukan, karena beruntun Hoa Seng berhasil mengelakkan dirinya. Koei Hoa Seng adalah turunan Thian San Cit Kiam, jago-jago pedang dari Thian San Pay, kepandaiannya dalam ilmu silat pedang Tat-mo Kiam-hoat pun adalah yang asli, maka itu, walaupun ia didesak hebat, ia tidak menjadi bingung. Di saat ujung tongkat menyambar ke batok kepalanya, berbareng ia berseru nyaring sekali, suaranya bagaikan guntur. Si pendeta jubah hitam kaget, karena mana, arah serangannya menjadi kacau. Ketika ini diambil Hoa Seng, yang menjambret ujung tongkat bambu itu, untuk segera dibentak keras, lalu diteruskan ditolakkan sama hebatnya. Tanpa ampun lagi, si jubah hitam roboh terjengkang, kedua kakinya naik ke atas. Seruannya Hoa Seng ialah seruan yang dinamakan „Deruman Singa," biasanya kalau orang biasa mendengarnya, jantungnya bisa tergerak terluka, tetapi dua pendeta ini liehay tenaga dalamnya, mereka dapat bertahan, si jubah hitam cuma roboh. Si jubah kuning, yang terlebih liehay lagi, cuma kaget dan mundur dua tindak. Hoa Seng berlaku cerdik sekali, menggunai saat yang baik itu, ia geraki pedangnya yang tadi seperti tertarik mangkoknya si jubah kuning, bukannya menarik pulang, ia justeru menikam terus. Maka dengan satu suara keras, mangkok itu kena ditublas bolong! Sesudah ini barulah ia menariknya pulang. Si pendeta jubah kuning tercengang bahna heran dan kagetnya. Kedua pendeta India itu telah bersepakat untuk tidak menerbitkan suara berisik, guna mencegah Buddha Hidup menjadi kaget dan terganggu karenanya. Tapi seruan Hoa Seng justeru sebaliknya. Dalai Lama mendengar seruan itu, yang membuatnya kaget dan heran, maka itu ia sudah lantas pergi ke luar. „Buddha Hidup, sukalah dengar ……." berkata Hoa Seng, atau mendadak katanya itu terganggu, sebab si jubah kuning, begitu lenyap herannya, sudah lantas menyerang, mangkoknya yang liehay itu, dengan bergemerlap kekuning-kuningan, turun pula dari atas ke bawah, kembali hendak menungkrap kepala lawannya. Anginnya pun mendesir keras sekali. Hanya kali ini serangan bukan dilakukan seperti bermula tadi, hanya dalam rupa timpukan. Hoa Seng heran bukan main. Tidak ia menyangka, mangkok itu juga dapat dipakai sebagai senjata rahasia. Terpaksa ia tidak langsung menangkis, hanya ia menyingkir dengan berkelit, dengan jurusnya „Naga melingkar menggeser kaki," sambil berbuat begitu barulah ia menyambut dengan pedangnya. „Traang!" demikian kedua senjata itu beradu. Kena terhajar pedang, mangkok itu mental balik. Justeru itu, tongkatnya si jubah hitam pun tiba. Si pendeta Merah dari Nepal, yang turut Buddha Hidup keluar, telah menyaksikan pertempuran itu, ia maju seraya menegur: „Manusia gila yang bernyali besar, cara bagaimana kau berani lancang masuk ke istana nabi dan mengotorkan-menghina Buddha Hidup? Sungguh kau harus mampus berlaksa kali! Buddha Hidup, silahkan kembali ke dalam, nanti siauwceng yang mewakilkanmu membikin beres manusia kurang ajar ini!" Pendeta ini segera maju dengan menggeraki jubahnya, yang bagaikan segumpal api merah marong, berbareng dengan mana si pendeta jubah kuning pun sudah mengulangi serangannya dengan mangkok¬nya yang terbang menyambar. Dengan bersendirian, dengan sebatang pedangnya, Koei Hoa Seng melayani tiga pendeta yang liehay itu, dengan begitu. dalam repotnya itu, tidak sempat lagi ia berbicara kepada Buddha Hidup, guna memberikan keterangannya. Dalai Lama tidak mengundurkan diri sebagaimana diminta oleh si lhama jubah merah, ia mengawasi kepada itu anak muda hingga ia mendapat lihat di leher orang ada tergantung sebuah patung Buddha dari emas. Itulah tanda mata dari Maskanan kepada Hoa Seng, dan itulah benda yang Buddha Hidup ini mengenalinya dengan baik. Patung emas itu ada satu di antara tujuh rupa barang kepercayaan dari raja agama dari Lama Putih. Menampak itu, ia menjadi heran, hingga maulah ia menyangka, Hoa Seng adalah orangnya raja agama Putih untuk melakukan pembunuhan secara menggelap terhadap dirinya. Hanya sejenak saja, ia lalu mendapat pikiran lain. Ia mau percaya tidak nanti raja agama Putih mau berbuat sehina itu, membunuh ia secara menggelap. Raja agama Putih tak ada semulia dirinya sendiri, akan tetapi dia tetap adalah raja agama, dialah satu Buddha Hidup pula. (Di dalam agama Lama, Dalai adalah paling termulia, Buddha Hidup yang paling agung). Karena ini ia mau menduga juga Hoa Seng sebagai utusannya pihak Agama Putih. Oleh karena kesangsiannya ini, ia tidak mau mengundurkan diri dengan masuk ke perdalaman, hanya ia berdiri menonton dengan dilindungi oleh dua lhama sebagai pahlawannya. Di saat mangkok suci itu menungkrap kepalanya, Hoa Seng menangkis dengan gerakan dari Taylek Kim-kong-cioe, berbareng dengan itu pedangnya menyontek jubahnya si pendeta berjubah merah, kemudian dengan satu puteran tubuh, satu kelitan, ia menyingkir dari totokan tongkat bambu dari si jubah hitam. Dalai Lama tidak mengerti ilmu silat akan tetapi ia ketahui dengan baik, dua pendeta asing itu adalah dua pendeta India dari kelas satu, sedang si pendeta jubah Merah adalah koksoe atau guru negara dari negara Nepal, jadi dialah bukan seorang yang lemah. Maka itu, menyaksikan Hoa Seng demikian kosen, gerak-geriknya demikian lincah, diam-diam ia memberikan pujiannya. Sebenarnya Hoa Seng, dalam pertempurannya ini, menampak kesulitan. Coba mereka bertempur satu lawan satu, tidak ada seorang musuhnya juga yang dapat menandingi ia, akan tetapi ia dikerojok bertiga, ia repot juga. Terutama ia mesti berjagajaga dari itu mangkok yang liehay, yang dapat diterbangkan sebagai senjata rahasia. Ketiga pendeta itu pun berkelahi dengan hebat sekali, agaknya mereka dapat memernahkan diri, maka itu, dapat mereka merangsak, hingga makin lama Hoa Seng makin terdesak walaupun pemuda ini telah mencoba sebisanya akan mempertahankan diri. Selagi kalangannya menjadi semakin ciut, ia dengan sendirinya mulai menghadapi ancaman bencana. Dengan sekonyong-konyong si pendeta jubah kuning berlompat tinggi, mangkoknya diangkat bersama, untuk terus dikasih turun dengan kaget. Buat kesekian kalinya, ia menungkrap pula dengan gerakannya „Gunung Tay San menindih batok kepala." Hoa Seng menginsyafi bahaya, ia angkat sebelah tangannya guna menahan serangan yang berbahaya itu, ia tidak memperdulikan yang tangannya itu nanti dapat disedot mangkok yang liehay itu. Berbareng dengan itu si pendeta jubah Hitam membawakan ujung tongkatnya ke dada orang, untuk menotok. Guna menghindarkan bahaya, Hoa Seng menggeraki pedangnya, untuk menangkis. Atau mendadak si lama jubah Merah menyambar ia dengan jubahnya, guna membungkus pedangnya itu! Tanpa ampun lagi, karena tidak ada rintangan sama sekali, ujung tongkat si pendeta jubah hitam mengenai sasarannya, tepat pada jalan darah tan-tiong-hiat. Serangan telak ini tapinya tidak menerbitkan suara. Justeru di dalam saat yang sangat mengancam itu, tiba-tiba semua orang mendengar suara ting tang dari gelang beradu diberikuti dengan bau harum semerbak yang seperti memenuhi kalangan pertempuran itu dan sekitarnya, lalu dua lhama jubah kuning naik ke lauw-teng sambil berseru: „Lie-hoehoat menghadap Buddha Hidup!" Mendengar itu, Dalai Lama sudah lantas menyahuti: „Persilahkan!" Hoa Seng girang mendengar suara itu. Di saat itu ia kebetulan menggunai kepandaiannya yang istimewa untuk melawan tongkatnya si pendeta jubah hitam itu. Ia membikin dadanya melesak hingga tak dapat ditotok, meski juga totokan itu tepat kepada sasarannya. Sembari berbuat begitu, ia menggunai ketika untuk melirik. Segera terlihat munculnya seorang wanita muda di tangga lauwteng, hingga meluaplah kegirangannya. Sebab yang datang ini bukanlah lain dari sinona dengan pakaian putih yang ia harapkan, yang ia buat pikiran siang dan malam. Dengan munculnya si nona serba putih itu, dengan sendirinya berhentilah pertempuran yang seru itu. „Kau tidak mau pulang, kau bikin apa di sini?" menegur si nona seraya menunjuk kepada si pendeta jubah merah, yang ia awasi dengan tajam. Air mukanya pendeta itu berubah, lekas-lekas ia menarik pulang jubahnya, setelah itu ia menoleh kepada Buddha Hidup untuk merangkap kedua tangannya akan memberikan hormatnya. „Lie-hoehoat menitahkan kau pulang, tidak dapat aku membiarkan kau berdiam lebih lama pula di sini," berkata Dalai Lama. Pendeta itu mengucapkan beberapa kata-kata dalam bahasa Nepal, habis itu ia memutar tubuhnya untuk terus berlalu dari istana Potala itu. Pedangnya Hoa Seng tengah dilibat jubahnya si pendeta jubah merah itu, dengan jubah orang ditarik pulang, bebaslah pedang itu, hanya selagi ia menarik pulang, pedang membabat mangkoknya di pendeta jubah kuning, hingga mangkok itu menjadi sempoak! Adalah di ketika itu, si nona pakaian putih berbicara dengan Dalai Lama, habis mana Buddha Hidup, dengan memberi tanda dengan kibasan tangannya, berkata kepada kedua pendeta yang masing-masing berjubah kuning dan jubah hitam itu: „Kiesoe yang datang dari Tionggoan ini bukan saja bukannya pembunuh gelap bahkan dia berjasa terhadap agama kita, maka itu tuan-tuan, aku minta sukalah kamu menghentikan pertempuran ini." Kedua pendeta itu mengunjuk roman yang bergelisah. Sebenarnya, dengan berlalunya si pendeta jubah merah, hati mereka sudah ciut. Bertiga mereka tidak sanggup merobohkan Hoa Seng, apapula sekarang mereka tinggal berdua. Mereka lega mendengar suaranya Buddha Hidup, sedang serangannya Hoa Seng pun ter¬henti sesudah pedangnya menghajar mangkok istimewa itu. Napas mereka pun sengal-sengal, suatu tanda mereka sudah letih sekali. Dengan cepat mereka berlutut kepada Buddha Hidup seraya mengangguk, kemudian mereka memberi hormat juga kepada si nona sambil mereka menekuk sebelah kakinya. Dari mulut mereka keluar kata-kata yang perlahan. Hoa Seng tidak mengerti bahasa mereka itu tetapi dapat ia menduga bahwa orang tengah memohon maaf. Habis memberi hormat kepada si nona, mereka itu pun berlalu dari situ dengan terus turun dari lauwteng. Sebenarnya Hoa Seng heran bukan main, hingga ia merasakan bagaikan ia tengah bermimpi. Keanehan ini ada melebihkan saat ketika untuk pertama kali ia bertemu si nona di Kota Iblis. Ia tidak menyangka nona itu adalah lie-hoehoat, atau pelindung bagi agama Buddha, hingga sekalipun Dalai Lama, Buddha Hidup yang sangat dijunjung, pun menaruh hormat demikian rupa terhadapnya. Sampai di situ pemuda ini menghampirkan Dalai Lama, untuk memberikan hormatnya, setelah mana ia pun mengunjuk hormat kepada si nona. Nona itu bersenyum manis. „Engko," katanya, „mengapa kau berlaku begini sungkan terhadapku?" Halus dan merdu terdengarnya suara nona ini. Dalai Lama tak menghiraukan pembicaraan orang. „Adakah kau utusan dari raja agama Putih?" ia bertanya. „Menurut katanya lie-hoehoat, selama di Kota Iblis kau telah melakukan sesuatu yang menguntungkan Tibet." „Aku justeru hendak menyampaikan sesuatu kepada Buddha Hidup," menyahut Hoa Seng. Belum lagi Dalai Lama berkata pula, untuk menanya tegas, si nona sudah berkata kepadanya. „Inilah engko yang aku kenal selama di Tionggoan," demikian katanya. „Buddha Hidup, harus kau mempercayai perkataannya. Sudah lama aku datang ke Tibet ini, telah aku menghadap Buddha Hidup, maka itu sudah selayaknya yang sekarang aku meminta diri. Jikalau ada jodohnya, biarlah lain kali aku datang menghadap pula." Setelah mengucap begitu, si nona menjura, terus ia memutar tubuh, akan turun dari lauwteng. Dalai Lama merangkap kedua tangannya, tanda ia mengantar orang berlalu. Heran Hoa Seng menyaksikan kelakuan si nona. Ia bergirang berbareng sedih. Baru ia bertemu pula nona itu, atau segera mereka berpisah lagi. Ia menyesal yang ia tidak dapat berlompat untuk membetot bajunya nona itu, untuk menahannya, buat mengajak bicara. Ia dapat menguasai dirinya. Di situ ada Buddha Hidup dan ia pun tidak dapat berlaku kurang ajar. Maka itu ia cuma dapat mengawasi nona itu bertindak pergi, di dalam hatinya ia menyesal dan berduka sekali. „Kiesoe, silahkan duduk di kamar samedhi." Dalai Lama mengundang tetamunya. „Di sana silahkan kiesoe memberi penjelasan kepadaku." Koei Hoa Seng menerima baik undangan itu, setelah mana ia memberikan penuturannya dari pengalamannya di Kota Iblis, bagaimana ia dapat mempergoki gerak-geriknya putera raja Nepal, sampai ia menerima pesan Maskanan untuk ia menyampaikan amanat dari raja agama Putih. Mendengar semua itu, Dalai Lama menghela napas. „Peribahasa bangsa Tibet mengatakan, 'Musuh yang jujur memenangkan sahabat, manusia hina penjilat mesti ada permintaannya,' inilah tepat sekali," katanya. Ia lantas menghaturkan terima kasih, kemudian ia menitahkan seorang lhama mengajak tetamunya ini ke kamar tetamu seraya memesan bahwa tetamunya harus dilayani sebagai tetamu yang agung. „Apakah kedudukannya lie-hoehoat itu?" tanya Hoa Seng kepada lhama yang melayani ia. Paling dulu ia menanyakan halnya si nona baju putih itu. Lhama itu merangkap kedua tangannya, sikapnya sangat menghormat. „Siapa yang berjasa besar terhadap agama Buddha, dia barulah dapat dikurniakan kedudukan sebagai hoehoat, ialah pelindung agama kami," sahutnya. „Demikian dengan lie-hoehoat tadi." „Siapakah itu yang mengurniakannya?" Hoa Seng menanya pula. „Ialah kepala dari kuil Nalanto di India. Untuk India, kedudukan kepala itu sama dengan kedudukannya Buddha Hidup, Kuil Nalanto itu mempunyai dua lembar surat jimat daun peiyeh, katanya di jaman dahulu, tempo Sang Buddha berceramah di bawah pohon bodhi, dia memetiknya daun itu dan dihadiahkan kepada muridnya yang bernama Kayap. Di kuil Nalanto itu, setiap seidaran tahun diadakan rapat besar agama Buddha, di sana daun suci itu dihadiahkan kepada orang-orang yang berjasa terhadap agama Buddha, yang pun dikurniakan menjadi hoehoat atau pelindung agama. Rapat diadakan setiap enampuluh tahun sekali tetapi dalam enampuluh tahun itu, belum dapat dipastikan ada orang yang sangat berjasa yang berhak mendapatkan kurnia itu. Maka itu, sudah kurnia pelindung itu sukar didapat, lebih sukar lagi didapatkannya oleh seorang wanita." Keterangan ini membuatnya Hoa Seng kagum dan girang sekali lagi heran. Walaupun begitu, tetap ia belum mengetahui jelas tentang dirinya si nona baju putih itu. Kenapa dia diangkat menjadi hoehoat? Dan asalnya, siapakah dia? Pendeta lama itu sebaliknya tidak suka omong banyak tentang itu nona pakaian putih, yang dia sebutkan hoehoat wanita. Sampai di lain harinya, Hoa Seng masih belum berhasil mengetahui hal ikhwal si nona. Ia menjadi masgul, hingga ia berniat berangkat pergi saja. Ketika si lhama pelayan diberitahukan niat orang untuk berlalu, dia berkata: „Menurut pesan Buddha Hidup, jikalau kiesoe menyukainya, kiesoe disilahkan tinggal lebih lama di istana ini." Hati Hoa Seng sudah tawar, hendak ia menampik kebaikan budi tuan rumah itu, atau si lhama pelayannya sudah berkata pula: „Ketika kemarin ini lie-hoehoat hendak berlalu, dia meninggalkan pesan, dan Buddha Hidup membilang bahwa pesan itu harus disampaikan kepada kiesoe." „Apakah pesan itu?" tanya Hoa Seng. Sejenak itu datanglah kegembiraannya. „Lie-hoehoat memesan mengundang kiesoe melakukan perjalanan ke Nepal," menerangkan si lhama. „Jikalau ada jodohnya, mungkin kiesoe akan bertemu pula dengannya, katanya." „Memang aku berniat pergi ke Nepal," berkata Hoa Seng. „Dalam istana kami ini ada orang yang mengerti bahasa Nepal," kata pula si lama. „Sebelum kiesoe berangkat ke sana, apakah kiesoe hendak mempelajari dulu bahasa Nepal itu?" Hoa Seng setujui usul ini. Memang, karena ia tidak bisa bahasa itu, lebih baik ia belajar dulu di sini sebab kalau ia pergi dulu dan baru belajar di sana, itu mestinya sulit. „Baiklah," jawabnya seraya mengucap terima kasih. Maka dengan manis budinya Buddha Hidup, ia berdiam terus di istana Potala itu. Ia belajar rajin setiap hari, siang dan malam, dari itu selang dua bulan, mengertilah ia sudah bahasa omongan setiap hari, kasar-kasar bolehlah itu dipakai. Karenanya, segera datang harinya yang ia tetapkan untuk keberangkatannya. Pagi-pagi sekali Hoa Seng minta diajak menghadap Buddha Hidup, untuk menghaturkan terima kasihnya, guna meminta diri. Lhama pelayannya itu mengantarkan ia sampai di ruang istana undak ke-tigabelas. Di sana ada sebuah taman, di dalam taman itu Dalai Lama tengah berjalan-jalan. Karena taman berada di tempat tinggi sekali, dari situ dapat orang memandang panorama seluruh Lhasa, ibukota Tibet. Bahkan dengan melihat jauh, tertampak pula gunung Himalaya dengan saljunya yang putih berkilauan. Di situ Hoa Seng bertemu sama Buddha Hidup kepada siapa ia mengutarakan niatnya untuk berangkat ke Nepal. Buddha Hidup sangat ramah tamah, ia memujikan keselamatan tetamunya ini. Ia pun memesan, sesampainya di Nepal, apabila Hoa Seng menemui sesuatu kesulitan, dia dianjurkan menghadap raja Nepal untuk memohon bantuan. Untuk ini Buddha Hidup membekali sepucuk surat yang mana dapat diserahkan kepada raja itu setiap waktu datangnya keperluan. Lebih jauh Buddha Hidup memberitahukannya bahwa ia sudah mengirim utusan pada hoat-ong agama Putih guna melakukan pembicaraan, dalam hal mana hoat-ong itu sudah bersedia mengirim muridnya yang berkedudukan sebagai hoehoat pergi ke Nepal, guna mengambil pulang tongkat suci. Katanya, murid itu mungkin Maskanan adanya. „Apakah kiesoe memikir untuk menantikan Maskanan, untuk pergi bersama dengan dia?" Buddha Hidup menanya, mengajukan pikiran. Hoa Sang berkeinginan keras lekas-lekas menemui si nona baju putih, ia tidak dapat bersabar lebih lama lagi, dari itu sambil mengucap terima kasih ia mengatakan hendak berangkat seorang diri saja. „Kalau begitu, terserah kepada kiesoe," berkata Dalai Lama. Lagi sekali Hoa Seng menghaturkan terima kasihnya, kemudian ia memberi hormat untuk pamitan, terus ia mengundurkan diri, untuk berangkat. Satu bulan lamanya Koei Hoa Seng berada di dalam perjalanan, ia melintasi gurun kuning, ia berjalan di padang rumput datar, akhirnya tibalah ia di kaki gunung Himalaya di perbatasan Nepal dan India. Ia menyaksikan puncak yang tinggi-rendah tak ketentuan, ia mendapatkan puncak yang bersalju hingga mirip dengan tiang langit saking tingginya. Kalah Thian San, Koen Loen dan Ngo Bie kalau dibandingkannya. Tanpa merasa Hoa Seng memuji gunung itu gunung kenamaan nomor satu di kolong langit ini. Sebenarnya Hoa Seng dapat jalan mengitari gunung itu, atau mendadak ia mendapat suatu pikiran luar biasa, ialah walaupun ia ketahui, tak dapat ia mendaki puncak, ingin ia mencobanya, untuk melihat puncak itu. Ia bersedia sampai sesampaisampainya, untuk itu ia bersedia juga menggunai temponya beberapa hari, asal ia memperoleh kepuasan. Ketika itu ada di pertengahan musim panas, kalau di Kanglam, itulah saatnya keindahan bunga delima, tetapi di gunung Himalaya ini, yang tampak adalah kembang salju putih meletak yang berterbangan, banyak puncak yang putih melulu, bagaikan dunia dari kristal. Empat hari sudah Hoa Seng mendaki, ia baru tiba di tengahtengah. Di sini hawa udara, makin lama makin dingin, sebaliknya pemandangan yang langka, makin lama makin banyak, bahkan ada binatang liar yang tidak terdapat di lainlain tempat. Ada anak-anak beruang, yang berlompatan di atas salju bagaikan bocah binal, sedang gagak gunung paruh kuning berterbangan di atas kepala orang sambil mengasi dengar suara gegaokannya. Sapi yang besar luar biasa pun nampak seperti perahu di atas es. Sejumlah anak kambing gunung berlari-lari pesat umpama kata bagaikan angin. Yang aneh semua binatang itu, karena belum pernah melihat manusia, tidak pada lari menyingkir. Di hari ke empat itu Hoa Seng jalan seantrero hari, magribnya ia merasa letih juga, maka ia memikir buat mencari guha untuk mondok. Ia melintasi sebuah sungai es, diatas es itu terbentang sinar lajung yang indah yang berwarna tujuh rupa. Ia gembira sekali hingga ia lupa letihnya. Kemudian ia melihat lagi lain pemandangan yang sangat mengagumkan. Di samping sungai es itu ada sumber air, yang airnya mancur, yang airnya panas, air mana tertiup buyar sang angin. Ditujuh sinar lajung, pemandangannya jadi indah luar biasa. Di samping sumber ini, di mana ada tumbuh pepohonan, ada pohon bunga yang tak ketahuan apa namanya. Di Tibet, di pelbagai tempat, ada kedapatan sumber-sumber air panas, sekalipun sumber itu diketemukan di atas gunung yang bersalju, itu masih tidak aneh, hanya yang membuat Hoa Seng heran sekali adalah, di antara pepohonan bunga di samping sumber air itu kedapatan seorang bocah wanita tengah bermain-main dengan gembira! Maka mau atau tidak, ia terbengong mengawasinya. Bocah itu berumur belum lewat lima tahun, mukanya potongan telor yang merah segar sungguh manis sekali. Dia tengah memetik bunga, yang dia jadikan semacam buket. Tumplak perhatian bocah itu kepada bunganya, sampai dia tidak merasa bagaimana Hoa Seng datang mendekati padanya. Di puncak bersalju dari Himalaya ada orang berumah tangga sudah heran, maka itu lebih heran lagi akan mendapatkan penghuni seorang bocah. Siapa orangtua seorang ini? Bagaimana dia sanggup melawan hawa dingin di atas gunung? Semua ini merupakan pertanyaan bagi Hoa Seng. Maka dengan perlahan ia menghampirkan bocah itu dengan niat mengajak bicara. Justeru di saat itu, terjadilah hal yang lebih aneh pula. Di belakang sumber itu ada sebuah es batu yang besar, dari belakang itu mendadak lompat muncul dua orang yang romannya aneh, sebab mata mereka celong, hidung mereka, mancung, jidat mereka lebar rambut mereka kuning, di jidat itu ada gubatan cita putih yang tebal. Hoa Seng lantas menduga kepada dua orang Arab. Selama dua bulan ia berdiam di istana Potala, selagi mempelajari bahasa Nepal, ia pun melihat kumpulan buku-bukunya Dalai Lama, yang menyimpan banyak macam kitab, maka ia mendapatkan gambar dari orang pelbagai bangsa, seperti bangsa Arab dan Eropah di samping bangsa Nepal. Maka sekarang ia bisa segera menduga. Tapi yang membuatnya ia kaget, semunculnya itu, dua orang Arab itu berlompat kepada si bocah wanita untuk mencekuk dia dengan empat tangan mereka yang besar dan kasar! Bocah itu kaget hingga dia menjerit-jerit. „Kenapa kamu mengganggu bocah cilik?" Hoa Seng menegur. Ia gusar. Ia menggunai bahasa Tibet. Dua orang itu agaknya tak mengerti perkataannya Hoa Seng, tetapi yang di tempat demikian mereka menemukan seorang asing, rupanya itu membuat mereka heran dan kaget, hingga keheranannya Hoa Seng sendiri. Nona cilik itu melihat ada orang yang membelai dia, dia hilang kagetnya. „Kamu berani menggoda aku!" katanya nyaring. „Nanti aku minta ayah menghajar mampus pada kamu!" Dan dia bicara dalam bahasa Tionghoa yang lancar! Dua orang luar biasa itu seperti tidak mengerti perkataan orang, tapi mereka dapat menduga yang mereka lagi ditegur, maka yang satu maju terus kepada nona cilik itu, sedang kawannya menghampirkan Hoa Seng. Dia ini mengasi lihat wajah menyeringainya, agaknya dia hendak menerjang, seperti kambratnya hendak mencekuk si nona cilik. Hoa Seng tahu apa yang ia mesti lakukan. Menolong si bocah adalah tindakan yang utama. Maka ia menjejak tanah, tentu ia berlompat, lewat di atas kepala orang yang mau menyerang kepadanya. Ia sampai tepat selagi tangan orang itu diulur kepada bocah itu. Orang itu terperanjat, ia tinggalkan si nona, ia balik tubuhnya, untuk terus menyerang orang yang ia tidak kenal ini. Hoa Seng berlompat dengan tipusilat Ngo Kim Ciang-hoat, suatu tipu dari dalam kitab rahasia „Tat-mo Pit-kip," karena ia tengah berlompat, lagi berlompat turun cocok sekali ia mengerahkan tenaganya. Begitulah ketika tangannya bentrok sama tangan si orang asing, tidak ampun lagi dia ini roboh jumpalitan! Segera setelah itu, tibalah si orang asing yang ke dua. Hoa Seng melihat datangnya orang itu. Tanpa bersangsi lagi, ia memapaki untuk menerjang terlebih dulu. Ia melonjorkan duadua tangannya, akan menyerang dengan jurus „Siang liong coet hay" atau „Sepasang naga keluar dari dalam laut." Orang itu ternyata tangguh, di waktu menangkis, walaupun benar ia tidak terguling seperti kawannya, ia toh terhujung mundur. „Aku mau lihat apa kamu masih berani menghina seorang bocah?" Hoa Seng menegur. Dua orang itu berdiam. Sekarang mereka sudah menghadapi Hoa Seng dengan berdiri berendeng. Bahkan berbareng keempat tangan mereka bergerak, untuk menyerang. Hoa Seng tidak takuti itu. Bukankah barusan hanya dengan segebrakan ia dapat menggempur mereka? Maka ia pikir, walaupun mereka mengepung, paling lama dalam lima jurus ia akan dapat merobohkan pula mereka itu. Tapi dugaannya ini meleset. Ketika ia menangkis keempat tangan itu, ia kena tertolak keras, ia terpelanting, hampir ia jatuh terguling! 10. Orang Luar Biasa di Kaki Gunung Hoa Seng menahan tubuhnya dengan memberati diri dengan kuda-kuda „Jatuh seribu kati." Ia mengeluarkan jari tangannya dengan jurus „Pembagian im dan yang," menurut ilmu silat Tiat Cie Sin-kang, atau Jeriji Besi. Ia menggurat tangannya kedua orang luar biasa itu. Ilmu silat Tiat Cie Sin-kang ini Hoa Seng memperolehnya dari Tat-mo Pit Kip, yaitu Kitab rahasia Tat-mo Couwsoe. Itulah kepandaian menggunai jeriji tangan yang mirip dengan It Cie Sian-kang dari Boe Tong Pay. Siapa kena tergores, sebagai diris, otot-otot nadinya tentulah putus. Dua orang tengah menerjang, Hoa Seng menyambuti. Ia percaya ia bakal berhasil. Di luar sangkaannya, dua manusia aneh itu liehay sekali. Begitu melihat orang memperkuat diri, mereka batal mendekati, sebaliknya mereka pun memasang kuda-kuda, tangan mereka didorongkan dengan perlahan-lahan. „Heran," pikir Hoa Seng. „Ilmu apakah ini? Inilah rada sesat? Baik aku mencoba pula." Maka mendadak ia mengubah serangannya. Ia menyerang dengan pukulan „Lima paku membuka gunung," suatu pukulan dari tenaga raksasa Taylek Kim-kong Ciang-hoat. Kesudahannya ini membuatnya terkejut. Kedua tangan lawan itu digeraki ke kiri dan ke kanan, maka bebaslah mereka dari serangan. Yang membikin Hoa Seng kaget yaitu tubuhnya sendiri, ia lantas seperti kena ditarik hingga berputar beberapa putaran. Hoa Seng tidak ketahui dua orang itu ialah murid-muridnya Timotato, Bapak Daud, jago nomor satu dari Arabia. Timotato pandai ilmu mengolah tenaga, ia mengerti segala cara untuk menghadap lawan, untuk melayani dengan cara sebalikannya. Itulah yang dinamakan tenaga im-yang. Liehaynya Timotato ialah, seorang diri ia dapat mengerahkan tenaga dua orang, cuma murid-muridnya ini, mereka mesti berada berdua untuk dapat menggunai ilmu silat itu. Setelah mencoba beberapa kali, perlahan-lahan Hoa Seng dapat membade ilmu silat dua orang aneh ini, maka lantas ia memikirkan daya untuk menentangnya. Ia menggunai ilmu pukulan Tay Kek Twie-cioe. Ia mengikuti tenaga menarik itu, dengan begitu ia dapat memecahkan serangan, kemudian ia membalas. Untuk mengundurkan lawan, hingga mereka tidak dapat merapatkan diri, beberapa kali ia menotok jalan darah mereka itu, sampai mereka tidak berani mendesak. Demikian mereka jadi berkutat. Menyaksikan demikian, si bocah wanita lantas berseru: „Paman, jangan kuatir! Nanti aku panggil ayah untuk membantumu!" „Bagus!" menyahut Hoa Seng sambil tertawa. Ia justeru ingin menemui ayah dan ibunya bocah itu. „Aku bakal tidak sanggup melayani dua orang jahat ini, lekas kau panggil ayahmu!" Bocah itu memetik sehelai daun, ia masuki itu ke dalam mulut, atau di lain saat terdengarlah suara tiupannya. Suara itu nyaring. Hanya sekira lamanya semakanan teh, di situ lantas muncul seorang lelaki dengan tubuh jang¬kung kurus, yang berusia lima puluh lebih. Dia datang sambil berlari-lari sambil dia menegur: „Kamu dua orang busuk, kamu tidak tahu malu, kamu menghina anak kecil?" Tapi ketika ia melihat Hoa Seng, dan Hoa Seng pun melihat dia, keduanya heran. „Poei Loocianpwee, kau di sana?" mengambil kesempatan Hoa Seng menanya. „Hai, Hoa Seng Laotee, kenapa kau datang ke mari?" orang tua itu balik menanya. Ia memanggil si pemuda dengan panggilan adik. Ia sebenarnya bernama Poei Kin Beng (Poei Keng Beng). Di jamannya Kaisar Kong Hie, dialah seorang kosen yang kesohor, gelarannya pun Sin Koen Boe-tek, Kepalan Tak Lawan. Tempo belasan putera kaisar itu berebut kekuasaan, ia ditarik oleh Capsie-hongcoe In Tee, putera ke-empatbelas. Kemudian ia kena diambil oleh Soe-hongcoe In Ceng, putera raja yang ke empat, yang kemudian menjadi Kaisar Yong Ceng, sedang In Tee terbinasakan saudaranya itu setelah si saudara menjadi kaisar. Setelah itu Kim Beng mendengar nasihatnya Tayhiap Tong Siauw Lan, maka sejak itu ia tidak membantu lagi pemerintah Boan. Ia mengenal Hoa Seng tempo Hoa Seng berumur sepuluh tahun lebih, tetapi sekarang selewatnya beberapa puluh tahun, mereka masih saling mengenali. Belum lagi ia datang dekat, Poei Kin Beng sudah menyerang dua lawannya Hoa Seng itu. Mereka itu lantas saja terhuyung, karena mereka tidak roboh. Mereka lantas mencaci, dalam bahasanya sendiri. Antaranya terdengar kata-kata „Timotato". Hoa Seng pernah mendengar dari si nona baju putih tentang orang liehay, ia ingat itu nama Timotato, maka itu, ia lantas serukan si orang tua. Katanya: „Poei Loocianpwee, tak usahlah turun tangan! Lihat nanti aku bereskan mereka!" Dua orang aneh itu berdiri berendeng, lagi-lagi mereka menggunai ilmu silatnya yang luar biasa itu, tenaganya im dan yang, atau positip dan negatip. Menyaksikan serangan Hu, Hoa Seng berseru keras, ia menyambut dengan Taylek Kim-kong-cioe, dengan keras juga. Dua orang itu nampaknya girang. Rupanya inilah sambutan yang diharap mereka. Maka mereka lantas bergerak, untuk menyerang pula. Tapi tiba-tiba lenyaplah tenaga melawan dari Taylek Kim-kong, mereka mendorong tempat kosong, hingga tubuh mereka terjerunuk ke depan. Hoa Seng ternyata telah mencelat ke samping, selagi orang mau jatuh, ia berjingkrak untuk terus menendang dengan kedua kakinya berbareng kepada kempolan mereka itu, maka tidak ampun lagi, keduanya roboh terguling. Yang satu lebih liehay dari kawannya, dengan gerakan „Ikan gabus meletik," dia berlompat bangun, agaknya mau dia membuat pembalasan. Hoa Seng menduga aksi orang itu, ia mendahului, dengan kesebatannya, ia mengulur tangannya, menyambak tulang piepee di pundak, lalu dia membalingkannya dengan tenaga Toa-soet Pay-cioe dari Siauw Lim Pay. Maka hebatlah kesudahannya orang aneh itu. Bukan saja dia telah robek bajunya, tulang piepeenya pun pecah-hancur, tubuhnya terpelanting roboh. Dia tak bergerak lagi. Nyatalah Hoa Seng, setelah mengetahui tenaga besar dan ulet dari lawan, ia menggunai tipu. Mulanya ia lawan keras dengan keras, lalu mendadak ia menarik pulang tenaganya itu, tubuhnya mencelat ke samping, maka di saat orang nyelonong ke depan, ia mendupak mereka. Si nona bersorak seraya menepuk tangan. „Bagus, bagus!" demikian pujiannya. „Mereka dihajar dan berkaok-kaok!" Poei Kin Beng pun memuji: „Hebat, Laotee, hajaranmu ini keras bercampur lunak. Aku dinamakan Sin Koen tetapi aku harus mengagumi kau. Baiklah aku bilangi kau, aku juga sudah beberapa kali bertempur sama mereka, mereka tidak pernah dapat kemenangan, aku pun belum dapat mengalahkan mereka." Hoa Seng merendahkan diri. „Siapa sebenarnya mereka?" ia tanya. „Nanti aku menjelaskan," menyahut Kin Beng. „Aku berdiam menyendiri di sini, dengan tahun ini adalah tahun yang ke sepuluh. Selama sepuluh tahun itu, belum pernah ada orang datang ke mari. Kira lima atau enam hari yang lalu, setahu dari mana datangnya, tiba-tiba muncul dua orang ini. Mereka datang ke rumahku, mereka minta makan dan minta minum. Itulah tidak apa. Celakanya, kemudian mereka hendak mengusir aku pergi, mereka hendak merampas rumahku ini! Belum pernah aku menemui orang demikian tidak tahu aturan. Maka itu, sejak itu hampir setiap hari aku bertempur sama mereka. Anak ini besar nyalinya, sebenarnya aku kurung dia di rumah, aku larang dia keluar, siapa tahu selagi aku menyiram bunga di kebunku, dia keluar dengan diam-diam ………..” Nona itu menjebi. „Beberapa hari aku tidak keluar rumah, pikiranku pepat!" katanya. Nyata dia manja. „Sekalipun banteng aku tidak takuti, apa pula baru ini dua makhluk aneh!" Hoa Seng heran. „Sebetulnya mau apa mereka datang ke mari?" ia menanya. „Sayang tidak mengerti bahasa mereka, mereka jadi tidak dapat dikompes." Lantas Hoa Seng menghampirkan musuh yang terbinasa itu, yang ia robek bajunya, untuk menggeledah padanya. Di situ ada dua lembar papan persegi tiga, setiap satunya panjang lima atau enam dim dan dipasangi dua palangan besi sebagai kaki. Masih ada lagi beberapa helai gambar, gambar dari papanpapan itu. Hoa Seng dan Kin Beng ti¬dak mengerti maksudnya gambar dan papan itu, mereka terpaksa tidak mencari tahu lebih jauh. Tentu sekali mereka ini tidak ketahui niatnya Timotato. Sebenarnya Timotato berminat mendaki puncak gunung paling tinggi di kolong langit ini, lebih dulu dia mengirim dua muridnya untuk membuat pengukuran. Papan-papan itu ialah alat-alatnya. Tidak dinyana, dua murid ini bertemu sama Hoa Seng dan jadi bertempur. Celaka sekali, mereka terlemparkan ke bawah gunung. Yang terluka pundaknya itu mati lantas. Yang lainnya luka bercacad, dia kabur selang sepuluh tahun kemudian dia pulang ke Eropah, di sepanjang jalan dia mengemis. Adalah di kemudian hari Timotato akan mencoba mewujudkan cita-citanya itu. Sampai di situ, Kin Beng undang Hoa Seng datang ke rumahnya. Mereka baru bertemu pula, tetapi bertemunya di gunung Himalaya ini, mereka jadi girang sekali, mereka lantas saja bergaul dengan erat. Dari sumber air mancur itu ke rumahnya Kin Beng cuma beberapa lie, tidak lama sampailah mereka. Itulah rumah dengan tiga ruang, yang dikurung dengan tembok batu. Rumah itu jelek tetapi mengambil model rumah-rumah di Kanglam. Maka itu sejak tiba di Tibet, baru kali ini ia melihat rumah model Kanglam itu. Ia gembira, sekali. Ia mau percaya, bukan tanpa banyak tempo dan tenaga yang Kin Beng dapat membangun rumahnya ini di tanah pegunungan itu. Kemudian Hoa Seng ingat pertemuannya sama Hoa Giok, si nona baju putih, di Puncak Bidadari, di mana mereka telah bergurau, katanya si nona, nanti ia hendak membikin lengkiong, yaitu istana dingin, di atas Thian Ouw, Tengri Nor, di puncak salju. Tentu saja, ia menguatirkan itu hanya khayal belaka. Tapi toh ia membayangi, kalau dapat ia tinggal bersama nona itu, biar mereka tinggal di rumah seburuk rumah Kin Beng ini, ia akan puas sekali. Hanya, kapan ia pikirkan, kapan nanti datangnya itu hari, bulan dan tahun, ia berdiam ………… Di samping rumah Kin Beng itu ada sebuah taman kecil, tuan rumah mengajak tetamunya pergi ke kebun bunga itu di mana ia mendapatkan banyak macam bunga, justeru bunganya sedang pada mekar. „Sayang aku tidak bisa mendapatkan bunga-bunga dari Tiongkok," kata Kin Beng tertawa. „Karena dekat sama sumber air panas, hawa di sini rada hangat, tak perduli keletakan tempat di atas gunung yang hawanya dingin." „Loocianpwee," tanya Hoa Seng kemudian, „kenapa kau datang ke mari dan tinggal menyendiri di sini? Sukakah kau menuturkan sebabnya?" Poei Kin Beng tertawa. „Tak lebih tak kurang karena aku jeri,” sahutnya terus-terang. „Dulu hari itu aku membantu Capsie-hongcoe berebutan takhta kerajaan sama Yong Ceng, selagi aku membenci Yong Ceng, Yong Ceng pun tentu benci sangat padaku. Yong Ceng ada punyai banyak sekali pahlawan, begitu juga ia mempunyai Lian Keng Giauw sebagai panglima perangnya yang sangat kejam, mana dapat aku menaruh kaki di Tiong-goan? Terpaksa aku menyingkir ke mari" „Yong Ceng dan Lian Keng Giauw sudah mati, yang memerintah sekarang puteranya Yong Ceng," Hoa Seng memberitahu, „ialah kaisar Kian Liong." Kin Beng agaknya girang. „Bagaimana matinya Yong Ceng dan Keng Giauw itu?" ia menanya. „Lian Keng Giauw telah besar jasanya, Yong Ceng turunkan pangkatnya delapan belas tingkat dan membuang padanya ke kota Hangcioe di mana dia ditugaskan menjaga pintu kota," menerangkan Hoa Seng. „Dia terhina sangat, sudah begitu kemudian dia tak terluput daripada kebinasaan. Yong Ceng sendiri mati terbunuh Lu Soe Nio di dalam keratonnya!" Kin Beng tertawa melenggak, ia puas sekali, ia berseru menyatakan kepuasannya itu. „Musuh-musuhku itu sudah terbinasa," katanya kemudian, „tapi aku sudah jadi biasa tinggal di sini, aku tidak niat turun gunung lagi." Atas sikap tuan rumah ini, Hoa Seng tidak membilang suatu apa. Masih sekian lama mereka berdiam di taman itu, baru Kin Beng ajak tetamunya masuk ke dalam. Kin Beng datang ke Tibet seorang diri, ia menikah sama seorang nona Tibet. Kebetulan isteri itu pun pernah belajar ilmu silat kalangan Agama Merah dan tubuhnya kuat. Inilah untuk pertama kali dia melayani tetamu suaminya, dia girang sekali, dia melayani dengan telaten. Dia menggorengi daging harimau dan menyuguhkan juga susu. Hoa Seng dahar dengan bernapsu, ia menenggak susunya. Memang selama di Tibet ini, ia seperti kekurangan makan, sebab selalu menangsal perut dengan rangsum kering. Malamnya tuan rumah dan tetamu duduk pasang omong. Kin Beng menanyakan keadaan kaum Rimba Persilatan selama sepuluh tahun ia menyingkir dari Tiong-goan. Hoa Seng menuturkan apa yang ia tahu, ia membuatnya tuan rumahnya gembira sekali. Kemudian Hoa Seng memberitahukan bahwa di Tibet ini ia bertemu sama puteranya Lian Keng Giauw, bahwa putera itu pintar tak kalah dari pada ayahnya. Kin Beng menghela napas, ia kata: „Mudah-mudahan dia jangan menelad sifat ayahnya itu....." „Loocianpwee," tanya Hoa Seng kemudian, „Cholmo Lungma adalah gunung paling tinggi di kolong langit ini, kau telah tinggal di sini sepuluh tahun, pernahkah kau mendakinya?" Tuan rumah tertawa. „Kalau gunung itu gampang dipanjatnya, cara bagaimana dia dapat disebut gunung paling tinggi di dalam dunia?" dia membaliki. „Untuk mendaki dari sini, bukan saja esnya bersusun tak habisnya, pun sukar sekali orang bernapas, makin lama makin sesak rasanya. Sekalipun orang yang tenagadalamnya sempurna, dia tidak kuat bertahan. Kabarnya juga Leng Bwee Hong dari Thian San Pay, dia gagal, dia turun kembali dengan sia-sia ……….” Mendengar itu, Hoa Seng menginsafi sulitnya mendaki puncak gunung itu. Besoknya, Hoa Seng berniat pamitan, tetapi tuan rumah menahan, ia diajak mendaki dua puncak es dari mana mereka bisa memandang jauh ke Cholmo Lungma. „Ilmu silat juga sama seperti mendaki gunung," pikir Hoa Seng selagi matanya mengawasi gunung itu, yang puncaknya masuk ke dalam mega, „naik sebuah puncak, ada lagi puncak lainnya. Di dalam halnya ilmu silat, siapa dapat mempelajari demikian liehay hingga dia tak dapat terkalahkan, seumpama tingginya puncak ini?" Karena ini, di waktu berjalan pulang, pemuda ini kurang gembira. Kin Beng seperti dapat membade hatinya tetamunya. „Laotee, tak usah kau jadi kecil hati," katanya tertawa. „Mendaki puncak memang sulit, tetapi kau telah berhasil sampai di sini, seharusnya kau sudah merasa puas." Hoa Seng tidak memikir demikian, ia ingin mendaki sebuah puncak, lalu mendakinya lagi yang lain, akan tetapi memandangi Coe Hong atau Puncak Mutiara itu, ia merasa dirinya kecil juga. Tanpa banyak bicara, ia ikut Kin Beng pulang. Baru mereka sampai di air mancur, di sana mereka mendapat dengar suara suitan daun, mendengar mana, Kin Beng jadi gusar. „Kurang ajar!" katanya sengit. „Sepuluh tahun sudah aku tinggal di gunung ini, biasanya aman dan tenteram, maka aku tidak menyangka, selama beberapa hari ini aku saban-saban mendapat gangguan dari manusia-manusia kasar!" Hoa Seng pun heran. „Baru kemarin kita merobohkan dua orang aneh itu, kenapa ada datang yang lainnya?" katanya. „Kenapa di kaki Puncak Mutiara ini ada begini banyak manusia aneh?" Keduanya lantas lari pulang. Begitu mereka sampai dan membuka pintu kebun bunga, di sana mereka menampak seorang muda yang mukanya hitam dan rambut terlepas sedang berkata-kata seperti ngoceh, tangan dan kakinya pun digeraki berulang-ulang, dia tertawa-tawa terhadap Nona Poei. Melihat ayahnya pulang, nona itu mengadu sambil menjerit: „Ini si hitam-legam mengacau kebun bunga kita, dia main petik bunganya! Dia juga menghina aku!" Kin Beng menjadi gusar sekali, dengan satu lompatan, ia menerajang pemuda hitam itu. Si pemuda lagi bicara ketika ia merasakan sambaran angin. Dapat dimengerti jurus Pek-pou Sin Koen, koentauw Seratus Tindak, dari Kin Beng, liehay sekali. Ia berkelit, tubuhnya dua kali. Atas itu datanglah serangan yang ke dua. Tentu saja serangan ini dari dekat dan hebatnya dapat dikira-kirakan. Menampak itu, Hoa Seng terkejut. Ia pun melihat, walaupun dia hitam, wajah pemuda itu hitam-manis, agaknya dia tidak beroman jahat, dia beda daripada si dua manusia kemarinnya. Dia ini malah rada agung. Ia menduga, pukulan itu akan membikin tulangnya patah. Tidak ada tempo untuk si pemuda mencegah, maka telaklah serangan Kin Beng mengenai pundak anak muda muka hitam itu. Tapi anehnya, si anak muda tidak roboh, dia tidak menjerit, hanya tubuhnya itu seperti tertolak, lalu melejit, sedang tangannya si anak muda berbalik menyambar kepalan penyerangnya! Hoa Seng terperanjat. Selama di dalam Istana Potala ia pernah membaca sebuah kitab ilmu silat India, sekarang ia ingat itu disebabkan gerak-gerik anak muda hitam-manis ini. „Ah, bukankah ia bersilat dengan ilmu yoga?" pikirnya. Menurut ilmu yoga itu, tubuh dapat dibikin lemas sesuka kita, bahkan siapa telah meyakinkan itu sampai di puncak kemahiran, dia dapat bertahan atas serangan api atau pukulan martil, dan selama tujuh hari dapat menahan napas dan tidak mati karenanya. Ilmu itu sama dengan ilmu tenaga dalam Tionghoa. „Ah, mestinya dia mempunyai kepandaian yang tidak disebawahanku ……..” Dua orang itu masih berkutat, mereka berontak dan bertalian. Lekas juga si anak muda bermandikan keringat, tetapi cekalannya tidak mau dilepaskan dan Kin Beng tidak dapat meronta melepaskan diri, ia sukar bertindak. Maka itu, keduanya saling bertahan. Mereka sampai tidak berani membuka mulut untuk berbicara. Juga Kin Beng, tidak lama kemudian, dia mengeluarkan keringat pada kepalanya. „Paman, cobalah kau bantu ayah!" kemudian si nona meminta kepada Hoa Seng. Hoa Seng pun menginsafi, kedua orang itu sama liehaynya, kalau mereka diantap berkutat terus, dua-dua bakal terluka di dalam. Maka ingin ia bertindak. Dengan lantas pemuda ini mengerahkan tenaganya di tangannya, lantas ia berlompat maju, dengan satu gerakan „Kuda liar membuka suri," ia mengajukan kedua tangannya untuk segera dipentang. Begitu tangannya membentur tangan dua orang itu, ia merasakan tolakan tenaga yang keras, tetapi ia sudah bersedia, ia dapat bersiaga. Ia mementang terus tangannya sambil ia berlompat ke samping, hingga ia membentur patah sebuah pohon kembang. Di lain pihak, dua orang yang berkutat itu telah terpisah. Kin Beng masih gusar, hendak ia menerjang pula, ketika si anak muda muka hitam itu membuka mulutnya dalam bahasa Tibet: „Aku tidak bermaksud jahat, harap tuan tidak salah paham." „Tetapi kau telah merusak pohon bungaku, kau mesti mengganti!" teriak si nona, yang cuma ingat kembangnya. Anak muda itu menjura kepada Kin Beng, lalu ia berpaling kepada nona kecil itu. „Aku mengganti dengan ini untukmu, nona," katanya. Ia mengeluarkan dan sakunya sebuah teropong, alat peranti melihat jauh. „Kau pakailah, lalu kau lihatlah!" Ia lantas mengajari bagaimana harus mengeker. Nona kecil itu memasang keker itu, ia melihat ke arah puncak. Ia melihat jauh dan tegas, bukan seperti hari-hari yang sudahsudah, bahkan ia menampak sebaris kambing gunung lagi berlerot. Tanpa merasa ia jadi tertawa, lenyap kedukaannya. „Terima kasih, paman!" ia mengucap. Kin Beng tidak suka puterinya menerima hadiah dari seorang asing, akan tetapi melihat kegirangannya anak itu, ia tidak mencegah. Sementara itu Hoa Seng telah meluruskan pernapasannya, ia menghampirkan si anak muda. „Kau liehay, tuan!" ia memuji sehabis mereka saling memberi hormat. Anak muda itu mengawasi karena orang ini tidak terluka di dalam badan. Ia berkata: „Aku pernah mendengar dari seorang pendeta berilmu di dalam negeriku halnya ilmu silat Tionghoa asal dari Siauw Lim Pay, bahwa ilmu silat Siauw Lim Pay itu sebenarnya berasal lebih jauh dari ajaran Bodhidarma dari negaraku, sekarang aku menyaksikannya, ilmu silat kamu luar biasa hebat. Ini dia yang dibilang, hijau itu asalnya biru! Aku percaya sekarang, ilmu silat negaramu telah memenangi ilmu silat negaraku!" Sekarang pasti sudah Hoa Seng mengetahui bahwa orang datang dari India. „Saudara memuji terlalu tinggi," bilangnya. „Aku mendengar kabar Liong Yap Taysoe dari negara tuan telah memahamkan ilmu silat sampai di puncaknya kemahiran, sayang aku belum pernah bertemu sendiri dengan Taysoe itu, tidak ada jodohku untuk memberi hormat kepadanya." „Liong Yap Taysoe itu justerulah guruku," berkata si anak muda. „Sayang aku bodoh, aku belum dapat mewariskan tiga bagian saja dari kepandaiannya guruku itu …….” Sembari berkata, anak muda ini mengawasi Hoa Seng tajam. Ia rupanya heran kenapa orang kenal gurunya. Sampai di situ, bertiga mereka saling belajar kenal. Pemuda itu adalah Jatsingh dari Rajaghra, India. Nama kota Rajaghra itu tak asing bagi Hoa Seng. Karena dalam riwayat agama Buddha ada disebut nama tempat itu di mana Hsuan Tshang pernah berkhotbah. „Untuk apa saudara mendaki Gunung Salju?" Hoa Seng tanya pemuda itu. Jatsingh menunjuk roman likat. „Bicara sebenarnya, aku hendak mencari teratai salju," sahutnya. „Teratai salju" ialah soat-lian. „Mencari teratai salju?" tanya Hoa Seng heran. „Benar. Aku mendengar kabar di gunung es di Tiongkok ada bunga teratai yang tumbuh di salju, bahwa katanya teratai itu dapat memunahkan seratus macam racun atau bisa. Entah benarkah itu atau tidak ……” „Yang tumbuh di atas gunung es, bukan selamanya teratai salju," berkata Hoa Seng. „Menurut apa pang aku ketahui di gunung Thian San, di puncak yang tinggi di barat daya, kadang-kadang bisa didapatkan teratai salju itu. Bahwa di gunung Himalaya ini ada teratai salju itu atau tidak, kita harus menanyakan kepada Poei Loocianpwee." „Aku telah tinggal hampir sepuluh tahun di sini, belum pernah aku melihat teratai salju," berkata Kin Beng. Pemuda India itu nampaknya putus asa. Hoa Seng berpikir : „Ia itu menempuh bahaya datang ke mari mencari teratai salju itu, mestinya itu sangat dibutuhkan." Maka ia bersenyum dan berkata pada pemuda itu, „Aku justeru ada mempunyai tiga kuntum dari bunga itu, baiklah aku memberikan kau satu kuntum." Ia pun lantas mengeluarkan soat-liannya itu, yang terus saja menyiarkan bau harum. Jatsingh terperanjat hingga dia berjingkrak. „Inilah mustika!" serunya. „Kau hadiahkan ini padaku, mana berani aku menerimanya? Aku ada membawa barang permata, aku ……….” Hoa Seng memegat kata-kata orang. „Kau telah memberikan adik kecil ini teropong, aku memberikan kau sekuntum soat-lian," katanya tertawa. „Menurut cara kita orang Tionghoa, itulah yang dibilang melemparkan buah tho untuk membalas buah lie. Maka janganlah saudara sungkan." Hoa Seng mengatakan demikian meski sebenarnya dibanding sama teropong, soat-lian lebih berharga beribu berlaksa lipat ganda. Mengetahui orang demikian dermawan, Jatsingh melongoh. Kin Beng sebaliknya girang sekali, karena berhargalah ia mendapatkan kekernya orang India itu. Jatsingh menyambuti soat lian, untuk disimpan dengan berhatihati. „Aku telah menerima budimu yang besar ini, tidak dapat aku membalasnya," katanya dengan sangat bersyukur. kalau nanti saudara mendapat kesempatan mendatangi negaraku, pastilah aku akan melakukan apa yang aku bisa untuk menyambut kau." Hoa Seng bersenyum. Ia merasakan orang India ini sangat tergesa-gesa. Pikirnya, „Dia mengatakan datang ke Himalaya ini untuk mencari soat-lian, nampaknya dia tidak mendusta." Kin Beng lalu berkata: „Saudara Koei ini juga hendak turun gunung, maka itu kenapa kamu berdua tidak mau tinggal lagi beberapa hari sama kami di sini? Nanti kamu berdua dapat turun gunung bersama-sama, menjadi ada kawan seperjalanan." Jatsingh memperlihatkan roman girang, „Aku menyangka saudara Koei juga tinggal di gunung ini," ia berkata, „kiranya saudara pun hendak turun gunung. Aku menumpang bertanya, saudara hendak pergi ke mana?" „Aku memikir untuk pergi ke Nepal," sahut Hoa Seng terusterang. Mendengar itu, agaknya Jatsingh heran. „Apakah saudara Koei hendak pergi ke Nepal untuk turut juga dalam ujian?" ia bertanya pula tanpa ia menghendakinya. Sekarang adalah Hoa Seng yang keheranan. „Ujian apakah itu?" ia tanya. Di dalam hatinya sendiri, ia kata: „Mungkinkah di Nepal pun ada semacam ujian? Tapi aku ada seorang asing, apakah aku dapat turut mengambil bagian?" Jatsingh mengasi lihat roman tidak wajar. Nyata ia telah keterlepasan omong, ia menyesal. „Kiranya kau tidak ketahui hal itu, saudara Koei," katanya kemudian. „Kalau begitu lebih baik kita tidak membicarakannya." Hoa Seng menjadi heran sekali. Tetapi ia tertawa. „Apakah halangannya, untuk menyebutkan itu?" ia kata manis. Jatsingh bersangsi, tetapi ia lantas mengingat budi orang yang memberikan ia soat-lian yang demikian berharga sedang mereka tidak kenal satu pada lain dan baru saja bertemu dan berkenalan pada detik ini, ia merasa malu hati. Ia pun tidak dapat mendusta. „Memang di sana bakal diadakan ujian tetapi di Nepal ujian tak sama dengan ujian conggoan di Tiongkok," ia berkata, memberikan keterangannya. „Sebenarnya itulah ujian dari puteri Nepal yang hendak memilih bakal suaminya." Hoa Seng ketarik. Bukankah itu suatu kebiasaan aneh? „Bagaimana caranya pemilihan itu?" ia menanya. „Aku dengar kabar puteri Nepal itu cantik luar biasa dan pintar dan gagah sekali," menyahut Jatsingh, „maka itu pemudapemuda bangsawan bangsa Nepal, semuanya menginginkan memperolehnya sebagai isteri mereka, akan tetapi sebaliknya, di mata si puteri, tidak ada seorang juga yang cocok baginya. Hal itu membuatnya raja Nepal bergelisah, sebab ia tidak dapat sendirinya memilihkan, ia kuatir pilihan itu ditolak oleh puterinya. Di akhirnya tuan puteri sendiri yang mengajukan usul untuk mengadakan pemilihan dengan jalan ujian itu. Pertama-tama orang akan diuji dalam ilmu surat, habis itu baru dalam ilmu silat. Aku mendengar kabar juga ada pemudapemuda lain bangsa yang datang untuk mencoba peruntungan mereka ………..” Hoa Seng tertawa. „Mari kita bicara dari hal ujian yang pertama itu, ialah ilmu surat," katanya. „Bagaimana caranya ujian itu? Tidakkah di sini ada soal bahasa?" „Tetapi itu ada soal gampang," menyahut Jatsingh. „Puteri Nepal itu pintar luar biasa, ia bukan melainkan pandai bahasanya sendiri, ia mengerti juga bahasa asing seperti bahasa Tionghoa, Sangsekerta dan Arab. Pemuda-pemuda asing itu pun bukan lain dari pada pemuda-pemuda Tionghoa, India dan Arab. Maka kalau orang asing yang diuji itu, dia diuji dalam bahasanya sendiri. Hanya, biar bagaimana juga, sudah selayaknya saja dia mengerti sedikit-sedikit bahasa Nepal." „Dan bagaimana caranya menguji ilmu silat?" Hoa Seng menanya pula. „Untuk ujian ilmu silat, orang harus melewati beberapa 'kota penting' yang sangat sulit," Jatsingh menerangkan Lebih jauh. „Sesudah itu, orang mesti dapat menempur dayangdayang istana. Kalau orang lulus dari semua ujian itu, di akhirnya dia bakal diuji si puteri sendiri." „Begitu caranya puteri itu memilih suami, dia benarlah seorang wanita kesatria!" Hoa Seng memuji. „Memang!" berkata Jatsingh. „Hanya aku mendengar kabar, sejak dimulai tahun yang sudah, pemilihan telah sampai sekarang ini tetapi belum juga ada orang yang tepat yang terpilih." Hati Hoa Seng tergerak tiba-tiba. Ia ingat si nona baju putih. Ia bersenyum. „Ah, tidak nanti itulah dianya," ia berpikir. „Jikalau benar dia, mana dia dapat keluar seorang diri dari dalam istananya? Mustahil dia dapat muncul di Kota Iblis itu? Bahkan dia memperlihatkan diri di Istana Potala? Laginya, dia cuma satu puteri, kenapa putera raja Nepal demikian takut kepadanya?" Mengingat ini, Hoa Seng mau memastikan si nona baju putih bukannya si puteri Nepal, walaupun demikian, ia tetap heran, ia menjadi menduga-duga. Ia berpikir pula: „Kenapa di Nepal ada wanita demikian pintar dan gagah? Kalau nanti aku sampai di negara itu, ingin aku melihat tuan puteri itu, untuk mendapat kepastian dia dapatkah atau tidak dibanding sama adikku si Giok ………..” Jatsingh sendiri, habis memberi keterangan, dia tertawa. „Orang dengan kepandaian sebagai kau, saudara Koei,” katanya, „jikalau kau pergi ke sana dan mencoba turut dalam ujian itu, mungkin kau mempunyai harapan. Apakah saudara mempunyai niat itu?" Hoa Seng tertawa bergelak. „Aku gemar merantau, aku merdeka sebagai burung hoo hutan!" katanya. „Jangan kata tidak ada harapan, sekalipun ada, tidak nanti aku membiarkan diriku masuk sendiri ke dalam jaring! Bukankah dengan begitu aku bakal jadi mengikat diriku sendiri? Laginya, aku tidak mengerti bahasa Nepal, mana bisa aku turut mengambil bagian?" Hoa Seng mengatakan demikian sedang hatinya terus memikirkan si nona baju putih, meskipun seorang bidadari tidak nanti dapat menarik hatinya itu. Hanya, karena si puteri Nepal ini demikian luar biasa, ia toh ketarik juga oleh keluarbiasaan itu ……… Mendengar Hoa Seng tidak berniat turut mengambil bagian dalam pemilihan calon suami puteri Nepal itu, perlahan-lahan wajahnya Jatsingh kembali wajar. „Saudara," ia menanya, „telah dengan susah-payah saudara mendaki gunung ini, saudara hendak tinggal di sini untuk berapa hari lagi?" Hoa Seng menatap orang, ia bersenyum. Ia seperti dapat membade hati pemuda itu. „Jikalau saudara mempunyai urusan sangat penting, tidak berani aku menahan kau," katanya. „Karena tujuan kita sama, mungkin di Nepal nanti kita dapat bertemu pula. Di sini aku hendak berdiam lagi satu atau dua hari." „Kalau begitu, ijinkanlah aku berangkat lebih dulu, sekarang juga," berkata Jatsingh, yang terus berbangkit. Lagi sekali ia menghaturkan terima kasih pada Hoa Seng, kemudian ia memberi hormatnya kepada itu anak muda, kepada tuan rumah dan puterinya juga. Ia turun gunung dengan lekas". „Orang itu aneh!" berkata Kin Beng. „Ketika tadi ia mendengar kau mau turun gunung, ia gembira sekali, agaknya ia senang sekali untuk berjalan sama-sama, akan tetapi sekejap kemudian, wajahnya berubah, agaknya ia menjadi takut untuk berjalan sama-sama kau, saudara Koei ……..” „Dia kuatir aku nanti merampas puterinya!" berkata Hoa Seng terus-terang. „Sebenarnya mana ada minatku semacam itu?" Dan ia tertawa lebar. Kin Beng mengerti, ia pun tertawa. Kemudian mereka bicara dari lain-lain hal. Masih dua hari Hoa Seng menumpang sama Kin Beng. Selama ini ia menggunai temponya juga untuk mendengari kebiasaan bangsa Nepal dari isterinya Kin Beng. Isteri Kin Beng, anaknya seorang penggembala Tibet, kebetulan pernah pergi ke Nepal dan dia mengetahui beberapa adat kebiasaan bangsa Nepal. Di harian ia mau berangkat, selagi berpisahan, Kin Beng membekali abon serta bebuahan kering, maka itu ia sangat berterima kasih, Kin Beng dan isteri dan anaknya pun mengantari sampai di kaki gunung dimana agaknya mereka berat sekali untuk berpisahan. Sebab meski belum lama pergaulan mereka, mereka kedua pihak sangat cocok satu dengan lain. Hoa Seng mulai perjalanannya dari kaki gunung di utara memutar ke kaki gunung sebelah selatan, dari situ ia mulai memasuki wilayah Nepal. Waktu itu sudah pertengahan musim panas, di mana-mana terdengar ocehan burung-burung dan terlihat bunga-bunga mekar serta baunya yang harum. Bagaikan bedanya dua dunia kalau suasana Nepal ini dibandingkan dengan tanah pegunungan es dan salju. Nepal pun ada negara pegunungan, dari itu orang menyebutnya Zwitserland dari Timur, dan maka itu, orang dapat menduga keindahannya. Di negeri itu terdapat banyak telaga dan puncak-puncak gunung nampak putih semua. Air solokan gunung atau air tumpah, semua jatuh ke bawah masuk ke dalam telaga-telaga itu di mana pun tertampak ikan-ikan kecil. Di antara pepohonan kedapatanlah bunga-bunganya. Nepal ada sebuah Negara agama Buddha, bahkan Sang Buddha sendiri, Shakyamuni, terlahir di taman Lumbini, di bawah pohon Sala, di Behar, selatan Nepal. Maka itu di sepanjang jalan terlihat orang-orang yang datang dari pelbagai ternpat untuk bersujud. Menampak itu, Hoa Seng ingat pembilangannya si nona baju putih bahwa lain tahun di Nepal bakal dibikin upacara keagamaan yang besar, bahwa di saat pembukaan tentulah bakal datang banyak pendeta dari lain-lain negara. Ada lagi suatu pemandangan yang menarik perhatian Hoa Seng di negara Nepal ini. Ialah adanya menara suci, di atas menara itu, di empat penjuru, ada dilukiskan empat pasang mata. Mata itu, menurut penganut Sang Buddha di Nepal, ialah yang dinamakan „mata kecerdasan," diumpamakan kecerdasan dan kemurahan hati Sang Buddha. Tapi pun di dalam Kota Iblis, Hoa Seng pernah melihat menara semacam itu. Itulah yang pertama kali ia melihatnya, hingga ia merasa aneh. Sekarang melihatnya pula di Nepal, dan melihat banyak, ia menjadi biasa. Melainkan ia mendapat kenyataan, mata itu dilukis bagus dan hidup sekali, seperti ada tenaga menariknya. Sepuluh hari Hoa Seng melakukan perjalanan, tibalah ia di ibukota Nepal, ialah Khatmandu, kota yang duduknya di dalam lembah gunung, maka dia menjadi seperti dikitarkan gunung, jadilah dia sebuah kota wajar. Khatmandu diambil dari katakata „Khat" artinya „kaju" dan „mandu" artinya „biara," dari itu taklah heran, semasuknya ke dalam kota, Hoa Seng mendapatkan banyak biara kecil dan besar, yang semua terbuat dari kayu, sedang di biara-biara besar, panglari dan tiangnya berukirkan, mirip dengan bangunan dalam istana-istana di Tiongkok. Maka itu, dengan sendirinya Hoa Seng menjadi menyukai kota ini. 11. Tabib Sakti Papo Sesudah melalui beberapa jalan besar, Hoa Seng merasa perutnya lapar. Lantas ia memasuki sebuah rumah makan di mana ia memilih meja yang menghadapi jendela. Ia memesan beberapa rupa barang hidangan berikut arak Nepal. Dari jendela itu kebetulan ia menghadapi sebuah gunung yang di waktu matahari turun, memberikan pemandangan yang indah. Itulah gunung di sebelah barat ibukota, di atas gunung ada sebuah menara tujuh tingkat, yang sebagian, bahagian atasnya terbuat dari kuningan dengan wuwungannya terlapiskan emas, maka di sinar matahari lohor itu, cahayanya berkilau-kilau. Bangsa Nepal ada suatu bangsa yang terkenal ramah tamah terhadap orang asing, maka itu pelayan yang melayani Hoa Seng, mengetahui tetamunya datang dari Tiongkok, perlayanannya luar biasa manis. Ia menanyakan ini dan itu, umpama masakannya cocok atau tidak dengan lidah tetamunya, Katanya sembari tertawa, „Ada tetamu yang tidak doyan, tetapi pun ada yang ketagihan hingga bilangnya dia ingin tinggal berumah tangga di sini!" „Mungkin aku pun akan tinggal tetap di sini!" Hoa Seng bilang. Selagi mereka bicara, ke dalam rumah makan itu ada masuk seorang tua umur lima puluh tahun lebih, punggungnya ada menggendol satu kantung kain hijau, pakaiannya sangat sederhana. Menampak dia, pelayan serta tetamu-tetamu yang lagi bersantap pada bangun berdiri, untuk memberi hormat. Menyaksikan itu, Hoa Seng dapat menduga-duga kedudukan orang tua itu. Segera terdengar suaranya pemilik rumah makan itu kepada si orang tua: „Tuan dokter Papo, hari ini siapakah yang sakit yang kau hendak menengoknya?" Orang tua itu tertawa. „Hari ini aku menghadapi semacam penyakit yang aneh," ia menyahut, „yang membuatku sulit. Karena penyakit itu tidak dapat aku sembuhkan, tak enak aku menyebutkannya padamu." „Kau pandai sekali bergurau, tuan!" berkata banyak orang. „Bagimu mana ada penyakit yang kau tidak dapat sembuhkan!" „Kecuali orang itu telah ditakdir rohnya bakal dibetot raksha!" berkata seorang lain sembari tertawa. „Walaupun demikian, kau tentunya mempunyai kepandaian akan merampas jiwa orang dari tangan iblis itu!" Mendengar kata-kata itu, rupanya tabib ini dipandang seperti tabib sakti di Tiongkok. Sementara itu Papo memandang ke arah Hoa Seng, lantas ia terlihat merasa heran. Menampak orang mengawasi ia, Hoa Seng berbangkit untuk memberi hormat. „Sudah banyak tahun aku belum melihat lagi tetamu dari Tiongkok," kata tabib itu. „Aku merasa beruntung dengan pertemuan kita ini!" „Silahkan tuan minum bersama aku!" Hoa Seng mengundang. Tabib itu tertawa, ia menerima undangan dengan gembira. Maka Hoa Seng lantas minta pelayan menambahkan barang makanan. Tabib itu duduk di sebelah ini kenalan baru. „Tuan seorang tabib pandai, aku kagum sekali!" kata Hoa Seng kemudian. „Ah, kau cuma dengar ngaco belo mereka itu!" kata si tabib merendahkan diri. „Aku cuma mengenal beberapa macam obat. Bicara tentang ilmu tabib, kau bangsa Tionghoa yang paling pandai, aku sendiri cuma mengetahui bulu atau kulitnya saja. Bahkan aku menerima hadiah dari kamu bangsa Tionghoa." „Apakah tuan pernah datang ke Tiongkok?" tanya Hoa Sang heran. „Meskipun aku belum pernah pergi ke Tiongkok, aku mengerti bahasa Tionghoa," menyahut tabib Nepal itu. „Mulanya aku pelajari ilmu tabib, aku meyakinkannya dari kitab kamu PEN TSAO KANG MU, itu kitab ilmu obat-obatan karangan Li Shih Chen di jaman Kaisar Tiat Cong dari Ahala Song. Sekarang aku masih meyakinkan terlebih jauh bahagian pemeriksaan nadi. Aku lagi memikir untuk menyalin kitab itu ke dalam bahasaku. Aku pun telah mendengar kabar tentang tabibmu di ini jaman yang pandai sekali, namanya Hoe Ceng Coe. Katanya dia pernah tiba di selatan dan utara gunung Thian San serta Tibet juga. Menurut katanya seorang yang baru kembali dari Tibet, kakeknya pernah diobati Tabib Hoe itu serta dia masih menyimpan surat-obatnya. Mungkin tabib itu menulis buku tentang kepandaiannya itu, sayang ke negeriku ini, kitab itu masih belum sampai." Hoa Seng tidak mengerti ilmu ketabiban, tetapi ia menghargai tabib Nepal ini, maka ia menyesal tidak dapat berunding dalam ilmu itu. „Kalau begitu," katanya bersenyum. „meski kedua negeri kita dipisahkan tanah pegunungan, sebenarnya kita tidak asing satu dengan lain!" „Bukan saja tidak asing, aku bilang, malah boleh bersahabat," berkata Papo. „Dongeng kami ada banyak yang ada hubungannya sama dongeng kamu." Ia lantas menunjuk ke menara di luar itu, ia menambahkan: „Kabarnya ibukota kami ini pun dibuka oleh pendeta yang berilmu dari Tiongkok kamu." Hoa Seng jadi sangat ketarik hati. „Oh, ada cerita demikian rupa?" katanya. Lalu ia menanya: „Sebenarnya, raja kamu ada mempunyai beberapa puteri?" „Cuma satu," sahut Papo. „Kalau begitu putera raja di Kota Iblis itu bukannya putera mahkota," Hoa Seng kata dalam hatinya. Papo bersenyum dan berkata: „Mungkin kau telah mendengar kabar urusan perjodohan dari puteri kami! Kau tampan dan mengerti ilmu silat, kau boleh mencoba-coba peruntunganmu!" Hoa Seng heran. „Ah, mengapa dia ketahui aku mengerti silat?" pikirnya. Tapi ia berkata: „Hal itu aku tidak berani sekalipun untuk memikir saja. Ya, apakah banyak orang yang akan mengajukan lamaran?" „Ujian dimulai semenjak tahun yang lalu, hampir setiap hari ada orang yang datang mencoba-coba," menyahut tabib itu, „hanya kemudian, pelamar itu menjadi berkurang, makin lama jadi makin sedikit. Selama tiga bulan yang belakangan ini belum pernah terdengar ada seorang juga." Hoa Seng ingat suatu apa. „Kenapakah itu?" ia menanya. „Semua pelamar tidak dapat menjatuhkan dayangnya puteri, tentu sekali mereka tidak dapat melihat puterinya sendiri," menyahut Papo, „maka itu belakangan orang pada tahu diri dan mundur sendirinya." Hoa Seng tertawa. „Raja tak dapat menantu, apakah ia tidak jadi bergelisah?" „Ya, dia sangat bergelisah! Maka juga ……..” Mendadak tabib ini menghentikan omongannya. Gudang Ebook (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net Hoa Seng heran. Ia tadinya hendak menanya pula ketika segera ia mendapatkan suasana dalam rumah makan itu telah berubah, kapan ia mengangkat kepalanya, ia melihat munculnya seorang pahlawan yang membawa golok. Ketika tuan rumah menanya pahlawan itu, dia lantas menyahuti: „Aku tidak mau minum arak!” Dia terus bertindak ke mejanya Hoa Seng, untuk menjura kepada Papo, dengan sangat menghormat ia mengangsurkan sebuah kotak perak, kemudian tanpa mengucap sepatah juga, ia mengundurkan diri, berlalu dari rumah makan itu. Kembali Hoa Seng merasa heran. Ketika ia mengawasi si tabib, yang memegang kotak perak itu, ia mendapatkan tangan orang sedikit bergemetar, seperti juga dia lagi menghadapi ancaman bahaya. „Ada apa, tuan?" ia lantas menanya. „Adakah kau menghadapi sesuatu kesukaran?" „Terima kasih untuk perhatian Siangkong," berkata Papo. „Sekarang sudah tidak ada urusan apa-apa lagi, hari pun sudah tidak siang, aku sudah harusnya pulang." Hoa Seng heran. „Habis, kapan aku dapat bertemu pula sama Loo-tiang?" ia tanya. „Umpama kata kita masih berjodoh, lagi tiga hari biarlah aku menanti di sini untuk menerima pengajaran," katanya si tabib. Hoa Seng cerdas sekali, kata-kata orang itu membuatnya dapat menduga sesuatu. Pada ini mesti ada mengancam bahaya. Hanya, entah apakah itu. Jadi janji tiga hari itu masih sangat samar. Tapi di situ, di dalam rumah makan, ia tidak dapat omong banyak dan jelas. „Kalau begitu," katanya, „baiklah, tiga hari kemudian aku menanti di sini untuk menjamu Loo-tiang." Papo lantas berlalu. Hoa Seng lekas membayar uang minuman, lalu ia bertindak keluar, terus ia menguntit tabib itu. Waktu itu api telah dinyalakan. Hoa Seng menguntit terus. Papo nampaknya tidak ketahui ada orang menguntit padanya, ia jalan terus dengan tenang, melewati beberapa jalan besar dan kecil, sampai di sebuah gang kecil di kota barat. Gang itu sangat kecil dan sunyi. Di situ ada sebuah rumah berundakan dua. Itulah rumah Papo, sebab ia terus membuka pintu dan masuk ke dalamnya, lalu „Brak!", daun ditutup dengan digabruki! Hoa Seng menantikan sekian lama, ia melihat ke sekitarnya, setelah mendapat kenyataan di situ tidak ada lain orang, ia menghampirkan rumah itu, untuk terus berlompat naik ke atasnya. Dari wuwungan ia pergi ke belakang, lantas ia memasang kuping. Segera terdengar nyata elahan napas berulang-ulang dari Papo. Oleh karena keinginannya untuk mengetahui, Hoa Seng lantas mengintai. Papo telah membuka kotak yang diberikannya kepadanya oleh si Boesoe, isinya dia telah angkat dan meletakinya di atas meja. Itulah mutiara, batu permata dan beberapa potong uang emas. Menampak itu, Hoa Seng heran bukan main. „Tak sedikit hadiahnya si boesoe!" pikirnya. „Nah, habis kenapa dia menarik napas panjang-pendek ...........?” Papo masih menghela napas, kemudian dari dalam kotak ia menjumput keluar sehelai surat undangan, ia cekali itu dan mengawasinya dengan menjublak. Sampai di situ, Hoa Seng tidak mau menanti terlebih lama pula. Ia mencari jalan untuk lompat turun dan masuk ke dalam rumah. „Kau berduka kenapa, Loo-tiang? Bolehkah aku membantu meringankan kedukaan Loo-tiang?” katanya langsung. Papo terkejut hingga ia berjingkrak. Ketika ia mengangkat kepalanya, ia mengenali Hoa Seng. „Kau baik sekali, Lao-tee, aku bersyukur kepadamu," ia berkata. „Tentang urusanku ini lebih baik Lao-tee jangan mencampurinya." „Loo-tiang, begitu bertemu sama kau, aku merasa kita adalah sahabat-sahabat kekal," kata Hoa Seng membujuk, „maka itu kalau loo-tiang mendapat sesuatu kesukaran, tak dapat aku tidak membantunya." „Aku tahu kau liehay dalam ilmu silat, lao-tee," berkata si tabib, mengawasi. „Ah, jagan lao-tee heran! Aku tidak mengerti ilmu silat tetapi aku mengerti sedikit ilmu ketabiban. Tadi di rumah makan aku telah melihat sorot matamu, maka itu sengaja aku membentur lenganmu. Nyata nadimu bersih sekali, tenaga, dari itu aku dapat membade kau bukanlah sembarang orang." Hoa Seng kagum sekali. „Pantas dia sangat tersohor, kiranya, benar dia sangat pandai," pikirnya. „Benar lao-tee pandai ilmu silat tetapi urusan ini bukan urusan yang dapat dibereskan dengan mengandalkan ilmu silat," berkata pula Papo. „Pula aku tidak menghendaki lao-tee seorang lain bangsa nanti jadi bentrok sama pasukan Gie-limkoen dari negaraku ...." „Bagaimana eh, loo-tiang?" tanya Hoa Seng, heran. „Loo-tiang menjadi tabib, pekerjaan loo-tiang ialah menolong orang banyak yang menderita kesakitan, mengapa kau justeru mendapat urusan dengan Gie-lim-koen?" Papo menggeleng kepala. „Aku sendiri pun tidak mengerti," sahutnya. „Dan sekarang ini, aku bakal bercelaka atau bakal beruntung, aku pun tidak tahu pasti …….” „Loo-tiang tentu sudi anggap aku sebagai sahabat baikmu, maka aku minta sukalah loo-tiang memberi penjelasan padaku," Hoa Seng minta, mendesak. Papo mengawasi, ia berkata: „Surat undangan yang boesoe tadi sampaikan kepadaku ialah surat undangan dari pemimpin kepala dari pasukan Gie-lim-koen. Pemimpin pasukan pahlawan raja itu menginginkan aku sebentar jam tiga pergi ke rumah peristirahatannya. Dia melarang aku memberitahukan hal itu kepada lain orang." Hoa Sang lantas tertawa. „Kalau begitu mungkin di sana ada orang yang sakitnya aneh!" katanya. „Dia tentu mau minta loo-tiang menolong si sakit itu." „Tidak, tidak bisa jadi!" kata Papo menggeleng-geleng kepala. „Ah, aku ingat sekarang. Ketika tadi aku keluar dari istana, aku melihatnya pemimpin Gie-lim-koen itu celingukan memandang ke luar …………..” „Oh, kalau begitu tadi loo-tiang pergi ke istana memeriksa orang sakit?" tanyanya. „Sebenarnya urusan ini tidak dapat aku memberitahukannya kepada lain orang," berkata Papo, menyahuti, „akan tetapi laotee ada orang terpelajar dari negara lain, kau pun begini baik terhadap aku, baiklah, aku omong terus-terang padamu. Apa yang tadi aku ucapkan di rumah makan bukan kedustaan belaka, memang benar aku tengah menghadapi serupa penyakit aneh yang seumur hidupku paling sukar untuk diobatinya. Orang yang sakit itu ialah sri baginda raja. Turut pemeriksaanku kepada nadinya, dia seperti terkena semacam racun, racun yang luar biasa, yang sebelumnya tak pernah aku mengetahuinya. Penyakit itu membuatnya Sri baginda jadi lemah, tidak dapat ia menggunai pikirannya, yaitu otaknya. Jikalau racun itu tidak dapat disingkirkan, sesudah tiga bulan, dia bisa wafat dengan mendadak, lalu lainnya tabib tidak bakal mendapat tahu dia sakit apa …………” Mau atau tidak, Hoa Sang terperanjat. „Siapa begitu berani meracuni raja?" ia tanya. „Memang!" berkata Papo. „Istana terjaga kuat sekali, orang luar tidak nanti dapat masuk. Maka kalau dugaanku tidak keliru, si orang jahat, mesti orang yang berdekatan dengan sri baginda sendiri." Hoa Seng berpikir. „Mungkinkah dia si pemimpin Gie-lim-koen itu?" „Di waktu aku menerima barang-barang ini, aku pun mulanya mau menduga dia," berkata Papo, „hanya kemudian aku berpikir, walaupun dia biasa mendampingi Sri baginda, sebenarnya sulit untuk dia turun tangan." „Kenapa sulit?" kata Hoa Seng. „Asal ada ketikanya, racun bisa dimasuki ke dalam teh atau arak! Tidakkah itu sederhana?" „Tidak, tidak demikian. Inilah racun yang sifatnya lunak, setiap dipakai, jumlahnya sedikit, dari itu dipakainya mesti sedikitnya tujuh kali. Dan si kepala Gie-lim-koen, tanpa firman raja tidak dapat dia masuk ke dalam keraton. Kecuali kalau dia berkongkol sama pelayannya sri baginda. Tapi dia meracuni rajanya, apakah faedahnya untuknya? Takhta toh bakal diwariskan kepada anak raja." „Aku menumpang bertanya. apakah rajamu mendapat dukungan rakjat, apakah dia dicintai dan dijunjung?" „Sri baginda bijaksana, dia dicintai rakyat, dijunjung." „Jikalau begitu, soal pasti bukan soal racun belaka. Di Tiongkok pun pernah terjadi peristiwa raja diracuni. Sembilan dalam sepuluh, ini mesti soal perebutan kedudukan kaisar." „Tapi semua rakyat tahu tuan puteri cerdas dan bijaksana," berkata Papo, „dia pun puteri tunggal dan sangat disayang, tidak ada alasannya kenapa dia mesti meracuni ayahnya. Oh! ……” Matanya tabib ini bercahaya secara tiba-tiba, agaknya dia kaget. Hoa Seng heran. „Kenapa?" dia menanya. „Sudah, kita jangan main terka tak keruan," katanya, airmukanya berubah pucat. „Sekarang sudah larut malam, aku mesti lekas pergi memenuhi panggilan kepala Gie-lim-koen ……." „Dia menjanjikan kau jam tiga, ini aneh," kata Hoa seng. Wajah si tabib tetap tak tenang. „Lao-tee, kita baru bertemu tetapi kita seperti sahabat kekal," katanya, „maka itu dengan kepergianku ini, apabila aku tidak pulang dalam tempo tiga hari, pasti aku sudah mati. Aku minta perkaraku ini jangan diumumkan, kau juga jangan cari aku. Aku sebatang kara, tanpa isteri tanpa anak, kegemaranku cuma meyakinkan ilmu obat-obatan. Kitab obat-obatanku adalah yang aku paling sayangi, kalau tiga hari kemudian aku tidak pulang, kau ambillah kitab itu. — Ah, lebih baik aku memberikannya sekarang!" „Tidak!" Hoa Seng memotong. „Nanti aku menemani kau pergi!" „Eh, mana kau dapat turut serta?” Papo tanya. „Aku menyamar jadi kacungmu." Tabib itu bersangsi, ia berdiam hingga sekian lama. „Ya, baiklah," katanya kemudian. „Aku tidak takut mati, hanya aku kuatir, sematinya aku, di dalam negara ini tidak lagi ada tabib yang sanggup mengobati sri baginda raja." Ia lantas menyuruh Hoa Seng salin pakaian, muka orang dicompreng sedikit, lain kepalanya dibungkus dengan sabuk, setelah dia menggendol kantung obat di punggungnya, Hoa Seng benar-benar mirip kacungnya seorang tabib. Papo ada mempunyai kereta dan kuda sendiri, yang ia sediakan untuk ia pergi ke kampung-kampung yang jauh, supaya ia tidak usah berjalan kaki, sekarang ia pergi dengan menggunai kendaraannya itu. Villa dari congkoan, atau kepala, dari Gie-lim-koen, berada di sebuah gunung, ke sana Papo berangkat dengan dikawani Hoa Sung. „Tadi kau masuk ke istana, apakah ada yang mengetahui?" tanya Hoa Seng di tengah jalan. „Sebenarnya aku dipanggil oleh seorang pengawal pintu istana,” menjawab Papo. „Dialah seorang pendeta. Aku diajak masuk dari pintu belakang dari taman. Dia memesan aku agar aku jangan mengasi tahu siapa juga." „Sebenarnya kenapa kamu demikian takut pada kepala Gielim- koen itu?" Tabib itu tertawa menyeringai. „Sri baginda bijaksana, dia sebaliknya. Dan balai istirahatnya ini justeru ada tempat ia menyiksa dan mengompes orang, itulah mirip dengan penjara pribadinya." Kira setengah jam, sampailah sudah mereka di kaki gunung yang dituju. Di sana sudah menanti dua orangnya si kepala Gie-lim-koen. Begitu dia melihat orang tiba, yang satunya menuding Hoa Seng. „Ini orang apa?" dia menanya bengis. „Dia kacungku, yang menjadi juga pembantuku," sahut Papo, tenang. „Tunggu!" menitah orang itu, seorang boesoe. Dia lantas menitahkan kawannya untuk minta keputusan dari congkoan. Kawan itu pergi akan tak lama muncul pula: „Karena orang itu pembantunya, ajaklah dia masuk bersama." Kedua boesoe mengajak tabib dan kacungnya mendaki tanyakan. Sebentar saja mereka sudah sampai di muka balai istirahat, yang macamnya mirip benteng kuno, temboknya tersusun dari batu-batu merah dan tebal. Pintunya, yang terbuat dari besi, dicat merah juga. Hoa Seng mengikuti masuk dengan mulut bungkam sama sekali mereka melintasi tujuh unit pintu besi, pintu hek. Setiap masuk di satu pintu, pintu itu segera ditutup pula. Seram nampaknya keadaan di situ, malah samar-samar terhendus bau amis. Setelah itu tibalah mereka di sebuah ruang besar. Di sini berbaris sejumlah boesoe di kiri dan kanan. Di tengah ruang diatur sebuah meja bundar, di situ berduduk seorang yang mukanya berewokan, yang bajunya sulaman. Di belakang dia berdiri dua boesoe lainnya lagi. Diam-diam Papo melirik kepada Hoa Seng, maka pemuda ini lantas ketahui orang itu ialah si congkoan, kepala Gie-limkoen. Ia berlagak pilon tetapi ia memperhatikan. Di samping, meja bundar itu ada berduduk seorang lain, seorang pendeta dengan jubah merah. Papo tidak kenal pendeta itu, siapa telah Hoa Seng mengenalinya. Dialah pendeta jubah merah dengan siapa ia pernah bertempur di dalam Kota Iblis. Karena ia menyamar, si pendeta sebaliknya tidak mengenali ia. Melihat datangnya si tabib, congkoan itu lantas berbangkit. „Tabib pandai telah datang!" katanya. „Selamat datang, selamat datang!" Tapi tak menanti si tabib menyahuti, ia lantas menanya: „Apakah kacungmu ini ketahui tadi siang kau masuk ke istana mengobati raja?" „Dialah satu-satunya pembantuku," sahut si tabib. „Yang lain orang tidak tahu, dia mengetahuinya." Wajah si congkoan suram, tapi lantas dia tertawa dan berkata: „Kalau begitu, suruhlah dia menantikan di bawah tangga itu!" Seram suara tertawa itu. 12. Misteri Penyakit Raja Nepal Dua boesoe lantas merintangi, melarang Hoa Seng mengikut si tabib. Congkoan Gie-lim-koen itu mempersilahkan Papo duduk, lalu dia menanya dengan suaranya yang sangat dingin: „Tadi aku menitahkan orangku membawa bingkisan untukmu, kau sudah terima atau belum?" „Sudah, congkoan," menyahut Papo. „Hambamu justeru hendak mohon menanya kenapa hamba dihadiahkan bingkisan sangat berharga itu? Hamba tidak berjasa, tidak berani hamba menerima bingkisan. Maka juga itu bingkisan hamba bawa bersama." Ia lantas mengeluarkan kotaknya itu dan meletakinya di atas meja. Menampak itu, si kepala Gie-lim-koen memperlihatkan roman tidak senang. „Apakah kau tidak sudi menerima barang dari aku?" dia menanya. „Seperti hamba sudah bilang, tanpa jasa hamba tidak berani menerima hadiah," Papo menjawab. Matanya congkoan itu melirik tajam, lalu dibuka lebar. „Asal kau suka turut perkataanku, kau berjasa sangat besar!" katanya. „Silahkanlah perintahkan," menyahut si tabib. Congkoan itu menatap dengan tajam. „Kau tadi masuk ke istana memeriksa penyakitnya raja, kau tahukah sakit apa itu?" dia menanya, suaranya keren. „Itu …….. itu ………..” „Semua orang di sini orang-orang kepercayaanku, kau boleh bicara, tidak ada halangannya!" berkata congkoan. „Aku ……. aku belum ……..” „Kau maksudkan kau belum mendapat tahu itu penyakit apa?" si congkoan tanya sambil tertawa dingin. „Hm! Kalau begitu, kecewa kau menjadi tabib sakti!" Papo menjadi tidak senang. Bangsanya telah menamakan dia tabib sakti karena kepandaiannya yang liehay dalam ilmu pengobatan, tapi sekarang dia dicela. „Aku belum dapat memikir obat untuk mengobati penyakit itu," ia bilang. „Dengan begitu kau jadi sudah ketahui sebabnya penyakit!" kata si Congkoan, suaranya tetap keras. „Penyakit apakah itu?" „Itu bukannjä penyakit ……….” „Habis bagaimana?" congkoan membentak. „Nampaknya raja terkena racun." Sekarang congkoan itu bersenyum. „Kau suka omong terus terang, itu bagus," katanya. „Nah, sekarang aku hendak memohon sesuatu dari kau." „Apakah itu dapat hamba melakukannya?" Papo tanya. „Sangat sedenhana!" coagkoan itu tertawa, „Besok kau pergi ke istana, untuk memberikan obat, kau obati raja dengan obat sakit kepala yang biasa saja. Kalau di istana ada yang minta kau memberikan obat cuci perut, kau mesti memberi kepastian bahwa raja dapat sakit kepala bukan sakit lainnya." Hoa Seng mendapat dengar semua pembicaraan itu, maka sekarang tahulah ia duduknya perkara. Ia lantas menduga-duga, „Kalau bukan coangkoan ini sendiri yang meracuni raja, tentulah konconya. Papo tabib kenamaan satu-satunya di negara ini, kalau dia memastikan raja mati karena sakit kepala, pasti tidak ada orang yang berani mencurigai kematian itu." Papo mengangkat kepalanya, dia memandang si congkoan. „Paduka," katanya, „tadi paduka mengajari aku untuk omong dengan jujur, kalau begini, aku jadi bakal mendustai seluruh negara ………..” Congkoan itu melengak. „Jadi kau tidak suka menurut?" ia menegaskan. „Hm! Kau pikirlah biar betul! Jikalau kau menerima baik, uang emas dan perak dan barang permata, kau tinggal minta saja. Jikalau sebaliknya, hm!" „Aku lebih suka melindungi namaku sebagai tabib sakti dari negeri ini," berkata Papo, terang dan tenang. „Nama itu ada terlebih menang dari pada aku membawa semua harta dan permata ini ke liang kubur." Di dalam hatinya, Hoa Seng memuji tinggi tabib ini. Wajah si congkoan merah padam, agaknya dia hendak memperluap kemurkaannya, hendak dia melampiaskan itu, tetapi si pendeta jubah merah keburu mengasi dengar tertawanya yang dingin. „Sakitnya raja toh kau tidak mampu sembuhkan, apa itu namanya tabib sakti!" berkata dia, mengejek. „Sekarang kami hendak menyuruh kau menyebutnya penyakit itu penyakit kepala biasa, apakah itu dapat merusak nama baikmu?" Kata-kata itu sangat menyinggung Papo, tetapi belum lagi ia mengambil sesuatu sikap, sudah terdengar suara tertawa berkakak dan nyaring dari Koei Hoa Seng. „Kau kenapa?" menanya dua pahlawan yang menjaganya. Mereka kaget dan heran. Hoa Seng tidak menjawab dengan mulutnya, hanya dengan tangannya. Begitu tangan kirinya melayang, satu pahlawan roboh terjungkal ke tangga hingga tubuhnya bergulingan. Pahlawan yang ke dua menghunus goloknya dan membacok ke kaki. Hoa Seng mengangkat sebelah kakinya hingga ia berdiri dengan sikap „Kim kee tok lip," atau „Ajam emas berdiri dengan sebelah kaki." Dengan begitu ia bebas dari bacokan itu. Ia tidak berhenti sampai di situ, selagi tubuh si penyerang terjerunuk, ia meneruskan kakinya, menendang lengan orang, maka goloknya si pahlawan kena dibikin terbang. Melihat demikian, pahlawan-pahlawan lainnya, yang berdiri di kedua samping, sudah lantas menghunus senjata mereka. Hoa Seng tidak menjadi takut, bahkan dia tertawa bergelak. Dengan lincah luar biasa, tubuhnya mencelat ke atas meja. „Aku hendak bicara!" katanya nyaring. Pemimpin pasukan pengiring raja itu, ialah congkoan dari Gielim- koen, ada seorang kosen di negaranya, kedua tangannya kuat mengangkat barang berat seribu kati, akan tetapi melihat gerakannya Hoa Seng, ia terkejut, tapi meski begitu, ia tidak takut, maka juga ia lantas lompat maju, untuk membekuk. Kedua tangannya diulur guna mencekal pundaknya si anak muda she Koei. „Kau duduk!" dia berkata, seraya menekan. Gerakannya congkoan ini ada dua maksudnya, ialah di satu pihak untuk merusak tulang pundaknya si anak muda, di lain pihak guna menakut-nakuti Papo. Hanya ketika kedua tangannya mengenai pundak, kembali ia menjadi kaget. Ia bukannya dapat mencekal pundak yang bertulang keras hanya pundak yang lemas empuk seperti kapuk, dan selagi ia kaget itu, mendadak ia merasakan tenaga membal yang keras, yang mengenai tangannya itu, hingga kedua tangannya nyernyaran dan seperti mati. Hoa Seng mengangkat kedua pundaknya. „Paduka yang mulia tidak duduk, hamba yang rendah mana berani duduk sendiri," ia berkata sambil tertawa. Si pendeta jubah merah menjadi kaget. Ia masih belum mengenali anak muda itu. Ia berbangkit tanpa merasa, di dalam hatinya ia kata: „Heran ini kacung tabib, kenapa dia begini liehay?" „Kau hendak bicara apa?" membentak si congkoan, yang dari kaget menjadi gusar sekali. „Aku memohon paduka yang mulia mengajak aku masuk ke istana," sahut Hoa Seng sabar. „Untuk apakah itu?" Congkoan itu masih gusar tetapi ia heran, maka ia mengajukan pertanyaannya itu. Hoa Seng tetap berlaku tenang, hanya sekarang ia tertawa dingin. „Kamu bilang guruku ini tidak sanggup mengobati Sri Baginda Raja," jawabnya. „Hm! Kamu keliru! Siapakah yang tidak tahu guruku ini tabib sakti nomor satu di dalam negara ini? Jangan kata guruku ini, untuk sakitnya Sri Baginda Raja itu, aku sendiri, mampu aku mengobatinya! Aku berani tanggung Sri Baginda Raja lantas sembuh!" „Ah, apakah kau memang sengaja hendak menyaterukan kami?" menanya si paderi jubah merah. Ia heran dan mendongkol tetapi ia mencoba menyabarkan diri. „Bukankah kamu memikir untuk mengobati hingga sembuh kepada raja?" Hoa Seng membaliki. „Kamu boleh pujikan aku kepada Sri Baginda, aku tanggung aku akan dapat menyembuhkannya! Bukankah dengan begitu kamu jadi turut berjasa?" Pendeta jubah merah itu tertawa. „Baik, baiklah!" katanya. „Mari aku ajak kau masuk!" Dengan mendadak, berbareng sama perkataannya itu, tubuh si pendeta melesat serta tangannya melayang kepada si anak muda, yang dia hendak hajar hancur lebur batok kepalanya. Berbareng dengan itu si congkoan juga lompat menyerang dengan pedang pendeknya, dan ia membokong punggung, karena dia berada lebih dekat, dia tiba terlebih dulu. Hoa Seng tabah sekali, dia tidak takut, bahkan dia tertawa panjang. Dengan sebat tangan kirinya diputar ke belakang, untuk memapaki, menangkap lengan si congkoan. Tepat tangkapannya ini, sebab congkoan itu segera merasakan tubuhnya tidak dapat digeraki lagi. Berbareng dengan itu tibalah tangan si pendeta merah. Atas itu Hoa Seng mengangkat tangan kanannya, untuk mengusap mukanya, lalu sambil mundur sedikit, ia berkata: „Pendeta siluman, apakah kau masih mengenali aku?" Tangannya itu juga bukan cuma mengusap muka hanya diteruskan ke tangannya lawan, menyambuti dengan jeriji „Tiat-piepee cie" atau „Jeriji besi." Pendeta jubah merah itu kaget sekali. Di lengannya lantas berpeta tapak lima jari tangan si anak muda, warnanya merah. Ia pun segera mengenali orang adalah si pemuda Tionghoa yang di Kota Iblis telah mengalahkan padanya. Ia mundur tiga tindak. „Kau …… kau …… kau!" serunya. „Kau berani datang ke kota raja kami untuk mengacau?" Hoa Seng tidak mau mengadu bicara. „Marilah kita bicara di depan Sri Baginda!" katanya, separuh menantang. Pendeta itu membuka jubahnya akan tetapi ia bersangsi untuk turun tangan pula. Hoa Seng bersikap tenang, ia tertawa. „Di sini ada paduka congkoan yang menemani kita!" ia berkata. „Mari, soehoe, mari kita pergi bersama!" Sembari berkata begitu, Hoa Seng menarik tangan si pemimpin pasukan pengiring raja itu, karena cekalannya terus tidak dilepaskan. Sudah dikatakan, congkoan Gie-lim-koen itu bertenaga sangat besar dan semua anggota barisannya mengetahuinya dengan baik akan tetapi sekarang dia dapat dituntun jinak bagaikan seekor kambing, itulah suatu tanda telah lenyap tenaganya. Maka kejadian itu membikin semua orang heran. Hoa Seng bertindak sambil tertawa, atau mendadak dari sebelah belakangnya terdengar suara menyambarnya senjata rahasia! Ia terkejut. Itulah bokongan yang ia tidak sangka sama sekali. Tapi ia tabah, ia memutar tubuhnya sambil menolak si congkoan gie-lim-koen, dengan sebat ia menangkis dengan sentilan „Tiat piepee cie." Sebagai kesudahan dari itu, ia menjadi terlebih kaget lagi. Ia merasai sepuluh jeriji tangannya sesemutan. „Aku tidak menyangka di ibukota Nepal ini, pada ini malam pertama, aku menemui lawan yang tangguh …..," pikirnya. Sementara itu si congkoan Gie-lim-koen roboh sambil menjerit, sebab kecuali ia kena tertolak keras, juga jalan darahnya thian-kie-hiat telah ditotok sekalian oleh si anak muda, guna membikin dia tidak berdaja. Maka itu dia lantas repot ditolongi oleh anggota-anggota barisannya. Di antara serdadu pengiringnya itu ada yang memburu kepada Papo si tabib, rupanya mereka bermaksud menawan tabib itu, melihat mana Hoa Seng lekas-lekas menyerang dengan Pekkhong- ciang, pukulan Tangan Kosong, maka beberapa yang maju di muka lantas roboh terguling, karena mereka merasakan dorongan yang keras sekali. Menyusuli itu, Hoa Seng pun menyerang beberapa serdadu lainnya, hingga roboh tujuh atau delapan orang di antaranya. Sampai itu waktu, Hoa Seng masih melihat penyerang gelapnya, ia menghadapi sekalian serdadu Gie-lim-koen itu, sambil tertawa dingin, ia berkata: „Guruku ini lebih gagah sepuluh kali dari padaku, kamu hendak menawan ianya, apakah itu bukan berarti kamu mencari mampusmu sendiri?" Sengaja anak muda ini mengucap demikian, guna mengangkat Papo, sebab kawanan serdadu itu tidak tahu bahwa mereka dirobohkan Hoa Seng. Gertakan ini memberi hasil, lantas tidak ada serdadu lagi yang berani merangsak kepada Papo. Selagi suasana tegang demikian, di situ terdengar satu suara yang keren sekali: „Semua mundur!" Hoa Seng lantas saja melihat seorang yang rambutnya panjang terurai ke pundak, hidungnya mancung dan matanya dalam, tubuhnya pun besar. Dengan mementang mulutnya yang lebar, orang itu lantas menegur anak muda kita.: „Adakah kau datang dari Tiongkok? Ilmu silatmu tak ada celaannya!" Ia berkata sambil tertawa, tangannya lantas diulur, untuk berjabatan. Koei Hoa Seng mengawasi, ia menyambuti, ketika tangan mereka berjabat, ia merasakan satu tenaga yang kuat sekali mendesak padanya. Ia mengerahkan tenaganya untuk melawan. Habis itu, tiba-tiba saja tenaga lawan lenyap, hingga hampir ia terhuyung, syukur ia dapat memperkokoh kuda-kudanya, bahkan ia lantas memindahkan tenaganya ke tangannya, guna membalas menotok nadi orang. Walau dia notok, orang itu membawa dirinya seperti tidak ada terjadi apa-apa, malah dia tertawa lebar, sembari menarik pulang tangannya, dia berkata: „Benar hebat, ada harganya untuk kau main-main dengan aku!" Hoa Seng heran. Ia tidak menyangka orang mengerti ilmu menutup jalan darah hingga dia tidak dapat kena ditotok. Teranglah orang ini tidak kalah dengan orang-orang kosen kelas satu di Tiongkok. Si pendeta jubah merah nampaknya puas menyaksikan Hoa Seng keheranan-heranan. Ia lantas menuding anak muda kita seraya berkata: „He, bocah dari Tiongkok, malam ini telah datang saat bagimu! Tahukah kau siapa adanya hoat-soe ini? Dialah Bapak Daud jago nomor satu dari Arabia! Sekarang baik-baik saja kau mohon pengajaran dari padanya ……!” Hoa Seng lantas ingat Bapak Daud ini atau Timotato, jago dari Arabia. Ia telah mendengarnya dari si nona baju putih. Maka ia lantas berpikir: „Telah aku mendengarnya negara-negara Arabia mirip sama Tiongkok ialah suatu wilayah tua dan berkebudajaan, maka kalau dia ini adalah jagonya, dia tidaklah mengecewakan. Baik aku berlaku waspada terhadapnya ………….." Timotato sudah lantas menantang, Ia menepuk kedua tangannya. „Apakah kau ada membawa pedang? Kau keluarkanlah!" katanya. Pedangnya Hoa Seng ada pedang Theng-kauw-kiam yang lemas, yang dapat dilibat di pinggangnya sebagai sabuk, maka heranlah ia yang jago dari Arabia itu dapat melihatnya. „Tunggu dulu!" ia berkata. „Boleh kita main-main akan tetapi lebih dulu kita mesti omong biar jelas. Kalau menang bagaimana, kalah bagaimana?" „Ah, bocah cilik yang tak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi!" berseru si pendeta jubah Merah dengan mendongkol. „Apakah kau kira hoat-soe Timotato bakal kena dikalahkan olehmu? Hm!” Bapak Daud sebaliknya tertawa. „Bagus!" serunya. „Kau anak muda, kau benar-benar bernyali besar! Selama tigapuluh tahun baru kali ini aku mendengar seorang yang menanya begini kepadaku! Baiklah, kau dengar biar jelas!" Segera tangannya jago ini menuding kepada sebatang lilin di pojok ruang itu. Gedung dari congkoan Gie-lim-koen ini besar dan indah sekali, di empat penjurunya ada tiang-tiang beling bundar yang di dalamnya kosong dan di dalam situ ada dinyalakan masingmasing sebatang lilin yang besar. Lilin itu berbayang merah dan bergoyang-goyang, maka sinarnya yang mencar ke luar beling, luar dari biasanya. Sambil menunjuk lilin itu, Timotato berkata pula: „Kau sudah berlaku tidak pantas terhadap paduka pemimpin pasukan pengiring Sri Baginda Raja, maka aku yang berdiam di sini selaku tetamunya, tidak dapat aku membiarkannya saja! Akan tetapi karena kau berani main-main dengan aku, hendak aku memberikan satu ketika padamu …….." Ia berhenti sebentar, lalu ia melanjuti: „Kau lihat lilin itu, itulah batas waktu mainmain kita. Jikalau sebelum lilin itu padam aku dapat mengalahkan kau, sudah tidak ada bicara lagi, maka aku mesti serahkan kau kepada paduka tuan komandan ini, terserah kepadanya bagaimana dia hendak mengurusmu. Sebaliknya, apabila lilin telah padam dan aku masih belum dapat merobohkan kau, nah, urusan di sini aku akan tidak tahu menahu lagi!" Lilin itu sudah terbakar habis lebih dari pada separohnya, nampaknya tak usah lagi setengah jam akan padamlah apinya. Melihat itu, Hoa Seng mendongkol juga. Ia telah dipandang hina sekali. „Baiklah!" ia memberikan jawabannya tanpa berpikir pula. „Baik, begini perjanjian kita! Kau majulah!" Hoa Seng menyangka Timotato memandang enteng kepadanya, sangkaannya ini salah. Sebaliknya, jago dari Arabia itu memandang lawannya tinggi walaupun sikapnya agak jumawa, tadi ia telah melihatnya kepandaian si anak muda, yang tak dapat dipandang tidak mata. Ini pun sebabnya ia telah memberi waktu sebatas puntung lilin itu. Orang Arabia itu tertawa. „Baiklah!" katanya. „Aku minta sukalah kau berdiri biar tetap!" Sembari berkata itu, nampaknya acuh tak acuh, dia maju sambil meninju. Hoa Seng sudah mengeluarkan pedangnya akan tetapi ia sengaja tidak mau menggunakan itu, sembari memasang kudakudanya dengan tegar, ia menggeraki tangan kirinya untuk menyambut serangan dengan tenaga dari Taylek Kim-kongcioe. Karena tidak puas dengan sikap lawan itu, ia pun jadi memandang rada enteng. Tapi kesudahan dari ini hebat untuknya, hampir saja di jurus pertama itu ia kena dirobohkan. Belum lagi anak muda ini mengerahkan benar tenaganya, atau mendadak ada dorongan yang sangat keras terhadapnya, dorongan bagaikan „gunung ambruk dan laut terbalik". Ia terkejut, lantas ia berseru. Ia segera menggunakan sembilan bagian dari tenaganya untuk membuat perlawanan. Begitu tenaga mereka bentrok, begitu Hoa Seng menjerit di dalam hatinya. Ia merasakan dadanya seperti dihajar gembolan, kuda-kudanya telah tergempur, hampir ia roboh, baiknya ia sebat menukar siasat, ialah dengan membongkar kuda-kudanya itu, ia berbalik menggunakan kepandaiannya ringan tubuh, ialah ia lompat mencelat tinggi dua tombak, sebelah tangannya menyambar penglari, sedang dengan tangannya, ia menyampok kebawah. Bapak Daud puas sekali dengan kesudahannya jurus yang pertama itu hingga ia tertawa terbahak-bahak. Ia bertindak maju, terus ia melengak, dengan itu ia mengasi lewat serangannya si anak muda. Habis itu lantas ia yang membalas menyerang. Kembali kesudahannya serangannya ini hebat sekali, hingga orang kaget. Penglari yang dipegangi Hoa Seng, telah kena terhajar hingga patah, hingga serdadu-serdadu Gie-lim-koen yang berkumpul di situ pada berteriakan. Hoa Seng tidak menjadi kaget, ia melepaskan cekalannya, untuk lompat turun. Ia melompat bukan untuk menyingkir, hanya untuk meneruskan. Ia lompat kepada lawan, yang ia terus serang dengan pedangnya, secara bertubi-tubi, hingga Bapak Daud seperti terkurung sinar pedangnya itu. Baru sekarang Bapak Daud terkejut. Barusan ia terlalu memandang enteng lawannya. Ia menduga, kalau penglari patah, lawan itu akan roboh dan kalah, siapa tahu, Hoa Seng justeru menyerang ia hebat sekali. Sia-sia belaka ia membela, dirinya, ia lantas kena didesak. Hoa Seng menyerang terus, akan di akhirnya mengirim babatan menurut tipu silat „Houw Tek memanah matahari." Percuma Timotato memperlihatkan kegesitannya, sia-sia belaka ia berkelit, seutas rambutnya yang terurai itu telah kena dibabat kutung pedangnya lawan. Hal ini membuatnya gusar sekali. Ia lantas menyerang, tangan kanan membuka, tangan kiri meninju. Ketika itu Hoa Seng lagi melanjuti serangannya, yang berantai tiga kali. Inilah Tatmo Kiam-hoat, ilmu pedang Bodhidarma yang ia gabung dengan ilmu pedangnya si nona baju putih, ilmu pedang yang diberi nama Peng-coan Kiam-hoat atau ilmu pedang „Kali Es." Ilmu silat ini baru saja ia ciptakan. Maka kagetlah ia ketika mendadak ia merasakan pula dorongan yang keras sekali, yang membikin tubuhnya terputar seperti juga ia lagi terbawa pusar air …….. Selama di gunung Himalaya, Hoa Seng pernah menempur dua muridnya Timotato, maka tahulah ia kegagahannya jago dari Arabia itu, yang hebat ilmu silatnya „Tenaga Im Yang," tenaga imbangan dari negatip dan positip. Maka itu, ia lantas menggunai tenaga serupa, untuk mengimbanginya. Ia mengubahnya itu dari Tatmo Kiam-hoat. Dengan siasat ini, ia dapat menggunai kekerasan atau kelunakan dengan melihat selatan. Dengan begini juga ia tidak usah berkuatir walaupun ia kena diputar ………. Serangannya Timotato terus bertambah hebat, sedetik demi sedetik. Hal ini kemudian membikin Hoa Seng berkuatir juga. Ia sekarang dapat mengetahui, dalam hal tenaga-dalam, lawannya ada terlebih mahir dari padanya. Ia tidak takut bahwa ia bakal kena dirobohkan, akan tetapi ia kuatir, sang tempo setengah jam nanti keburu habis. Kalau lilin padam, meski ia belum kalah, ia toh kalah bertaruh. Pula masih ada kemungkinan yang ia bakal dibikin jadi sangat letih ………. Di pihaknya Bapak Daud, dia juga tidak kurang kekuatirannya. Sang tempo berjalan terus. Bagaimana jikalau ia tidak dapat merobohkan pemuda yang liehay ini sedang api lilin telah padam? Maka di samping terus menyerang dengan hebat, ia memasang mata tajam. Senang hatinya apabila ia menampak orang mulai letih. Tanpa mensia-siakan tempo lagi, ia menyerang dengan tenaga yangnya, tenaga yang dahsjat seperti „gelombang atau badai." Ia pun menggunai dua-dua tangannya berbareng. Ia mengharap sangat dengan hanya sekali hajar, lawan yang ulet itu bisa dibikin roboh! — kalau tidak mampus, sedikitnya terluka ……….. Hoa Seng pun justeru lagi menggunai siasat. Ia bermata tidak kurang tajamnya. Ia mendapat lihat musuh menggunai kekerasan. Inilah apa yang ia harap-harap. Ia mau menggunai tenaga negatipnya, tenaga im yang lunak. Maka mendadak ia bersiul panjang, tubuhnya mencelat, akan terus berlari-lari berputaran, menghindarkan diri dari serangan, sedang sinar pedangnya berkilauan. Itulah cara lari di delapan penjuru, menuruti kedudukan patkwa. Semua orang lainnya, yang menyaksikan pertandingan itu, menjadi berdiri bengong. Timotato menyerang hebat, tubuhnya berputaran juga, karena ia mesti mengikuti gerakannya lawan. Ia mesti menyerang dengan berbareng membela diri. Sampai di situ, suasana menjadi berubah. Kalau tadi Hoa Seng si pihak diserang, maka sekarang ia berbalik menjadi si penyerang, dan Timotato dengan sendirinya menjadi pihak yang membela diri. Dengan begitu, dengan sendirinya pula redalah penyerangan tenaga im-yang dari jago dari Arabia ini. Ia boleh terlebih mahir tenaga-dalamnya akan tetapi ia kalah dalam hal keringanan tubuh. Di sebelah itu, Hoa Seng pun mempunyai pedang yang tajam istimewa, sebab itulah pedang mustika kumala, pedang Han-giok-kiam. 13. Akhir Pertempuran Naga dan Harimau Hoa Seng menjadi terlebih unggul karena cara berkelahinya ini, tetapi ini bukan berarti ia menang. Sebenarnya, ia pun terancam bahaya. Sebabnya ialah ia telah menggunai tenaga yang melewati batas. Tanpa berkeras begini, tidak bisa ia menggunai ilmu ringan tubuhnya itu yang membuatnya menjadi gesit luar biasa. Maka menurut kenyataannya, mereka berimbang. Hoa Seng dapat kehabisan keuletannya, dan Timotato di sembarang saat dapat tertikam atau tergores pedang, sebagaimana tadi, karena sedikit alpa, rambutnya telah terpapas ujungnya. Hoa Seng mengubah siasat guna dapat menang tempo. Itu bukannya arti sang tempo diperpendek, hanya diperpanjang, agar api lilin lekas-lekas padam. Tentu saja adalah pengharapannya juga agar lawan yang tangguh itu bisa dipukul roboh, sebab inilah pasti menjadi terlebih bagus pula. Tetapi pengharapan ini adalah pengharapan kecil. Bapak Daud itu benar-benar satu ahli silat jempolan. Sampai sebegitu jauh, dia masih dapat mempertahankan dirinya dengan baik sekali. Lewat lagi sekian waktu, Hoa Seng mulai bernapas sengalsengal, sedang peluhnya mulai terlihat di jidatnya, mulai berketes-ketes. Di depan dia sebaliknya, Timotato menyeringai puas, kedua tangannya mulai mendesak pula. Segera juga terlihat, keadaan Hoa Seng letih seperti tadi. Ia seperti sudah maju dan tak dapat mundur. Memang ia merasa tak dapat bertahan, kupingnya telah berbunyi saja, matanya mulai berkunang. Masih ia bertahan. „Inilah bagianmul" berseru Timotato, yang sebelah tangannya meluncur. Hoa Seng membela dirinya dengan bertindak mundur, tetapi ia tidak dapat menguasai diri, ia mundur beberapa tindak, tubuhnya limbung. Timotato sebaliknya marangsak, serangannya pun menyusul. Hoa Seng menangkis dengan pedangnya, atas mana, lawan menarik pulang tangannya, masih ia terdesak, lagi sekali ia mundur, hanya kali ini habislah tenaganya, kedua kakinya menjadi lemas, dengan tidak dapat terkendali lagi, tubuhnya terhuyung. Sia-sia ia mencoba menguati hati. Di saat itu, sambil merangsak terus, Timotato sudah mengirim serangannya yang ketiga kali. Habis sudah tenaga Hoa Seng, untuk mengangkat tangan saja ia tidak dapat, maka itu batok kepalanya terancam tangan yang kuat dari si jago dari Arabia itu. Di detik yang menghabiskan itu, sekonyong-konyong Timotato berseru panjang, serangannya ditarik pulang, sembari berbuat begitu, ia berkata: „Benar-benar hebat ilmu silat Tionghoa! Aku percaya, lewat lagi sepuluh tahun, pastilah aku tidak dapat bertahan! Baiklah, sang tempo telah habis, aku memberi ketika padamu untuk berlalu ………!” Hoa Seng mendapat tempo untuk bernapas, ia memandang ke tiang yang ada apinya, di sana ia mendapatkan api lilin telah padam ……………. „Taysoe, terima kasih untuk pengajaran kau ini!" ia berkata. Ia memberi hormat sambil tertawa. „Baiklah, di belakang hari nanti kita bertemu pula ……..!” Bapak Daud tidak membilang suatu apa, karena ia sebenarnya merasa sangat tidak puas. Ia menang berkelahi tetapi kalah bertaruh. Maka hendak ia lantas mengundurkan diri. Justeru itu terdengar rintihan si congkoan, sedang si pendeta jubah merah lantas bertindak maju, ia berjalan dengan perlahan tetapi terus ia membentak Hoa Seng. „Eh, binatang, kau menggunai ilmu siluman apa terhadap paduka pemimpin pasukan pengiring Sri Baginda Raja?" ia menegur bengis. Congkoan Gie-lim-koen itu kena ditotok jalan darahnya thiankie- hiat. Itulah hebat. Itu jalan darahnya pusat, atau otot besar dari delapanbelas jalan darah di punggung. Sedang ilmu totok Hoa Seng istimewa. Mulanya totokan itu cuma menyebabkan orang merasa gatal, akan tetapi dengan berjalannya sang tempo, rasa gatal lalu ditambah dengan rasa sakit seperti ditusuk-tusuk jarum. Maka kendati dia bertubuh kuat dan angkuh, tak tahanlah dia dan dengan terpaksa dia mengasih dengar rintihannya itu. Melihat keadaannya congkoan itu, Hoa Seng tertawa terhadapnya. „Paduka tuan pemimpin yang mulia," katanya, „kau menganggapnya guruku tidak dapat mengobati racun, tetapi sebenarnya kami berdua, guru dan murid, di sampingnya bisa mengasi racun juga pandai memunahkannya. Kau tahu kenapa kau sekarang begini menderita? Itulah cuma disebabkan sedikit sekali racun di tubuhmu. Coba aku menggunai racunku dalam jumlah banyak maka sekarang ini tentulah tubuhmu sudah mengeluarkan darah. Karena racunku ini sedikit, paduka tuan yang mulia, kau akan dapat hidup selama tujuh hari." Congkoan itu kaget bukan main. Ia tidak tahu bahwa ia hanya lagi digertak. Saking takutnya itu, ia merasakan gatal dan nyerinya jadi bertambah sendirinya. Tapi dasar berkedudukan tinggi dan angkuh, ia menjadi murka. „Kurang ajar!" ia membentak. ,,Kenapa kau berani berbuat begitu terhadap aku? Baiklah, kau mesti dicingcang!" Tapi Hoa Seng tidak takut. Ia bahkan tertawa lebar. „Paduka tuan yang mulia!" katanya pula. „Jikalau benar kau membunuh aku dengan tubuhku dicingcang maka tak ada orang yang nanti menyembuhkan keracunanmu ini!" Sementara itu Timotato, walaupun ialah seorang jagoan, ia mengawasi congkoan itu dengan mata membelalak. Ia mengerti yang congkoan itu sebenarnya ditotok Hoa Seng, ia pun mengerti sedikit tentang ilmu totok Tionghoa, akan tetapi memandang congkoan itu, sudah menggaruk-garuk punggungnya secara kalap, sampai bajunya robek rubat-rabit, sampai punggungnya bengkak. Ia menggaruk, ia merasakan sakit, kalau ia tidak menggaruk, ia diganggu rasa gatal. Sambil menahan gatal, ia pun merintih-rintih. Punggung itu telah menjadi berwarna merah, hingga nampaknya seperti betulbetul bekas kena racun. Ia menjadi bingung sendirinya. Ia tahu betul, ia sendiri tidak sanggup membebaskan totokan lawannya itu. Sebaliknya, tidak dapat ia memohon kepada Hoa Seng, untuk si congkoan ditolongi. Ia merasa terlalu agung untuk meminta sesuatu kepada orang yang baru saja ia kalahkan itu. Maka itu, ia cuma bisa mengawasi, tidak mau ia memberitahukan si congkoan bahwa dia hanya kurban totokan. Juga si pendeta jubah merah agaknya gelisah sekali. Ia mau menolongi, ia tidak mampu. Ia berdiam saja, tidak tega ia menonton penderitaannya congkoan itu. Maka diakhirnya ia menoleh kepada Bapak Daud, maksudnya guna memohon bantuannya ini orang Arab yang liehay. Timotato dapat menduga maksudnya pendeta itu, ia mendahulukan menggeleng-geleng kepalanya. „Aku telah membilangnya, satu ialah satu, dua ialah dua!" berkata jagoan ini. „Aku sudah bilang, urusan di sini tidak dapat aku mencampurnya pula, maka itu, tetap aku tidak dapat mencampur tahu!" Congkoan itu menjadi ketakutan. Kalau Bapak Daud tidak bisa membantu padanya, celakalah dia ……… „Habis kau menghendaki apa dari aku?" akhirnya ia tanya Hoa Seng. Suaranya perlahan, sikapnya pun menjadi lunak. Ia tidak bengis lagi seperti tadi ia membentak anak muda itu. „Seperti aku telah bilang sejak semula," berkata Hoa Seng, sabar. „Kau ajak aku masuk ke dalam istana, untuk menghadap Raja, untuk aku mengobati sakitnya. Setelah itu, aku juga akan mengobatimu." Pemimpin barisan pengiring raja ini menjadi bingung. Ia sangat ragu-ragu. Ia pun bercuriga dan takut sekali. „Kalau dia membeber perbuatanku kepada raja, apakah aku masih mempunyai jiwaku?" katanya dalam hatinya. Di saat congkoan ini masih bersangsi itu, tiba-tiba orang mendengar suara terbukanya pintu besi. Ia menjadi kaget. „Kurang ajar betul!" ia mencaci di dalam hatinya. „Tanpa titahku kenapa serdadu penjaga pintu berani membukai pintu?" Tapi ia tengah disiksa gatal dan rasa nyerinya itu, tenaganya seperti habis, ia bagaikan tidak mempunyai tenaga lagi untuk membentak atau mendamprat. Dengan lantas pintu besi dipentang, maka itu terlihat sinar matanya semua orang menjurus ke arah pintu besar itu. Ruang pun menjadi sangat sunyi. Hoa Seng pun heran, tidak menjadi kecuali, ia juga memandang ke arah pintu. Di ambang pintu tertampak dua orang dayang, yang berjalan dengan tindakan perlahan. Mulai naik di undakan tangga, keduanya menghentikan tindakannya, lantas yang di sebelah depan berkata dengan suaranya yang halus tetapi terang. Katanya: „Di sini ada seorang muda yang datang dari Tiongkok, yang bernama Koei Hoa Seng, benarkah?" Hoa Seng heran tidak kepalang. Bukankah ia baru saja tiba di Katmandu, ibukota Nepal ini? Kenapa sekarang ada orang, bahkan orang di dalam istana raja, yang ketahui kedatangannya itu malahan ketahui juga she dan namanya? Oleh karena tidak ada yang memberikan ia penyahutan, dayang itu memandang semua orang seraya mengulangi pertanyaannya. Sampai di situ, Hoa Seng bertindak maju. „Akulah Koei Hoa Seng yang datang dari Tiongkok itu," ia menyahut. „Sri Baginda Raja menitahkan mengundang kau segera masuk ke istana," berkata dayang itu. „Tuan komandan, inilah firmannya Sri Baginda, kami dititahkan datang kepadamu di sini untuk meminta orang. Kau telah melihatnya nyata, bukan?" Dayang ini menyerahkan firmannya itu kepada satu boesoe, untuk dia menyerahkannya kepada congkoan itu. „Entahlah, untuk urusan apakah junjunganmu memanggil aku menghadap?" Hoa Seng tanya. „Katanya tuan datang dari negara besar Tiongkok, tuan mengerti ilmu ketabiban, maka itu tuan diundang," menyahut dayang itu. Hoa Seng heran. „Mana aku mengerti ilmu ketabiban?" pikirnya. „Aku tadi cuma menggertak saja kepada kepala pasukan pengiring raja! Siapa tahu firman ini justeru membuatnya aku bicara dusta …….. Ah, biarlah, asal pemeriksaannya Papo tepat, penyakitnya raja benar karena terkena racun yang sifatnya lunak, yang bekerjanya perlahan, aku percaya Thian San soatlian bakal dapat menolong kepadanya." Karena ini, ia berkata kepada dayang itu: „Untuk aku mengobati, tidak sukar, asal aku diberikan ijin datang bersama dua orang lain." „Sri Baginda pun telah mengeluarkan perintah, apa yang tuan menghendaki, semua harus diluluskan," sahut dayang itu. „Kalau begitu aku hendak mengajak Tabib Papo serta pemimpin dari pasukan pengiring raja turut bersama masuk ke istana," Hoa Seng memberitahukan keinginannya. Mendengar itu, pemimpin pasukan pengiring raja itu menjadi pucat mukanya. Menampak demikian, si pendeta jubah merah maju seraya berkata: „Sungguh sukar yang tetamu agung dari negara yang jauh laksaan lie telah datang ke marl, karena itu sudah seharusnya paduka tuan pemimpin mengantari dia." Congkoan Gie-lim-koen itu melihat sinar matanya si pendeta, ia tidak bersangsi pula. „Baiklah," katanya. Sebaliknya, Hoa Seng menjadi curiga. Maka ia pikir, asal ia dapat berlalu dari situ, ia tidak usah menguatirkan apa-apa lagi. Congkoan itu lantas berkata: „Aku yang rendah minta tuan suka memberikan obat yang mujarab, dengan begitu barulah aku berani menemani." Ia berkata demikian karena di depannya dayang itu ia tidak berani sebut tentang raja diracuni. Dayang itu heran mendengar perkataan pemimpin pasukan gielim- koen itu. „Apakah tuan pemimpin yang tubuhnya begini sehat juga dapat sakit?" ia menanya. „Kalau itu hanya sakit tidak berat, baiklah tuan mengundang lain tabib saja, dan besok tuan baru datang menghadap Baginda." Hoa Seng bersenyum, ia mengulur tangannya ke pundak congkoan itu, untuk menotok dengan perlahan di jalan darah ceng-pek-hiat. Ia berkata: „Lain tabib membutuhkan obat yang mustajab, aku hanya cukup dengan tanganku. Biarlah sesudah aku menyembuhkan Sri Baginda baru aku mengobati kau hingga sembuh ke akarnya penyakitmu." Ditotok begitu rupa, congkoan itu merasakan tubuhnya lega, cuma masih ada sedikit rasa sakit di dadanya. Karena itu, dengan terpaksa ia turut Hoa Seng pergi. Kedua dayang itu heran bukan main, keduanya lantas bicara berbisik. Hoa Seng telah mahir tenaga-dalamnya, hanya dengan memasang kuping, ia dapat mendengar suara bisikan itu. Ia memang bisa mendengar di dalam jarak seratus tindak. „Pemuda Tionghoa ini benar luar biasa," demikian ia dengar dayang yang satu. „Mungkin sekali dia dapat menyembuhkan sakit yang aneh dari Sri Baginda." „Seharusnya dialah seorang yang cakap tampan," berkata dayang yang lain, „maka kenapa dia justeru mirip sama orang bangsa kita yang kasar, kulit mukanya begitu hitam hingga dilihatnya menakuti ……..?” Hampir Hoa Seng tertawa. Ia mengambil taplak meja yang putih-bersih, ia pakai itu untuk menyeka mukanya maka lenyaplah mehongan di mukanya, hingga kulitnya nampak putih bersih seperti asalnya. Melihat perubahan kulit muka orang itu, kedua dayang heran hingga mereka tercengang. „Mari," kata Hoa Seng tertawa, „mari kita berangkat!" Dan ia menarik tangannya si congkoan Gie-lim-koen, bertindak turun di tangga, terus melewati sampai tujuh pintu besi. Selama itu, tidak ada orang yang merintangi mereka. Di luar menanti sebuah kereta kuda yang indah, sedang kuda penariknya empat ekor yang berbulu putih salju dan nampaknya gagah sekali. Itulah kereta yang dinaiki kedua dayang. Hoa Seng dan Papo, berikut si congkoan beramai, bergantian naik atas kereta itu, yang sebentar kemudian ditarik keempat ekor kuda itu, yang cepat larinya. Di atas kereta, Hoa Seng berpikir. Ia merasakan bahwa pengalamannya itu hari dan malam bagaikan impian belaka. Ia memikirkan tak hentinya: „Kenapa raja ketahui tentang diriku? Kenapa dia tahu aku bisa mengobati penyakit? Kenapa kedua dayang tadi membilangnya aku seharusnya mesti menjadi seorang laki-laki yang cakap tampan? Apakah artinya itu mesti?" Diam-diam ia melirik kedua dayang itu, justeru mereka pun lagi mengawasi ia seraya bersenyum secara aneh. Selagi Hoa Seng berpikir keras itu, tiba-tiba ia mendengar suara angin berdesir di arah belakangnya. Dengan lekas ia berpaling, atau ia menjadi terkejut. Tidak ayal lagi, ia menyambar les kuda dari kusir, ia mengedut dengan keras, atas mana keempat ekor kuda itu, yang semua ada kuda pilihan dari istal raja Nepal, lantas kabur. Pada itu Hoa Seng menambah sama cambuknya. Karena kuda lari bagaikan terbang, penumpang-penumpangnya menjadi duduk tak tetap di atas kereta itu. Itulah Timotato yang mengasi dengar suara angin, yang telah menyusul mereka dengan lari keras sekali. Sembari lari terdengarlah suara tertawanya yang aneh. Makin lama, ia menyusul makin dekat. Sebentar kemudian, mendadak keempat ekor kuda meringkik keras, tentu kaki mereka pada berdeku. Luar biasa cepat, Timotato sudah dapat menyandak, tangannya menyambar kereta itu, begitu lekas dia mengerahkan tenaganya, kereta itu kena ditahan, kudanya lantas roboh kakinya, tak dapat binatang itu maju walaupun hanya satu tindak. „Apakah perkataanmu tak dianggap olehmu?" Hoa Seng tanya, membentak. Timotato tertawa. „Aku bilang aku tidak campur tahu urusan di benteng tua!" katanya. „Sekarang, sekeluarnya dari benteng tua itu, maka aku mesti mencampurinya tahu!" Ia lantas memegang kereta, untuk menarik sambil mengenjot tubuhnya, dari itu dalam sejenak ia sudah berada di atas kereta. Hoa Seng menghunus pedangnya, dengan lantas ia menikam dadanya Bapak Daud. Ia menggunai tipu silat „Lie Kong memanah batu." Dengan kesebatan luar biasa, Timotato mengulurkan dua jari tangannya. Ia menggunai tipu silat „Burung hong mengangguki kepala." Dengan gerakannya itu ia hendak merampas pedang penyerangnya itu. Hoa Seng tidak sudi menyerahkan pedangnya, dengan mengibas, ia membabat kedua jari tangan orang! Tidak mengecewakan Bapak Daud menjadi jago dari seluruh Arabia, sambil berkelit, ia ayun tangannya untuk menangkis, berbareng dengan mana, tangan kirinya menggempur hingga pedangnya Hoa Seng kena disampok mental. Ia tidak berhenti sampai di situ, dengan tangan kanannya, dengan dua jerijinya, ia menyambar ke matanya lawan itu! Hoa Seng mesti mundur untuk mengelakkan serangan itu, karena mana ia membuatnya kedua dayang menjadi kaget hingga mereka menjerit ketakutan karena tubuh mereka kena terlanggar. Tubuhnya Timotato sudah berada di atas kereta, kedua kakinya sudah dipernahkan, tinggal lagi satu tarikan, ia akan sudah berada di dalam kereta. Di saat itu, ia ditikam Hoa Seng, yang mengarah tenggorokannya. Ia dapat menolong dirinya, dengan satu sampokan ia membuatnya pedang penyerangnya mental kesamping, hingga pedang itu menghajar putus sepotong kaju! Dua jago itu jadi bertempur, seorang di dalam kereta, yang lain di sebelah luar. Hebat pertempuran mereka, melebihkan hebatnya pertempuran di dalam rumah, di ruang yang luas, karena di sini keduanya sukar bergerak dan setiap serangannya berbahaya sekali. Bapak Daud berkelahi dengan bengis. Satu kali dia berseru, dengan tubuh terangkat, dengan sebelah tangan dia menyampok pedang, dengan tangan yang lain dia membarengi menyerang dadanya lawannya. Hoa Seng menghadapi ancaman bahaya. Ketika itu pedangnya sudah tidak keburu ditarik pulang. Tidak ada jalan lain, ia mesti berkelit atau menangkis serangan ke dada itu, pedangnya sendiri sebisa-bisa ditarik pulang dengan diputar. Di saat yang sangat mengancam itu, sekonyong-konyong Timotato menggigil sendirinya. Ia merasakan hawa dingin yang datang tiba-tiba. Juga Hoa Seng merasai hawa dingin meresap ke tubuhnya, hanya karena ia berada di dalam kereta di mana ia dapat memernahkan diri dengan baik, gangguan hawa dingin itu tidak terlalu hebat. Ia pun menginsafi suasana, maka itu ia menggunai ketikanya, segera ia memapas. Timotato mengasi dengar teriakan dari kesakitan, tubuhnya lantas jatuh ke bawah kereta. Di lengan kirinya, sepotong dagingnya kena dipapas pedang. Ia menjadi sangat gusar. „Hai, binatang, kau menggunai ilmu siluman apa?" dia menanya bengis. Koei Hoa Seng tidak mau melayani jago itu, ia tarik les kudanya, ia mengeprak, maka keretanya lantas dibawa lari sekeras-kerasnya. Dengan begitu, karena dia terluka, Timotato tidak dapat mengejar lebih jauh. Memikirkan kejadian barusan, Hoa Seng heran sekali. Dari mana datangnya hawa dingin itu yang demikian tiba-tiba? Itulah hawa dingin yang ia rasakan adanya di gunung Nyenchin Dangla, di guha es. Tidak mungkin hawa dingin itu datangnya dari langit. Kalau orang, siapakah yang menggunakannya? Di dalam kereta itu tidak ada lain orang lagi. Siapakah orang yang membantu kepadanya? Kereta lari keras sekali maka tidak lama tibalah sudah mereka di dalam kota. Masih Hoa Seng berpikir keras, memikirkan orang yang membantu ia dengan hawa dingin itu. Ia dapat mengingat si nona berbaju putih tetapi nona itu tidak ketahuan di mana adanya. Adakah dia Papo? Tapi Papo tidak mengerti ilmu silat! Apakah dialah si kedua dayang? Kalau mereka, dari mana mereka dapatnya inti es dari guha es itu? Akhirnya ia menduga-duga, mungkinkah si nona baju putih justeru ada si puteri Nepal, memikir ini, ia merasa ia menjadi terbenam makin dalam dalam keheranan …….. Tidak lama semasuknya ke dalam kota raja, istana sudah lantas tertampak. Papo lantas mengasih lihat roman berduka. „Saudaraku, benar-benarkah kau merasa pasti?" ia bertanya. „Jangan kuatir!" Hoa Seng menyahuti tertawa. „Sakitnya raja, yang terkena racun, bukannya enteng," menerangkan Papo. „Adalah aturan di dalam negara kami, tabib yang mengobati raja mungkin nanti berkurban jiwa, untuk sama-sama dikubur ...." „Kalau penyakit ada penyakit lain, aku tidak merasa pasti. Kalau benar itu disebab racun, ha ha! aku tanggung obatku akan dapat mempunahkan racun itu! Loo-tiang, pernahkah kau mendengar kemustajabannya teratai salju dari Thian San dalam hal mengobati bisa?" Sembari berkata, Hoa Seng mengeluarkan setangkai bunganya, untuk dikibaskan di depan tabib itu, maka di dalam kereta itu segera tersiar bau harum-semerbak. Sesuatu orang lantas merasakan segar sekali. Papo pernah membaca kitab ilmu obat-obatan, ia mengetahui tentang soat-lian, atau teratai salju dari gunung Thian San, maka itu mengertilah ia, teratai itu memang dapat menyembuhkan sekalipun racun nyali merak atau jengger burung ho. Karena ini, sekarang hatinya menjadi lega. Segera juga kereta dihentikan di depan istana. Istana raja Nepal kalah indah dengan istana di Pakkhia, kalah juga dengan istana Potala, akan tetapi toh ada keistimewaannya sendiri. Di kedua samping ada kuil-kuil serta menara-menaranya, lauwteng atau ranggonnya terukir indah, sedang di atas wuwungan atau kotak atau keranjang tiang bendera ada burung-burungan atau beburonannya yang bagus seperti binatang bernyawa. Di wuwungan menara ada kelenengan atau genta terbuat dari pada kuningan, yang indah-mengkilap serta suaranya sedap didengar. Di depan istana ada patung Sang Buddha tinggi tiga tombak lebih. Di situ pun ada air mancur, yang keluarnya dari kepala naga kuningan. Teranglah itu ada buatan campuran seni Timur dan Barat, kecampuran sifat seni Tionghoa. Maka itu, senang juga Hoa Seng menyaksikan itu semua, matanya mengawasi ke segala pihak. Meski begitu, ia tidak melupai tugasnya. Ia jalan di lorong panjang, mengikuti dayang, ia sendiri sembari menarik si congkoan dari Gie-limkoen. Di akhirnya, di dalam sebuah ruang istana dari batu putih ia menghadap raja Nepal. Di sini Hoa Seng merasa heran. Raja Nepal bermuka semu dadu, tanda dari kesehatannya, tidak ada tanda-tandanya bahwa ia lagi mengandung sakit. Di belakang raja itu berdiri seorang tua, yang Papo kenali sebagai tabib istana. Di sebelah depan raja berdiri seorang muda, yang punggungnya menghadap ke luar. Begitu berada di dalam istana itu, Hoa Seng dapat mencium bau yang harum luar biasa, ialah bau harum dari teratai salju dari Thian San. Melihat datangnya tetamu, raja Nepal berbangkit dengan perlahan-lahan dari tempat duduknya yang berbangsal sulaman indah. Berbareng dengan itu, si anak muda pun memutar tubuhnya, untuk berbalik. Kapan Hoa Seng melihat wajah orang, ia terperanjat saking heran. Si anak muda juga heran sama seperti ia. Maka itu keduanya jadi berdiri tercengang. Pemuda itu bukan lain dari pada si anak muda bangsa India yang diketemukan di gunung Himalaya. Kemudian, sesudah mengangguk perlahan kepada si anak muda, Hoa Seng memberi hormat kepada raja Nepal. Raja itu membalas hormat sambil mengangguk. „Tetamu dari negara besar, tak usah kau menjalankan banyak kehormatan," katanya. „Duduklah!" Hoa Seng segera menanya untuk urusan apa raja memanggil ia datang menghadap. Raja tertawa. „Sebenarnya aku memanggil tuan untuk mengobati penyakitku tetapi sekarang tak usahlah aku membuat tuan capai hati lagi," sahutnya. Ia lantas menunjuk itu pemuda India seraya menambahkan: „Pemuda ini ialah Jatsingh putera raja Champa. Dia datang di saat kami baru mengirim kereta untuk mengundang tuan, dia lantas memberikan obatnya. Luar biasa mujarab obatnya itu, begitu dimakan begitu aku sembuh. Demikian sekarang, aku sudah sembuh seanteronya. Tapi tuan telah datang ke negaraku ini, maka itu walaupun tidak ada urusan apa-apa aku ingin mengundang tuan berdiam di sini untuk beberapa hari." Mendengar itu sekarang Hoa Seng mengerti duduknya hal. Sengaja Jatsingh mencari soat-lian untuk menolongi raja dan dia telah berhasil, raja Nepal sudah diobati sembuh dari sakitnya itu. 14. Sayembara Puteri Nepal Raja Nepal lihat congkoan dari Gie-lim-koen, pemimpin pasukan istananya. Ia heran menampak roman orang tak wajar. Hamba itu nampak lesu atau letih. „Kau datang bersama tetamu agung, ada urusan apakah?" raja tanya. Papo lantas mendahului menyahuti: „Paduka congkoan ini memanggil hamba katanya untuk memeriksa penyakit tetapi dia melarangnya membilang bahwa Sri Baginda sakit terkena racun, hamba disuruh membilang itulah sakit kepala yang biasa saja." Raja menjadi gusar. „Apakah artinya itu?" ia tanya. Melanjuti keterangannya, Papo menuturkan apa yang terjadi di benteng kuno. Selagi tabib ini berbicara, dari perdalaman pendopo istana itu muncul satu orang melihat siapa congkoan Gie-lim-koen itu kaget hingga ia lantas berseru: „Pangeran, tolongi aku ………!” Hoa Sang kenali orang yang baru muncul itu ialah putera raja Nepal yang ia ketemukan di dalam Kota Iblis. Tanpa membilang apa-apa pangeran itu bertindak menghampirkan si congkoan, mendadak dla berseru: „Kau telah dipercayakan Sri Baginda dan diberi tugas penting, kenapa kau berani meracuni Sri Baginda? Mungkin Sri Baginda suka memberi ampun padamu tetapi aku tidak!" Congkoan itu kaget sekali. „Kau ……. kau ....." katanya. Putera raja itu tidak mau banyak omong, bahkan dengan kesebatannya yang luar biasa, ia menghunus goloknya dengan apa ia membacok pemimpin pasukan Gie-lim-koen itu, hingga orang roboh dengan jiwanya melayang! Hoa Seng berdiam. Kalau ia mau mencegah, ia dapat melakukannya. Kejadian itu dilakukan tanpa menanti Papo selesai bicara. Sungguh suatu kejadian di luar dugaan saking cepatnya. Putera raja itu menyusut goloknya, terus ia berkata kepada, raja: „Paman-raja, paman berada di dalam istana dan kena orang racuni, perkara itu tidak usah diselidiki lagi, tentulah itu dilakukan oleh congkoan ini, tak usah disangsikan lagi." Raja lagi mendengar keterangannya Papo, ia mulai mencurigai congkoannya itu, sekarang ia menyaksikan perbuatannya pangeran itu, meski itu ada di luar sangkaannya, ia tidak curiga, bahkan ia mendapat kesan pangeran itu bersetia kepadanya. „Dia bertugas melindungi, sekarang dia justru berbuat jahat, pantas dia terbinasa,” kata raja ini, yang lantas menitahkan supaya mayatnya congkoan itu lekas disingkirkan, supaya bekas-bekas darah itu lantas dibersihkan. Di lain pihak, perintah pun dikeluarkan guna lekas menyajikan barang santapan, untuk mengadakan pesta. Dua bulan lebih raja menderita sakit, sekarang ia sembuh dengan tiba-tiba, kegembiraannya luar biasa. Maka ia mengadakan pesta istimewa di dalam istananya itu. Ia menjamu putera raja Champa serta Hoa Seng si tetamu yang dihormati. Urusan congkoannya itu tak lagi ia menghiraukannya. Papo bersama Hoa Seng saling mengawasi, mulut mereka tertutup rapat, hati mereka tapinya bekerja, seperti sinar mata mereka menunjuki. Mereka tahu pasti sakit raja bukan perbuatannya congkoan Gie-lim-koen itu, hanya benar, congkoan itu mesti tahu duduknya hal dan mungkin dia, turut ambil bagian juga. Me¬reka terpaksa berdiam karena kalau mereka membuka mulut, pastilah istana itu menjadi kacau. Pula tidak baik muncul kekacauan selagi raja baru sembuh dan mengadakan pesta ini. Sampai di situ, Hoa Seng mengasih keluar suratnya Dalai Lama dan ia peserahkan pada raja itu sembari ia berkata: „Seharusnya surat ini dihaturkan kepada Sri Baginda selekasnya aku datang ke kota raja ini. Harap Sri Baginda memaafkannya." Raja membaca surat itu, ia girang sekali. „Aku memerintah Negara dengan berpokok kepada ajaran agama Buddha, sudah selayaknya jikalau akulah yang lebih dulu menanyakan kesehatannya Buddha Hidup," katanya. „Berhubung dengan hari ulang tahun Sang Buddha ini," berkata putera raja, yang campur bicara, „aku sudah mengirim utusan atas nama paman raja untuk memberi selamat sekalian menghadiahkan menara emas kepada Istana Potala. Oleh karena paman tengah sakit, hal ini aku belum melaporkannya." Tapi raja senang. „Tindakanmu ini cocok dengan hatiku!" katanya girang. „Maka itu lain kali, dalam urusan negara, apa yang kau lihat pantas dilakukan, kau lakukanlah." Tiba-tiba raja ini ingat suatu apa. Maka ia lantas berkata pula: „Dua hari yang lalu ada datang pendeta dari Tiongkok, mungkin kau kenal dia, karena aku lagi sakit, tidak sempat aku memanggil dia menghadap. Sekarang ini baiklah dia diundang untuk turut menghadirkan pesta ini." Raja lantas mengeluarkan perintahnya. Hoa Seng heran, ia menduga-duga siapa pendeta dari negaranya itu, yang dapat melintasi gunung Himalaya. Karena ini, ia lantas berpaling kepada putera raja itu. Kelihatannya putera raja itu heran, maka mungkinlah dia tidak mengenalnya atau tidak mengetahuinya. Ketika pesta dimulai, pendeta Tionghoa itu belum muncul, maka itu raja Nepal mengundang dulu Jatsingh, Hoa Seng dan Papo berduduk dulu, Putera raja hadir bersama. Sebagai pelajan, raja menitahkan delapan dayang, di antaranya ada dua dayang yang diperintah pergi mengundang Hoa Seng. Raja mengisi arak. Ia lantas berkata: „Malam ini ada tiga hal yang menggirangkan yang aku hendak menyebutkannya …… “ „Setiap kali paman menyebutkan serupa hal yang menggirangkan itu, kita minum tiga cangkir arak!" berkata putera raja, menimbrung. Raja Nepal tertawa lebar. „Kegirangan yang pertama-tama ialah tentang aku sendiri, yang dari celaka jadi memperoleh keberuntungan!" berkata raja. „Di luar tahuku, aku telah diracuni orang jahat, kelihatannya aku bakal menjadi setan penasaran, maka syukurlah telah datang putera raja dari India ini yang memberikan aku obat dewa! Sekarang ini bukan melainkan sakitku itu sudah sembuh, pula aku merasakan tubuhku sehat luar biasa! Tidakkah, karena itu, sudah selayaknya aku mengadakan pesta keselamatan ini?" „Memang orang baik diberkahkan Tuhan!" berkata putera raja, „Aku memujikan paman selamat panjang umur!' Ia lantas mengeringkan tiga cawannya. „Sekarang kegirangan yang kedua," berkata raja Nepal. „Inilah hal aku mendapat kunjungan tetamu yang terhormat. Tuan Koei dan putera raja Champa sama-sama pernah melintasi gunung besar nomor satu di dunia ini, perbuatan mereka harus dicatat dalam hikayat." „Kedua tetamu yang terhormat telah mendatangi negara kita, itulah artinya keberuntungan kita!" berkata pula si pangeran. „Baiklah, untuk tuan setiap tiga cawan!" Selagi ia mengangkat cawannya kepada Hoa Seng, terlihat nyata sikap ber-muka-muka dan licik dari pangeran ini, yang tertawa tak wajar. Ia agaknya mengangkat cawan sambil berbareng mau mempengaruhi orang. Di dalam hatinya, Hoa Seng berkata: „Entahlah, raja ketahui atau tidak niatnya pangeran ini menyerbu Tibet ……. Jikalau ada ketikanya, aku mesti membeber rahasianya ini." Meski hatinya berpikir demikian, Hoa Seng toh menghirup kering cawan araknya. Raja berhenti berbicara karena pangerannya itu, kemudian ia mengangkat cawannya sambil bersenyum. „Aku tidak mempunyai putera hanya seorang puteri," ia berkata pula kemudian. „Sudah lama aku berniat mencari pasangan untuk puteriku itu, sayang dia beradat tinggi, sampai sekarang ini dia belum mendapatkan orang yang cocok dengan hatinya. Maka sekarang aku telah menerima kunjungan pangeran Jatsingh ini, yang telah menolongi jiwaku. Aku mendapatkan pangeran bagaikan kielin di antara hewan atau burung hong di antara burung-burung, bahkan dengan tidak memandang hina kepada negaraku yang kecil, ia telah datang untuk meminang puteriku itu. Sebenarnya, walaupun tak ada peristiwa ia telah menolongi aku, suka aku menerima baik pinangannya itu. Maka itu, dengan aku yang mengambil keputusan, lewat lagi beberapa hari, hendak aku menikahkan mereka. Aku harap pesta sekarang ini ialah suatu pesta penetapan pertunangan!" Pengutaraan ini disambut dengan sorak persetujuan. Sekarang ini Hoa Seng tahu pasti sebabnya kenapa Jatsingh mencari soat-lian. Diam-diam ia bergirang, yang ia telah membikin minatnya pangeran itu tercapai. Maka ia pun memberi selamat kepada pangeran itu. Paras Jatsingh yang hitam bersemu dadu, ia agaknya likat. „Hanya entahlah bagaimana pendapat tuan puteri?" ia menanya, agaknya ia ragu-ragu. Raja Nepal tertawa. „Mustahil dia tidak puas?" katanya dalam girangnya. Lantas ia menitahkan seorang dayang masuk ke dalam keraton, untuk meminta serupa barang permata dari puterinya, agar permata itu dijadikan tanda pertunangan. Setelah itu, pesta dilanjuti. Selagi Hoa Seng minum araknya, mendadak ia merasa seorang dayang membentur ia perlahan sekali. Ia heran. Untuk berpurapura, ia terus menghirup araknya, tetapi berbareng dengan itu, dengan sebat ia menyambuti segulung kertas dari dayang itu. Bahkan sebat sekali, tengah Jatsingh semua bergembira, ia membuka kertas itu, untuk diperiksa, maka matanya lantas nampak bunyinya surat. Untuk heran dan kagumnya, ia membaca beberapa huruf Tionghoa yang halus dan bagus sekali tulisannya. Bunyinya itu ialah : „Lekas memberitahukan raja, bahwa soat-lian itu asalnya kepunyaanmu. Harus dicegah pertunangan di antara putera raja India itu dengan tuan puteri." Hoa Seng heran hingga ia terperanjat. „Apakah artinya ini?" ia tanya dirinya sendiri. „Kenapa aku mesti mencegah pertunangan itu? Apa mungkin tuan puteri tidak setuju? Kalau begitu, kenapa aku yang mesti maju di depan?" Ia lantas menoleh kepada dayang yang membenturnya dan yang menyerahkan surat itu, ia mendapatkan orang bersenyum padanya, bersenyum secara aneh. Tentu sekali, ia menjadi bingung. Tidakkah kejadian itu aneh sekali? Ketika itu terdengar suaranya Papo, si tabib. „Percuma aku si orang tua menjadi tabib," ia berkata. „Tuan pangeran, aku mohon petunjukmu, dengan obat apa kau telah menyembuhkan penyakitnya Sri Baginda?" Putera raja Nepal tertawa. „Tuan Papo," katanya, ,,kaulah tabib nomor satu di dalam negara kita, mustahil sekali kau tidak mengetahui tuan pangeran ini menggunai obat apa?" „Aku menduga semacam bunga akan tetapi bunga itu sangat sukar didapatinya," Papo menyahut. „Di India tidak ada bunga semacam itu. Karena aku kuatir aku menduga salah, tidak berani aku menyebutkannya. Mungkin ada obat lainnya yang mujarab. Tolong tuan pangeran memberitahukannya agar aku mendapat tambahan pengetahuan." Putera raja Champa itu nampaknya likat, kulit mukanya pun bersemu merah. „Sebenarnya itulah soat-lian dari Tiongkok," sahutnya kemudian. Papo agaknya kaget sekali. „Tuan pangeran hebat sekali!" serunya. ,,Apakah tuan pangeran pernah mendaki gunung Thian San?" Sebelum menyahuti, putera raja Champa itu menoleh kepada, Hoa Seng, siapa mengasi lihat airmuka, tertawa bukannya tertawa, mengawasi padanya, hingga ia menjadi bingung, menjadi terlebih likat pula. Ketika itu mulai terdengar suara genta. Nepal ada negara penganut agama Buddha, sekalipun di dalam istana ada biaranya, ada saat-saat yang tertentu di mana orang membunyikan genta itu. Demikian ketika itu, sudah jam tiga, itulah saat dari upacara suci yang terakhir. Tatkala pangeran Jatsingh mendengar suara genta itu, pikirnya bekerja. Pikirnya: „Semenjak masih kecil aku pernah mendengar Liong Yap Taysoe berbicara tentang agama, maka itu kenapa sekarang, di saat ini, pikiranku menjadi tak sadar? Bukankah Sang Buddha melarang orang mendusta? Pemuda Tionghoa ini dengan segala kemuliaan hatinya telah menghadiahkan aku teratai salju, kenapa sekarang aku mesti merampas jasanya itu?" Karena memikir ini, dalam sadarnya, ia lantas berkata kepada raja Nepal: „Sri Baginda, orang kepada siapa Sri Baginda harus bersyukur adalah ini Tuan Koei. Jikalau tidak ada dia, mungkin tabib yang paling pandai di dalam dunia ini juga tidak bakal sanggup mengobati penyakit aneh dari Sri Baginda itu!" Mendengar itu, raja menjadi heran. „Apa?" tanyanya. „Kalau begitu, sebelumnya ini kamu telah saling mengenal satu pada lain? Adakah Tuan Koei ini yang mengajarkan kau untuk kau menyembuhkan penyakitku ini?" „Obat teratai salju itu adalah pemberiannya Tuan Koei ini," Jatsingh memberitahukan terlebih jauh. Lalu, tanpa ragu-ragu lagi, pangeran itu menuturkan pengalamannya di gunung Himalaya di mana ia secara kebetulan bertemu sama Koei Hoa Seng, sampai anak muda itu membagi ia soat-lian, obat manjur yang sangat langka itu. Hoa Sang kagum untuk kejujurannya pangeran itu. Maka ia lantas berkata: „Pangeran Jatsingh sudah melakoni perjalanan yang berbahaya itu mencari teratai salju, semua itu ada untuk Sri Baginda, untuk mengobati sakit Sri Baginda, aku sendiri secara kebetulan saja aku mempunyai obat itu, yang aku berikan kepadanya. Agama Sang Buddha mengutamakan sebab-musabab, ada perbuatan, ada akibatnya, karena Sri Baginda arif bijaksana, suka berbuat baik, maka Sri Baginda memperoleh karenanya. Sri Baginda, aku tidak berani mendapat bagian dari jasanya pangeran ini." Sembari berkata begitu, Hoa Seng berpikir: „Tidak perduli apa yang Jatsingh pikir mulanya, maka walaupun tuan puteri ada menaruh hati padaku, aku mesti membantu merekoki jodoh puteri dengan pangeran ini. Bukankah aku telah mempunyai orang yang aku penuju?" Selagi berpikir demikian, mendadak di otaknya berkelebat bayangan si nona baju putih, maka diam-diam ia memuji di dalam hatinya, biarlah si nona baju putih itu bukannya puteri raja Nepal ini …………. Raja Nepal sendiri sangat tergerak hatinya. „Tuan-tuan berdua adalah orang-orang cerdik pandai dari dua negara besar," berkata ia. „Kejujuran kamu berdua mendatangkan rasa hormat siapa juga. Tuan Koei, apabila kau sudi berdiam di sini, silahkan kau merendahkan diri untuk menjadi pemimpin dari pasukan pengiringku." „Hoa Seng seorang merdeka yang gemar merantau," katanya. „Laginya aku tidak mempunyai kebisaan apa-apa, bahkan baru saja aku tiba di negara Sri Baginda ini, maka itu tidak berani aku menerima tugas yang demikian berat." Raja Nepal pun menduga orang tidak nanti sembarang menerima keangkatannya itu. „Jikalau Tuan Koei tidak dapat menerima, aku juga tidak berani memaksa," ia berkata pula. „Walaupun begitu aku mau minta, kalau nanti Tuan berangkat, berangkatlah sesudah hari pernikahan puteriku. Itu waktu aku sendiri akan mengantarkan keberangkatan tuan." Sementara itu lega hatinya Jatsingh. Tadinya ia kuatir raja nanti mengubah pikirannya sesudah mendapat tahu soat-lian kepunyaannya Koei Hoa Seng. Ia pun girang atas kata-katanya orang she Koei itu, yang tidak hendak merebut jasa. Biar bagaimana, Jatsingh telah membuka rahasia karena ia terpaksa oleh perkataannya Papo. Di samping itu, ia memang sangat mengharapi tangan puteri Nepal, maka kalau terjadi sesuatu, belum tentu ia suka menyerah dengan begitu saja. Sedang Jatsingh bergirang, dayang yang tadi diperintah raja untuk mengambil permata tanda mata telah muncul pula. „Mana barang permata dari tuan puteri?" raja mendahului menanya. „Tuan puteri membilangnya dia tidak berani melanggar aturan," menyahut dayang itu. „Tuan puteri menghendaki supaya segala apa yang sudah ditetapkan terlebih dulu dijalankan sepenuhnya. Tuan puteri ingin supaya setiap orang menerima ujian." Airmuka raja berubah mendengar jawaban itu. „Ah, anak yang tidak tahu urusan!" katanya, tak puas. „Apakah kau tidak menjelaskan tuan pangeran ini ialah tuan penolong dari jiwaku?" „Sudah, Sri Baginda!" Jatsingh sendiri menjadi jengah, mukanya berubah merah. „Nah, pergilah kau beritahu pula kepada tuan puteri!" berkata raja. „Jikalau dia tetap tidak mau menurut, suruhlah dia keluar, supaya dia melihat sendiri juga wajahnya tuan pangeran ini! Aku mau lihat, dia puas atau tidak ……” Kata-katanya raja ini sebagian untuk menghiburkan Jatsingh, supaya dia ini jangan terlalu jengah. Sebaliknya, mata si pangeran lantas dilirikkan ke sebelah dalam istana di mana di belakang sekosol ada sebuah pintu. Di situlah si dayang keluar masuk barusan. Tidak lama atau segera terdengar suara gelang beradu dan suara terseretnya pakaian yang panjang. Hoa Seng turut berpaling, hatinya tegang sendirinya. „Jikalau tuan puteri adalah adik Giokku, bagaimana?" hatinya, bertanya berulang-ulang. Lekas juga terlihat orang muncul di pintu model rembulan. Begitu ia melihat, hati Hoa Seng lega. Wanita itu memang cantik sekali tetapi dia bukannya si nona baju putih, bukannya Hoa Giok. Raja kelihatan tidak puas melihat siapa yang muncul itu. „Mengapa tuan puteri tidak keluar?" ia lantas menanya dayang itu. „Benarkah dia telah menerima baik dan pada kau telah diserahkan barang permatanya tanda pertunangan?" Hati Hoa Seng lega ia masih ragu-ragu. Nona ini jadinya ada dayangnya si tuan puteri. Hati Jatsingh tidak keruan rasa, hatinya itu berdenyutan. Untuk ia masih belum ada keputusannya. Dayang itu menyahuti raja. Katanya: „Tuan puteri bilang, karena tuan pangeran telah dapat menyembuhkan Sri Baginda, aturan ujian dapat dikurangi separuh …………” Raja masih tidak senang. „Separuh?" tanyanya. „Bagaimana itu?" „Tidak usah lagi menjalankan ujian ilmu surat, cukup ilmu silat saja," menyahut si dayang menerangkan. „Juga dalam ujian ilmu silat, tidak usahlah memenuhi semua upacara. Tuan puteri bilang, kalau tuan pangeran dapat mengalahkan aku, dia boleh bertemu sama tuan puteri, puteri yang mengadu pedang dengannya. Untuk ini, asal dia dapat seri melawan tuan puteri, cukuplah sudah dia memenuhkan syarat!" Suara itu, biar bagaimana, bernada keras. Jatsingh itu ketahui baik liehaynya tuan puteri. Buktinya banyak sudah calon putera-putera raja lainnya yang gagal. Bahwa ia paksakan diri mencari teratai salju itu pun karena niatnya dapat menyingkirkan dari ujian ilmu silat itu, siapa sangka, pulang pergi, tuan puteri tetap memegang erat-erat syaratnya itu. Tentu sekali, mendengar jawaban si dayang, ia menjadi tidak puas. Biar bagaimana juga, ialah murid kepala dari Liong Yap Taysoe, ia merasa bangga dengan kepandaiannya yang ia telah punyakan. Di dalam hatinya, ia kata: „Jikalau aku tidak menempur dia, tentulah dia bakal memandang tidak mata padaku." Maka ia lantas kata pada Raja Nepal: „Tuan puteri adalah wanita gagah, tuan puteri sudi memberi pengajaran padaku, inilah hal yang memintanya pun aku tidak berani. Hanya aku kuatir, jikalau menggunai golok atau pedang, nanti kita kesalahan tangan ……..” Pangeran ini ingin supaya acara mengadu silat itu diubah dengan ujian ilmu surat. Ia memikir, ujian ini tidak berbahaya, dan kalau ia gagal, tak usahlah ia malu ………. „Benar!" begitu terdengar suara raja, menyetujui pikirannya ini bakal calon menantu. „Tuan pangeran telah datang dari negara yang jauh, dia pun telah mengobati aku hingga sembuh, jikalau ujian mengadu silat dijalankan juga, tidakkah itu kita jadi berlaku tak selayaknya terhadap seorang tetamu? Wanran, pergi kau kembali kepada tuan puteri, kau sampaikanlah perkataanku ini. Biarlah, syarat ini yang separuh lagi pun dihapuskan saja." 15. Akal Muslihat Pangeran Nepal Dayang itu menurut perintah. Ia kembali ke dalam. Hanya tidak lama, ia sudah muncul pula. „Tuan puteri bilang, untuk menghapus semua syarat pun boleh," berkata ia, „cuma tuan puteri memberitahukan ada serupa barang tanda mata yang tidak dapat ditiadakan, yang tak boleh dikurangkan." Jatsingh menjadi tidak sabaran. „Barang apakah itu?" ia menanya, mendahului raja Nepal. Ia percaya ia mempunyai segala macam barang permata, karena negaranya kaya-raya. „Tuan puteri mendengar tuan pangeran telah menyembuhkan Sri Baginda dengan teratai salju," menyahut sang dayang, „maka itu sekarang tuan puteri menghendaki teratai salju itu sebagai pesalinnya." Jatsingh lantas saja berdiri menjublak. Negaranya boleh kaya akan tetapi dari mana ia dapat mencari teratai obat itu? Ia ketahui Koei Hoa Seng masih mempunyai dua kuntum bunga itu tetapi tidak dapat ia memintanya pula. Karena ini ia menjadi nekat, pikirnya: „Baiklah, aku nanti pergi ke Thian San untuk mencari teratai itu! Aku hendak lihat, apa lagi nanti kau bilang?" ia berpikir begitu baru sejenak, atau segera ia ingat: „Sungguh gampang aku berpikir! Bisakah aku mencari dan mendapatkan teratai itu di sana? Dan berapa banyak bulan dan tahun aku bakal menggunakannya?" Maka itu, terus ia berdiri diam. Ia jadi ngelamun, ia mengharap Hoa Seng nanti memberikan ia sekuntum yang lain ………… Hoa Seng pun berpikir keras. Syaratnya puteri itu luar biasa. Setelah menanti sebentar, si dayang berkata pula: „Jikalau tidak ada bunga teratai salju, maka syarat ujian harus dijalankan. Tuan puteri membilangnya, dengan jalan ini ia hendak memberikan kelonggaran kepada tuan pangeran, coba lain orang, biarnya dia mempunyakan teratai salju, ujian mesti dilakukan juga!" Selagi mengucap demikian, dayang itu melirik kepada si anak muda she Koei, untuk sambil bersenyum ia menambahkan: „Hanya tuan puteri menjelaskan juga, jikalau toh ada lain orang, yang benar-benar mempunyai teratai salju dan orang itu suka menghadiahkannya kepada tuan puteri, tidak nanti tuan puteri menerimanya itu dengan cuma-cuma, untuk itu tuan puteri suka membalas menghadiahkan serupa mustika yang tidak ada bandingannya di kolong langit ini." „Mustika apakah itu ?" Hoa Seng tanya keterlepasan. „Aku pun tidak tahu mustika itu mustika apa," sahut si dayang, „tuan puteri melainkan memberitahukannya bahwa mustika itu, siapa pun yang mendapatkannya, dia bakal tak lawannya di kolong langit ini! Tuan, apakah kau mempunyai soat-lian asal gunung Thian San itu? Kalau benar, janganlah kau lewatkan ketika yang baik ini! Umpama kata kau tidak berani mengadu kepandaian dengan tuan puteri, atau umpama kata kau tidak berniat menikah dengan tuan puteri kami, dengan mendapatkan mustika itu, cukuplah untuk kau menjagoi di dalam dunia ini!" Hoa Seng heran hingga hampir ia lompat berjingkrak. „Bukankah yang dikatakan tuan puteri itu ialah pedang inti es Pengpok Han-kong kiam? Ah, mungkinkah ……. mungkinkah tuan puteri ini ialah aku punya adik Hoa Giok?" katanya di dalam hati, penuh kesangsian. „Ah tidak, tidak, itulah sukar untuk di percaya ……! Juga raja Nepal menjadi heran sekali. Aneh perkataannya dayangnya itu. Ia kata di dalam hatinya, „Di mana di dalam istanaku ada semacam mustika aneh?" Ia menjadi berpikir karenanya. Lalu mendadak ia ingat apa yang terjadi malam tadi. Puterinya telah mengatakan bahwa telah terdengar kabar ke negara mereka ada datang seorang pemuda Tionghoa yang gagah perkasa, yang ada membawa serupa obat mujarab, karena mana puteri itu minta raja, sang ajahanda, suka mengundang tetamu Tionghoa itu. Raja sangat mempercayai puterinya itu, kebetulan ia pun lagi sakit maka itu ia tidak memikir untuk menanyakan jelas bagaimana caranya sang puteri telah mendapat tahu perihal tetamu Tionghoa itu. Sekarang, setelah berpikir sejenak, ia bagaikan mendusin. „Ah, pantaslah dia menyuruhnya aku menyambut tetamu Tionghoa itu, kiranya dia telah penuju di hatinya ….." pikirnya akhirnya. Karena ini diam-diam ia melirik kepada Koei Hoa Seng. Ia mendapatkan orang tampan, menang jauh, dari pada si pangeran dari India itu. Hanya sebentar kemudian ia berpikir pula: Jatsingh tetap ada putera raja dan Hoa Seng mana dapat dibandingkan dengan pangeran itu. Selagi Hoa Seng heran dan girang. Jatsingh mendongkol dan masgul, maka masih saja ia menjublak. Raja sendiri tentu saja ia terbenam dalam keragu-raguan. Maka itu, dalam saat itu, semua orang pada berdiam. Syukur tidak lama, keadaan tegang itu dapat diredakan. Seorang pahlawan datang masuk bersama seorang lama Putih, atas mana raja berkata, „Pendeta dari Tiongkok telah tiba!" Terus ia menoleh kepada dayangnya untuk berkata: „Kau kembali dulu ke dalam! Kau bilangi tuan puteri untuk ia berpikir pula baik-baik, jangan sekali ia mengacau …….!” Begitu lekas si lama Putih tiba di undakan tangga pendopo, Hoa Seng menjadi girang sekali. Ia mengenali Maskanan. Sebaliknya Maskanan, melihat Hoa Seng berada di dalam istana ini, ia tidak menjadi heran. Karena lebih dulu dari pada ini ia sudah tiba di Istana Potala di mana ia bertemu sama Buddha Hidup dan Buddha Hidup telah memberitahukannya bahwa Hoa Seng telah berangkat ke Nepal dengan dbekali surat perkenalan untuk raja Nepal. Hanya, biar bagaimana, karena mereka adalah sahabat-sahabat lama, ia pun girang sekali. Sebaliknya si putera raja Nepal yang menjadi tidak tenang. Ia kuatir sekali Maskanan nanti membeber peristiwa di dalam Kota Iblis. Maskanan memberi hormat kepada raja Nepal seraya menghaturkan suratnya raja agama Putih. Raja Nepal menerima surat itu dan membacanya, habis mana dia terkejut. „Kenapakah tongkatnya raja kamu bisa berada di dalam negaraku?" ia tanya. „Selama siauwceng berada di Tibet, tongkat suci itu lenyap," Maskanan memberi keterangan. „Tongkat itu telah dirampas oleh guru negara Sri Baginda." Sembari memberikan keterangannya itu, lhama Putih ini menoleh kepada putera raja Nepal yang ketika terjadi perampasan tongkat ada hadir bersama, bahkan putera raja itu turut turun tangan. Bukan main gelisahnya putera raja, segera dia menyelak. Katanya: „Kira-kira di bulan dua dan tiga, bersama-sama guru negara aku telah pergi ke Istana Potala untuk menghormati Buddha Hidup, sepulangnya dari sana karena paman kurang sehat, sampai sekarang aku belum sempat menjelaskan sesuatu." Pangeran ini bicara benar hanya separuh. Yang pergi ke Istana Potala adalah si pendeta jubah Merah, ia sendiri berada di Kota Iblis mengatur daya upaya untuk menyerbu Tibet. „Kalau begitu, kau jadinya ketahui duduknya urusan?" raja bertanya. „Harap paman ketahui," berkata putera raja, „tongkat dari raja agama Putih itu memang benar telah dirampas oleh Maran Hoat-soe." Maran ialah namanya pendeta agama Merah itu. Dialah pendeta yang biasanya sangat dipercaya raja Nepal. Maka itu, mendengar keterangan itu, raja terkejut. „Maran Hoat-soe, mengapa dapat terjadi peristiwa ini?" ia tanya pendeta itu. „Paman," pangeran berkata pula, mendahului. „jikalau paman tidak menanyakannya, tidak berani aku bicara. Maran Hoat-soe itu besar sekali cita-citanya, dia hendak menelad contohnya Buddha Hidup dari Tibet untuk dapat mengangkat dirinya menjadi Buddha Hidup di negara kita ini, supaya dia dapat berkuasa melebihi kekuasaan raja sendiri. Itulah sebabnya kenapa dia sudah merampas tongkat suci dari raja agama Putih. Tongkat itu adalah benda suci dan agung dari agama Sang Buddha, dengan begitu maka kemudian dialah orang yang akan paling dimuliakan!" Raja Nepal tercengang. „Bukankah tadi Papo telah membilangnya?” berkata pula pangeran. „Bukankah selama di benteng dari pasukan pengiring raja, di sana pun hadir Maran Hoat-soe?" „Benar," berkata Papo. „Guru negara telah memberi nasihat kepadaku supaya aku menuruti perkataannya congkoan Gielim- koen." „Berkhianat! ……….. berkhianat!" berseru raja gusar. „Maka itu menurut dugaanku," kata lagi pangeran, yang menggunai ketikanya yang baik itu, „berhubung sama soal meracuni, mungkin itu keluar dari pikirannya guru negara, hanya dia memerintahkan pasukan Gie-lim-koen yang melaksanakannya!" „Memang begitu mestinya!" berkata raja, yang kena terpengaruh. „Maka itu aku minta paman memerintahkan supaya Hoat-soe ditangkap!" kata pangeran akhirnya. Perbuatannya pangeran Nepal ini ada di luar sangkaannya Koei Hoa Seng dan Maskanan. Terang pangeran itu lagi main gila, untuk mengadu satu pada lain. Akan tetapi di depan raja itu, mereka tidak dapat mengambil tindakan guna membeber kedustaannya pangeran itu. Pula Maskanan cuma ingin mendapat pulang tongkatnya, ia tidak memikir akan menimbulkan gara-gara. Ia pun tahu, pangeran itu, sebagai keponakan raja Nepal, besar sekali pengaruhnya, kekuasaan atas angkatan perang berada di tangannya. Bahkan bagus sekali kalau pangeran itu mau menawan guru negara itu, untuk ia mendapatkan tongkatnya. Memang bagus kalau raja Nepal tak usah terseret-seret urusan tongkat itu. Raja Nepal berpikir keras, lalu dia berkata: „Guru negara liehay dan banyak kambratnya, kelihatannya cuma kau yang dapat menawan dia, yang dapat membikin dia puas ……." „Dalam urusan besar ini memang sudah selayaknya aku yang harus turun tangan," berkata pula si pangeran, „pantas kalau aku bekerja untuk paman, cuma ada satu hal yang aku hendak ajukan supaya paman suka mengambil keputusannya." „Kau bilanglah, apa itu?" raja tanya. „Guru negara gagah sekali, di dalam negara kita, dia menang tidak ada tandingannya," berkata pangeran, menjelaskan. „Atau umpama kata dia dapat dibekuk oleh kita, mungkin sekali bakal roboh banyak kurban di pihak kita. Maka itu aku hendak mengusulkannya. Di sini ada Tuan Koei bersama pangeran Jatsingh yang gagah-perkasa. Di sini pun ada Maskanan utusan dari raja agama Putih, yang datang jauh dari Koko-Nor, Tiongkok, yang pun ada seorang gagah. Maka itu aku memikir untuk meminta bantuannya mereka ini bertiga untuk merekalah yang menawan guru negara. Umpama kata Pangeran Jatsingh yang dapat menawannya, bukan main besarnya jasa dia untuk negara kita, sedang menurut undang-undang kita, jasa itu luar biasa sekali, hingga luar biasa juga hadiahnya untuknya. Menurut pikiranku, apabila itu sampai terjadi, baiklah dengan kekuasaan paman, dia boleh dijodohkan dengan adikku. Pasti sekali perjodohan itu bakal disambut dengan gembira oleh seluruh negara, bahkan adik juga tentunya tidak dapat membilang suatu apa! Jikalau seandainya yang dapat menangkap ialah Tuan Koei ini, untuk hadiahnya itu, paman bolehlah menanyakannya kepadanya sendiri, supaya dia dapat dibuat puas karenanya!" Pangeran ini tidak menjelaskan tetapi sudah terang, umpama kata Hoa Seng meminta tangannya puteri Nepal, permintaan itu pun boleh diluluskan. Hoa Seng menjadi heran, ia menjadi curiga. Bukankah selama di Kota Iblis ia telah ketahui baik sekali di antara pangeran ini dan guru negara, si pendeta Merah, ada kerja sama, mereka berdua ialah satu komplotan? Kenapa, sekarang pangeran itu bicara jelek dari hal guru negara dan bahkan menghendakinya guru negara itu ditangkap dan disingkirkan dari dalam dunia ini? Pasti sekali Koei Hoa Seng tidak mengetahui jelas duduknya kejadian. Orang yang meracuni raja Nepal adalah ini keponakan raja atau pangeran. Inilah disebabkan raja Nepal, untuk takhtanya, telah mengambil cara Barat, atau cara negara-negara Timur yang modern. Tegasnya, walaupun puteri, dia dapat mewariskan mahkota kerajaan. Bukan seperti di Tiongkok di mana seorang puteri tidak dapat mewariskan kerajaan. Raja Nepal ada mempunyai hanya seorang puteri dan sanak yang terdekat ialah si pangeran, maka itu, kalau tidak puteri, si pangeranlah yang nanti menggantikan menjadi raja. Juga menteri-menteri terpecah dalam dua rombongan, yang satu menghendaki puteri menjadi raja, yang lain menyokong pangeran ini. Karena itu, si pangeran telah berdaya mendapatkan takhta. Puteri sendiri tidak menghiraukan kedudukan raja itu, tidak demikian dengan si pangeran. Dia ini, kecuali mengharapi kedudukan raja, hendak juga dia menelan Tibet. Dia tahu baik sekali kalau dia berhasil merampas Tibet, dia bakal dijunjung dan dipuja rakyat Nepal, hingga kesudahannya dialah akan menjadi raja yang pengaruhnya sangat besar. Maka itu, bagaimana dia bergelisah ketika di luar kehendaknya, Koei Hoa Seng secara kebetulan mendapat tahu cita-citanya yang besar itu. Maka sepulangnya ke negerinya, dia lantas berserikat sama Maran Hoat-soe dan congkoan Gie-lim-koen itu. Untuk meracuni raja, mereka jeri terhadap puteri, dari itu mereka menggunai asura, itu bunga yang cuma terdapat di gunung Himalaya, yang dicampur sama obat beracun lainnya yang sifatnya lunak hingga raja sakit meroyan tanpa diketahui sebabsebabnya, tanpa tanda-tandanya juga. Sebenarnya, lagi satu bulan, raja bakal mati tidak keruan, tetapi ia masih panjang umur, ia dapat ditolong soat-lian dari Hoa Seng meskipun pertolongan datang secara tidak langsung. Tentu sekali pangeran itu takut rahasianya terbuka. Untuk membela diri, guna menutup terus rahasianya itu, ia berlaku kejam, ia telan kawan sendiri. Demikian paling dulu congkoan dari Gie-lim-koen dihabiskan jiwanya, sesudah mana akan menyusul Maran Hoat-soe, si guru negara. Tapi ia licik sekali, diam-diam ia memberi kisikan kepada Maran Hoat-soe agar dia ini segera melarikan diri, lalu dia mengusulkan Jatsingh dan Hoa Seng, untuk menangkap guru negara itu. Di samping semua itu, juga Timotato atau Bapak Daud adalah orang undangannya pangeran Nepal ini. Orang Arab ini diundang untuk membantu dia mendaki pucuk Cholmo Lungma, ia tidak diberitahukan maksud yang sebenarnya dari si pangeran. Untuk menyingkirnya guru negara, pangeran itu minta Timotato menjadi pangantar. Dengan ini ia mengharap Hoa Seng atau Jatsingh, atau dua-duanya, nanti terbinasa di tangannya Timotato yang kosen itu. Pasti sekali, Hoa Seng dan si pangeran dari India tidak pernah menduga kelicikan pangeran itu. Dua-dua Jatsingh dan Maskanan bersedia akan menerima baik permintaannya raja Nepal untuk menangkap guru negara itu. Si pangeran dari India tidak memikir lain asal ia memperoleh tangannya puteri Nepal dan Maskanan mengharapi kembalinya tongkat sucinya. Cuma Hoa Seng yang bersangsi. Ia kata: „Untuk menyingkirkan seorang pengkhianat, aku tidak menampik, melainkan aku tidak mengharapi hadiah." Raja girang yang orang telah meluluskan permintaannya itu, maka syaratnya Hoa Seng itu ia tidak buat pikiran iagi. Ia lantas mengasi perintah untuk menyiapkan tiga ekor kuda pilihan, semua kuda asal Arabia, dan pangeran diperintah turut, untuk mengepalai penangkapan itu. Sekeluarnya dari istana, pangeran lantas memecah jalan. „Aku tahu," berkata Jatsingh, yang segera melarikan kudanya. Ia mengambil jalan lempang, akan menuju ke benteng dari pasukan Gie-lim-koen. Pangeran Nepal mengambil jalan motong, untuk pergi ke tempat penjagaan api unggun, katanya untuk sekalian minta bantuannya tentera penjaga di sana. Tidak ada setengah jam, rombongan Hoa Seng telah tiba di kaki gunung di mana mereka melihat api berkobar-kobar di benteng yang modelnya kuno itu. „Tepat dugaannya si pangeran Nepal," pikir Hoa Seng. „Terang sudah si pendeta Merah kabur malam-malam. Entahlah Timotato, dia turut kabur bersama atau tidak." Hoa Seng ingin memberi ingat kepada Maskanan, untuk berwaspada, siapa tahu wakilnya raja agama Putih itu sudah kabur jauh dengan kudanya, yang dikasi lari keras, walaupun dia disusul, dia tidak dapat dicandak. Di timur, cahaya terang sudah mulai terlihat. Sang fajar telah tiba. Hoa Seng berlari-lari sambil berpikir. Ia merasa pengalamannya ini luar biasa. Tiba-tiba ia mendengar seruan berulang-ulang dari Maskanan : „Lekas! Lekas! Aku telah mendapat dengar suara roda keretanya!" Pangeran dari India mengeprak kudanya, untuk lari mendahului. Ia seperti takut ketinggalan oleh Hoa Seng, yang ia segera lewatkan. Melihat demikian, pemuda she Koei itu bersenyum. Hoa Seng melihat ke depan. Ia menampak sebuah selat yang panjang, yang berliku juga, hingga sukar untuk melihat jauh. Benar dari dalam selat itu ada terdengar suaranya roda kereta. Di antara tiga orang itu, Maskanan yang dapat lari pesat dan paling dulu. Inilah disebabkan dia dibesarkan di Koko-Nor di mana dia biasa melarikan kudanya dipadang rumput datar. Maka itu, mengejar belum lama, berhasillah dia menyandak kuda kereta di depan. Dia pun lantas mengayun tongkatnya ke arah kuda kereta sampai beberapa ekor kuda itu kaget dan berlompat berjingkrak sambil meringkik keras, sampai keretanya terangkat. Sebagai kesudahan dari itu, dari dalam kereta terlempar jatuh banyak permata emas dan perak. Mungkin itulah harta yang dibawa lari setelah Maran Hoat-soe membakar benteng itu. „Lekas keluar!" Maskanan berseru ke arah kereta selagi ia maju ke samping kereta itu. Dengan tongkatnya ia pun mengancam. Sekonyong-konyong dari dalam kereta terdengar tertawa dingin yang diikut dengan kata, mengejek: „Kau makhluk apa maka kau berani membentak aku?" Lalu dengan disingkapnya tenda kereta, terlihat munculnya satu kepala orang yang hidungnya bengkung. Dialah seorang imam bangsa Arab. Maskanan tidak kenal Timotato, ia melengak. Setelah melengak sebentar, hendak ia menghaturkan maaf, atau mendadak ia merasakan dorongan angin keras sekali. Ia lantas, menangkis dengan tongkatnya, sedang kagetnya pun tidak terkira. Tapi itu masih belum semua. Serangan angin itu sangat hebat, tongkat terpental, telapakan tangan Maskanan dirasakan sangat sakit. Yang paling hebat ialah ia merasa kepalanya pusing, bumi bagaikan terputar, tanpa dapat mempertahankan diri lagi, ia roboh dari atas kudanya. Maka syukurlah untuknya, dalam ingatannya samar-samar, kedua kakinya ia menyangkelkannya di sanggurdi, dengan begitu ia jadi kena terbawa kudanya itu. Hanya celaka itu binatang tunggangan, lari baru belasan tombak, dia roboh sambil meringkik keras dengan habis jiwanya! Itulah sebab binatang itu terhajar dahsyat oleh Timotato, kepalanya pecah. Syukur untuk Maskanan, dia berkelit cepat, lalu kudanya menalangi padanya, maka itu, ia hanya tak sadarkan dirinya. Ketika itu Jatsingh tiba bersama kudanya. Ia telah mendengar teriakannya Maskanan. Tentu saja tidak ada ketika untuknya buat menolongi kawan itu. Maka sambil berlompat dari kudanya, ia menghunus gembolannya. Ia berlompat ke arah kereta. „Tuan pangeran, jangan tak tahu selatan!" Timotato berseru. „Lekas menyingkir!" Meski dia berseru dengan pemberian ingatnya itu, Timotato toh menyerang hingga tubuhnya si pangeran terpelanting, hingga dia mesti membuang dirinya sambil berlompat, gembolannya terlepas, terlempar menghajar kereta hingga rusak bahagian yang terhajar itu. „Timotato!" berseru Jatsingh. „Kiranya, kau!" Tajam seruan itu, saking heran dan kaget. Pangeran ini kenal Bapak Daud karena pada, tiga tahun yang baru lalu Bapak Daud pernah pergi ke India di mana dia pergi mengunjungi Liong Yap Taysoe, untuk mengajak orang berilmu itu bicara dari hal ilmu silat akan tetapi Liong Yap Taysoe cuma melayani dengan merundingkan tentang agama, sesudah mana, dia diantar pergi. Adalah di itu waktu, pangeran ini bertemu sama jago dari Arabia itu. Timotato heran yang ia tidak dapat merobohkan pangeran itu, meski benar ia tidak menggunai pukulan dari kematian, karena ke satu ia masih memandang Liong Yap Taysoe, kedua karena orang adalah putera raja. Jatsingh pun jeri melihat Timotato, tetapi ia penasaran. Ia hendak mendapatkan tangan puteri Nepal, ia tidak suka pulang dengan tangan kosong. Maka ia berkata: „Sekarang ini aku lagi menerima tugas dari Raja Nepal untuk menawan Maran Hoatsoe!" Jatsingh berkata begitu sebab ia telah melihat, di antara kereta yang sudah rusak tendanya, Maran lagi duduk numprah di atas kereta itu, duduk di atas tumpukan mutiara. „Aku ada di sini, siapa yang berani menawan dia?" berkata Timotato sambil tertawa dingin. „Aku pernah merantau ke banyak negara, di negeri mana saja, sesuatu rajanya menaruh hormat padaku! Nah, kau pergilah pulang!" Jatsingh bersangsi sebentar, lantas ia bertindak maju. „Kau biarkan aku membawa dia pergi," katanya. „Habis itu, kau boleh pergi kepada Raja Nepal untuk memintanya pulang, itu waktu aku tidak akan campur tahu lagi!" Timotato melirik putera raja itu. Ketika itu, Hoa Seng pun tiba. Pemuda itu telah mengasih kudanya lari keras. „Di dalam kamusku tidak ada perkataan minta!" berkata Timotato dingin sambil ia melirik itu pemuda Tionghoa. Tapi ia tidak cuma berbicara, ia lantas lompat turun dari kudanya, untuk menyerang pangeran dari India itu. Bapak Daud bertindak begini karena ia melihat datangnya Hoa Seng. Ia kuatir Hoa Seng nanti bekerja sama Jatsingh. Kalau itu terjadi, sungguh ia bakal mendapat lawan berat, dari itu ia hendak turun tangan terlebih dulu. Ia menginsafi bahaya yang mengancam Maran itu. Di pihak lain, ia juga kuatir yang nama besarnya nanti runtuh. Ia anggap berkelahi cepat pun tidak akan mensia-siakan kepercayaannya pangeran Nepal terhadapnya. Di luar dugaannya, ia menghadapi satu lawan yang tidak dapat dipandang enteng. Jatsingh telah mempunyai latihan yoga dari enam atau tujuh tahun, dia dapat membuat perlawanan dengan baik. Bahkan satu kali, ketika pundaknya dihajar, pundak itu dapat diegos dengan manis. Dengan ilmu yoganya, tubuh Jatsingh menjadi lemas sekali. Timotato gusar yang serangannya itu gagal bahkan dia dibalas diserang. Maka ketika ia menyerang pula, ia menambah tenaganya sampai delapan bagian. Ia seperti sudah tidak memandang lagi orang ada seorang putera raja dan muridnya Liong Yap Taysoe. 16. Kiranya Tuan Puteri Nepal .......... Jatsingh merasakan satu tolakan keras sekali, hingga ia seperti sukar bernapas, meski demikian, ia masih bertahan, tubuhnya tidak juga kena dirobohkan. Setelah ia berkelit sambil memutar tubuh, ia menghunus sebatang pedang pendek, dengan apa ia membalas menyerang di saat Bapak Daud belum sempat menarik pulang kedua tangannya yang dipakai menyerang itu. Ujung pedang itu cepat sekali meluncur ke arah lengan. Di saat itu, Hoa Seng sudah tiba lagi satu tombak lebih. Timotato melihat ancaman bahaya, dia lantas berseru, tangannya digeraki, dipakai menyerang pula. Jatsingh terkejut, pedang pendeknya itu terlepas dan jatuh ke tanah, dadanya pun terasakan seperti terhajar gembolan, sedang punggungnya seperti tertindih bukit. Tanpa ia merasa, tubuhnya itu sudah kena digencet, ditolak dan ditindih. Tak dapat ia bertahan lagi maka robohlah ia dengan tak sadarkan diri. Adalah di detik itu, Hoa Seng lompat turun dari kudanya, dengan tangan menyekal pedang Theng-kauw-kiam terhunus, ia menghampirkan Timotato. Bapak Daud melihat datangnya orang, dia tertawa berkakak. „Apakah kau bersendirian saja?" tanyanya memandang enteng. ,,Ke mana perginya itu orang yang membantu kau dengan peluru inti esnya?" Hatinya Hoa Seng terkesiap. Tadi malam pun ia telah mencurigai itu hawa dingin yang luar biasa adalah es atau inti es dari dalam guha es. Sekarang itu telah dibuktikan oleh Timotato bahwa itulah peluru es inti. Timotato adalah ahli silat yang pandai, yang banyak pengetahuannya, maka apa yang dia bilang itu tidak dapat disangsikan kebenarannya. Maka itu, benarkah si nona baju putih adalah puterinya raja Nepal? Kalau bukan, maka dari manakah datangnya peluru es itu? Tengah Hoa Seng berpikir begitu, ia merasakan dorongan dari tenaga yang keras sekali. Sebab Timotato telah menyerang ia dengan kedua tangannya yang kuat itu. Ia terkejut, lekas-lekas ia berlompat tinggi. Dengan mengapungi diri itu, bisalah ia menyelamatkan dirinya. Habis itu, selagi tubuhnya turun, ia membabat dengan pedang mustikanya. Timotato pun menyingkir dari tabasan itu. Tidak perduli Hoa Seng telah melayani dengan baik, ia toh telah berada dibawah angin. Timotato sudah dapat merampas kedudukan, dia terus menyerang, serangannya itu berantai, bagaikan gelombangnya sungai Tiang Kang yang mendampar saling susul. Maka, setelah lewat limapuluh jurus, si anak muda merasa dadanya mulai sesak, kepalanya pusing, matanya kabur. Ia merasa pertempuran kali ini jauh terlebih hebat dari pada pertempuran di benteng tua tadi malam. Memang juga pertempuran kali ini beda dengan pertempuran kemarinnya. Pertempuran tadi malam itu benar ada mengenai juga nama baik akan tetapi di antara mereka berdua tidak ada permusuhan besar, karena itu Timotato tidak menggunai jurusjurusnya yang liehay yang dapat meminta jiwa orang. Kali ini ada lain. Kali ini Bapak Daud hendak membalas sakit hatinya untuk tusukan tadi malam dan di samping itu, ia sibuk melindungi Maran, supaya Hoat-soe itu bisa lolos dari bahaya. Maka ia berkelahi dengan sungguh-sungguh, ia tidak memikir untuk mengasi ampun pula. Ini pula sebabnya, tadi malam Hoa Seng dapat bertahan sampai seratus jurus lebih akan tetapi sekarang, baru limapuluh jurus, ia sudah keteter. Mendapatkan keadaan tak baik untuk pihaknya, Hoa Seng mengandalkan pula keringanan tubuhnya, dengan kelincahannya, ia berputar di sekitar tubuhnya lawan, maka itu sinar pedangnya lantas bergemirlapan pula. Timotato sudah memperoleh pengalaman bertempur tadi malam melawan ini musuh yang lincah, ia sudah memikirkan daya untuk melayaninya. Ia lantas menggunai tenaga Im, dengan itu ia hendak memecahkan tenaganya Hoa Seng, untuk ia dapat „membetot" orang, agar lawan itu tidak dapat menyingkir dari ianya. Ia menanti ketikanya, lalu mendadak ia berseru keras membarengi tolakan kedua tangannya. Ia telah mengerahkan seluruh kekuatannya, maka itu dari lunak, mendadak ia menjadi keras sekali. Dengan serangan ini ia bagaikan memecah sinar pedangnya Hoa Seng itu, sesudah mana, ia mendesak sambil berbareng menggunai tenaga Im-yang. Hoa Seng menjadi kaget. Ia merasakan dirinya bagaikan perahu enteng memain di antara gelombang dahsyat, tubuhnya itu seperti kehilangan pepegangan. Di saat anak muda ini terancam bahaya itu, tiba-tiba kupingnya dapat mendengar suara seruling yang terbawa angin. Itulah suara seruling yang sangat halus dan meresap untuk pendengaran. Itulah juga suara seruling yang sama yang ia dengarnya di waktu malam di Kota Iblis. Begitu lagu itu masuk ke kupingnya, begitu ia mendapatkan perasaan aneh, dengan sendirinya semangatnya terbangun, hingga ia lantas saja pulih ketenangannya, tidak lagi ia merasa bagaikan perahu enteng di antara permainan sang gelombang itu. Demikianlah secara berantai ia dapat melakukan penyerangan membalas. Dengan sekejap saja ia seperti hebas dari tindihan yang berat. Di pihaknya Bapak Daud, kapan ia telah mendengar suara seruling itu, hatinya yang tadinya sangat mantap lantas menjadi berubah. Ia juga terkesiap kapan ia melirik ke arah Maran Hoat-soe. Mendadak saja guru agama itu berlompat turun dari kereta kudanya, lantas dia berlompat naik ke atas kuda jempolan yang ditinggalkan pangeran Jatsingh, sembari berbuat begitu dia berkata dengan nyaring: „Maafkan aku, aku hendak berangkat terlebih dahulu! Nanti di Mekkah kita orang bertemu pula!" Kuda itu segera dicambuk hingga dia lari kabur, hingga sebentar saja dia sudah keluar dari lembah yang sempit itu. Bapak Daud menjadi sangat tidak puas, tak senang hatinya. Kenapa orang lari selagi ia melindunginya? Karena ini, ia menjadi berpikir. Justru itu, suara seruling lantas berhenti. Sebagai gantinya, di situ muncul seorang wanita dengan baju putih, baju dan celananya berdebaran di antara sampokan sang angin, hingga dia mirip seorang bidadari. Nona itu berlompat turun dari atas gunung. Kapan Koei Hoa Seng telah melihat si nona, ia girang ba¬gaikan kalap. „Adik!" ia berseru. Si nona tertawa. „Kau tidak takut menempuh bahaya, kau hendak mencoba membekuk Maran, aku sangat bersyukur kepadamu!" katanya, manis. Setelah itu ia menoleh kepada Timotato, suaranya pun seperti salin rupa ketika ia berkata kepada jago dari Arabia itu, sebab suara itu sangat dingin. Katanya: „Bangsa Nepal biasanya paling senang menyambut tetamu akan tetapi orang semacam kau ini, yang lancang dan sembrono, kau tidak mendapat penyambutan yang menyenangkan, maka lekaslah kau berlalu dari sini!" Bapak Daud ini sudah sering sekali merantau, ke pelbagai negara, di mana ia tiba di situ ia disambut dengan baik, baikpun oleh golongan orang bangsawan, sama sekali belum pernah ia menerima penyambutan begini dingin. Maka tanpa merasa, ia menjadi gusar sendirinya. „Hai, budak cilik!" ia membentak. „Kenapa kau berani berlaku kurang ajar begini terhadap aku? Apakah kau tidak ketahui akulah tetamu undangan yang dihormati oleh putera rajamu?" „Siapa yang dapat menghargai dirinya sendiri, barulah dia mendapat penghargaan orang," berkata si nona, tenang. „Bukankah di antara kamu bangsa Arab ada semacam ujarujar? Tetamu yang diundang, dia harus memegang aturan tata sopan-santun! Raja hendak menawan Maran, maka hak apa kau mempunyainya untuk menghalang-halangi? Apakah ada seorang tetamu yang diundang yang sikapnya begini kurang ajar?" „Adik kecil, hati-hati!" berseru Hoa Seng selagi si nona berkata-kata itu. Sebab Timotato, dalam murkanya yang sangat, tanpa menanti orang bicara habis, sudah lantas menyerang dengan kedua belah tangannya. Hoa Seng tidak cuma memberi peningatan kepada ia punya „adik Hoa" itu, dia bahkan maju menikam si jago dari Arabia yang tangguh itu. Sebaliknya si nona baju putih, begitu ia diserang, begitu tubuhnya terapung naik, terapung dengan lincah sekali, sikapnya pun tenang seperti tadinya. Bahkan di dalam saat sangat terancam itu, ia masih mengambil kesempatan akan melirik si anak muda, sambil tertawa manis, mulutnya yang mungil mengatakan: „Terima kasih untuk kebaikanmu!" Menyaksikan kelincahan tubuh nona itu, Timotato kaget tak terkirakan. Di sebelah itu, ia juga mesti menangkis tikamannya Hoa Seng. Tapi ia tidak takut, malah ia tetap gusar dan penasaran, maka habis menghalau pedang si anak muda, ia menyerang kepada si nona. Ia menggunai tenaga Im, guna membetot nona itu yang ia niat banting ringsak! Di saat Timotato menggeraki tenaganya yang hebat itu, dari atas, ialah dari arah si nona, ada sebuah benda putih berkilau seperti beling sebesar mutiara menyambar turun, karena benda itu terhajar pukulan, sedetik itu juga dia hancur lebur, hanya sehabis itu, berbareng sama buyarnya, terasalah hawa yang dingin sekali, hingga si orang Arab menjadi menggigil sendirinya. hingga ia mesti terpaksa mundur tiga tindak. „Ha, budak, kiranya kaulah yang tadi malam menyerang aku dengan peluru es ini ?" ia berseru. Peluru es inti itu ialah Peng¬pok sin-tan. Sementara itu Hoa Seng, sedatangnya si nona, sudah mendahulukan mengempos semangatnya, untuk bersedia melawan hawa dingin. Ia telah memahamkan ilmu tenaga dalam dari Tatmo Couwsoe, selama di guha es pun ia telah mempunyakan pengalaman, dari itu hawa dingin dahsyat dari Pengpok Sintan tidak dapat mengganggu padanya. Tidaklah demikian dengan Timotato, hanya walaupun menggigil, dia masih bertahan. Menyaksikan ketangguhan orang Arab ini, kecuali Hoa Seng, si nona pun kagum. Di dalam hatinya, kedua muda mudi itu memuji: „Tak kecewa jago dari Arabia ini!" Tadi malam Timotato bertempur sambil sebelah tangannya memegangi kereta, tubuhnya seperti tergantung, dari itu dengan kena dihajar peluru es, dia jadi kena ditikam satu kali oleh Hoa Seng, sekarang dia berdiri tegak di tanah, dia pun tengah siap sedia, maka itu, tidak berhasil si anak muda menikam kepadanya. Si nona telah lantas turun pula, tubuhnya nampak melayang secara enteng sekali. Ia bukan lantas menghadapi Timotato, hanya sambil memandang Hoa Seng dan tertawa manis, ia berkata : „Kau lihat, pedang Pengpok Han-kong-kiamku telah rampung dibikin!" Kata-kata ini disusul sama gerakan sebelah tangannya, mengasi berkelebat sebuah benda yang terang bercahaya berkeredepan, benda mana bukannya emas bukannya besi, mirip dengan kristal, romannya seperti pedang. Sebab seperti katanya, itu pun Pengpok Han-kong-kiam, ialah pedang inti es! Kapan si nona telah mengibas dengan pedangnya yang istimewa itu, kecuali sinar terangnya itu yang berkeredepan, juga tersebar hawa dinginnya, sampai Timotato menggigil pula dan giginya bercatrukan. Lekas-lekas dia mengibas dengan kedua tangannya, untuk mencoba menghalau hawa dingin itu, menyusul mana, dia maju menyerang. Kibasannya itu membuatnya hawa dingin terpukul mundur, maka itu, dapat dia terus menyerang. Si nona melayani jago dari Arabia ini, dengan lantas mereka bertarung seru. Si nona menanti sampai sudah seratus jurus, lagi-lagi ia mengibas dengan pedangnya yang berhawa dingin itu. Kali ini ia menggunai ilmu silatnya Pengcoan Kiam-hoat, ilmu silat pedang Sungai Es itu. Maka berulang-ulang ia telah mendatangkan hawa yang sangat dingin. Koei Hoa Seng mendongkol dan penasaran, ia tidak mau berdiam saja, ia juga maju menyerang, maka itu Timotato jadi kena dikepung berdua. Dengan begitu, kedua pedang mustika itu seperti bergabung, bersatu padu. Setelah banyak jurus berlangsung, hawa dingin jadi semakin hebat, hawa itu bagaikan membeku, maka bagaimana liehay juga pukulan angin dari Timotato, sekarang dia tidak dapat menghajar buyar. Karena dia telah menggunai tenaga terlalu besar, sekalipun dia diliputi hawa dingin luar biasa, dia toh mengeluarkan peluh, keringatnya berketel-ketel di jidatnya. Sebaliknya, tubuhnya menggigil terus! Timotato adalah satu jago dan berpengalaman, lantas dia berpikir: „Kalau aku terus bertahan, meski aku bisa melawan sampai lagi satu atau dua jam, kesudahannya menang atau kalah masih belum bisa dipastikan, yang terang ialah akhirnya aku bakal mendapat sakit berat. Maran sudah kabur, dari itu untuk apa aku menjual jiwaku untuknya?" Segera juga ia mengambil putusan. Ia lantas mengerahkan tenaganya di tangan. Dengan tiba-tiba ia menyerang hebat. hingga ia dapat membikin kedua pedang yang rapat menjadi renggang. Berbareng dengan itu, ia lompat melesat, memoloskan diri di antara renggangan itu, terus bagaikan terbang, dia lari pergi. Koei Hoa Seng menjadi kagum melihat ketangguhan orang itu. „Apakah ini bukannya impian?" ia tanya kemudian. Matahari baru muncul, sinarnya indah. Hawa dingin pun mulai lenyap per-lahan-lahan, demikianpun hawa dingin di tubuh si anak muda. „Pasti bukan!" sahut sang puteri sembari tertawa. „Sungguh aku tidak menyangka kaulah tuan puteri!" kata Hoa Seng. Gudang Ebook (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net „Pantas tadi malam kau memberi selamat kepada pangeran India itu!" ujar si nona. „Ah, engko, kau tolol sekali! Seharusnya kau sudah dapat menerka dari siang-siang!" Meski ia mengatakan demikian, kedua belah pipi si puteri pun bersemu dadu, maka di mata Hoa Seng, itulah menambah kecantikan dan membuat hatinya sangat tergiur. Lewat sesaat, anak muda ini berkata pula. „Kau puteri dan satu negara, kau bahkan calon ratu negaramu," demikian katanya, „cara bagaimana aku berani lancang mengangkat diriku dan memanggil kau adik?" Puteri itu tertawa. „Kenapa kau berpandangan seperti orang biasa saja?" ia tanya. „Aku toh kebetulan saja terlahir di dalam keluarga raja? Apakah kedudukanku ini merusak persahabatan kita? Ah, kau sungguh tak tahu hatiku. Mana pernah aku memikir untuk menjadi ratu? Di mataku, kemuliaan dan kemewahan adalah bagaikan mega atau asap. Aku hanya ingin …… aku ingin ……..” „Kau ingin panjang umur dan hidup berbahagia bersama!" Hoa Seng meneruskan. Puteri itu berdiam, kedua tangannya membuat main rambut di samping kupingnya. „Ah……!" katanya kemudian. „Sebenarnya aku keluar dari istana dengan cara diam-diam. Ayah baru sembuh, ia perlu rawatan, maka itu sekarang aku harus kembali. Terima kasih untuk teratai saljumu dari Thian San itu!" Hoa Seng lantas ingat kejadian tadi malam. „Tuan puteri, kau harus waspada terhadap kakakmu sepupu!" ia mengasi ingat. Puteri itu mengangguk. „Dari siang-siang aku telah ketahui ambekannya yang besar itu," sahutnya. „Sebenarnya aku tidak mempunyai minat untuk berebutan takhta kerajaan dengannya. Semua perbuatannya di Kota Iblis tidak aku beritahukan ayah. Aku hanya diam-diam mencoba, melenyapkan ambekannya itu." Hoa Seng menghela napas. „Kau sungguh baik," pujinya, „Hanya aku kuatir... aku kuatir ambekannya itu tidak sampai di sini saja ………” „Apa? Bukankah ia cuma mengharap menjadi raja?" Biar bagaimana, Hoa Seng jauh lebih berpengalaman dari puteri ini. Di dalam hatinya, ia kata: „Kau tidak ingin menjadi ratu tetapi keinginanmu ini dia belum mendapat tahu …….." Ia berdiam, ia tidak berani menjelaskan segala kecurigaannya kepada puteri ini. Ia tahu bahwa ia hanya baru bercuriga, sedang di Nepal ini, di mana ia baru sampai, ia ada hanya seorang asing. Pula ia tidak ingin merenggangkan persanakan keluarga raja Nepal itu. Tuan puteri mengangkat kepalanya. „Di lembah sana telah dinyalakan api unggun," katanya, „mungkin mereka itu telah mendapat tahu yang kamu di sini hendak menawan Maran. Aku percaya, tidak lama lagi, mereka bakal menyusul ke mari. Maka itu aku harus berlalu." Hoa Seng maju satu tindak. „Kapan kita bertemu pula?" ia menanya. Puteri itu bersenyum. "Kau baik baca saja itu kitab-kitab sastera Nepal!" katanya. Hoa Seng melengak, akan sedetik kemudian dia sadar. „Ha, kiranya kau lagi mengajari aku bersiap untuk turut ujian!" katanya. „Kalau begitu, maka lain hari kita bakal bertemu di atas panggung pertandingan. Aku harap kau nanti menaruh belas-kasihan ………” Berbareng sama berhentinya kata-kata itu, lenyap juga tubuh si tuan puteri, yang berlalu dengan cepat. Hoa Seng merasa kehilangan apa-apa, ia berdiri bengong mengawasi bayangan puteri itu. Ia baru sadar ketika ia mendengar rintihan di sisinya. Hoa Seng terkesiap hatinya. ,.Ha!" serunya di dalam hati. .,Maskanan dan Jatsingh telah terluka, kenapa aku boleh melupakan mereka?" Inilah yang membuatnya kaget. Maka ia lantas lari kepada orang yang disebutkan pertama itu. Maskanan sudah tersadar, tetapi dia mengasi dengar rintihan. Hoa Seng lantas menyingkir tubuh kuda yang menindih orang, terus ia memeriksa lukanya. Ia mendapatkan dua tulang rusuk telah patah, kecuali itu cumalah bekas terbanting yang membikin Maskanan itu pingsan. Lekas-lekas ia menguruti, untuk membantu pernapasannya. Melainkan selang sesaat, Maskanan lantas dapat bangun berdiri dan berjalan. „Sungguh liehay!" katanya kemudian. Segera, keduanya menghampirkan Jatsingh. Mereka lantas menjadi kaget. Muka Jatsingh pucat sekali, kulitnya bersemu gelap, sedang hidungnya mengeluarkan napas sangat perlahan. Maskanan mengerti juga ilmu tabib, ketika ia memegang nadinya pangeran itu, ia menggeleng kepala. „Celaka!" serunya. „Nadinya telah tergerak, begitupun kedudukan anggotanya dalam tubuh, dia sukar ditolong lagi. Paling lama dia dapat bertahan hanya setengah jam ……” Hoa Seng mengawasi. „Belum tentu," katanya kemudian. Ia lantas angkat tubuhnya Jatsingh, untuk dipondong ke tepi sumber air. Di situ ia mengambil air, untuk dipakai mengaduki sekuntum soat-lian, kemudian setelah memaksa membentet mulutnya si pangeran, ia tuang air obat itu. „Ah, kau mensia-siakan sekuntum teratai saljumu!" kata Maskanan menghela napas. „Paling banyak dia cuma dapat bertahan buat beberapa hari ……..” Setelah makan obat, Jatsingh tidak lantas sadar; lukanya ada terlalu hebat untuk ia dapat sadar dalam sekejap. Hoa Seng terus mengawasi, ia menghela napas, untuk melegakan hatinya. „Maskanan, aku hendak minta tolong," ia berkata. „Bilanglah!" menjawab Maskanan cepat. „Kalau ada perlunya, akan aku terjun ke air panas atau api berkobar!" „Bagus!" kata si anak muda. „Mari kita membantu dia dengan tenaga dalam kita. Akan aku mengajari kau ilmu menolak darah, untuk menyalurkan hawa kita. Hanya, setelah itu, tenaga kita bakal berkurang, kita harus beristirahat beberapa hari." Maskanan mengangguk. „Dalam hal tenaga dalam, kau lebih kuat seratus kali dari pada aku," katanya, „kau sendiri tidak takut mengurbankan itu, apa pula aku." Maka bekerjalah mereka berdua. Sebenarnya tenaganya Hoa Seng sendiri sudah cukup, dibantu Maskanan, tenaga itu seperti berlebihan. Belum lama, mukanya Jatsingh lantas berubah, dari pucat mulai ada sinarnya dadu, suatu tanda bahwa darahnya mulai berjalan pula. Hoa Seng mengawasi terus, ia lantas mengeluarkan napas lega. „Siapa si nona cantik tadi?" Maskanan bertanya. Dia pun lega hatinya. Tempo si puteri Nepal baru berlalu, Maskanan baru mendusin, maka itu ia masih sempat melihat tegas kecantikan orang yang mengesankan itu. Ditanya begitu, Hoa Seng bersenyum. „Kau menanyakan si nona?" ia balik bertanya. „Dialah si tuan puteri! Dia pula si bidadari yang di dalam Kota Iblis telah meniup seruling!" Maskanan berseru kaget saking herannya. Tapi lantas dia berdiam. „Kau kenapa?" Hoa Seng menanya. „Sebenarnya kenapa kau begini bersungguh hati menolongi orang ini?" Maskanan menanya. Hoa Seng bisa lantas menduga hatinya orang ini, maka berpikirlah ia: „Jikalau aku ada seorang rendah, boleh aku melepas tangan, tidak menolongi orang ini, dengan begitu aku menjadi kurangan seorang musuh yang tangguh di antara pelamar-pelamarnya puteri. Tapi, mana dapat aku berbuat itu?" Dari itu ia mamandang Maskanan dan memberikan jawabannya: „Aku tidak berani menyebut diriku seorang mulia akan tetapi kalau aku menghadapi kematian lain orang, mana aku tega tidak mencoba menolongnya?" „Aku bukannya tidak memikir untuk menolongi dia," Maskanan bilang, „aku hanya sangat mengagumi nyalimu yang besar dan mulia. Diumpamakan aku, aku ……..” „Jikalau kau, bagaimana?" tanya Hoa Seng. Maskanan berpikir dulu. „Aku akan menolongi dia!" sahutnya tertawa. 17. Bunga Soat-lian Yang Terakhir Selagi mereka bicara, Jatsingh telah mendusin, ia mendapat pembicaraan itu tetapi Hoa Seng tidak mendapat tahu. Anak muda ini lantas memegangi, untuk membantu orang bangun, telapakan sebelah tangannya ditempel di jalan darah thian-kiehiat di punggung, untuk menyalurkan hawa hangat dari tubuhnya. Jatsingh mengasi dengar suara di tenggorokannya hingga beberapa kali, lalu dia memuntahkan darah. Hoa Seng menanti sampai mulut orang sudah hampir bersih dari darah itu, darah mati lantas memberikan air untuk kekumur. „Kau telah memuntahkan darah, bagus!" katanya tertawa. „Selanjutnya kau boleh makan obat kuat seperti jinsom dan lokjiong, setelah setengah bulan, kesehatanmu bakal pulih kembali. Obat-obatan itu memang mahal harganya tetapi semua itu tersedia di dalam istana raja Nepal, maka itu pangeran, kau jangan kuatir!" Jatsingh mengawasi anak muda di depannya itu, airmatanya mengembeng, sampai sekian lama, tidak dapat ia membuka mulutnya. Boleh dibilang di saat itu juga tampak seorang penunggang kuda kabur mendatangi ke dalam lembah itu, maka segera ternyata dialah si putera raja Nepal. Segera terdengar suaranya yang nyaring: „Hai, kenapakah kamu?" „Tidak kenapa-napa!" Hoa Seng menyahuti. „Pangeran Jatsingh mendapat sedikit luka ….." „Itu …… itu ………," berkata pula putera raja itu. „Itu kau maksudkan Timotato?" Maskanan meneruskan. „Dia telah dihajar kabur oleh saudara Koei kami ini!" Sebenarnya Maskanan tidak melihat bagaimana Hoa Seng bersama Puteri Hoa Giok, si Kumala Indah, menempur Timotato dengan pedang mereka yang seperti bersatu padu, ia tengah pingsan, ia hanya menduga saja. Dugaannya ini memang cocok. Hoa Seng yang jujur hendak memberikan keterangan yang jelas, tetapi belum sampai ia membuka mulutnya, ia dapat pikir pula baiklah hal itu disembunyikan untuk putera raja Nepal ini, maka itu ia bersenyum. „Walaupun Timotato telah dapat diusir pergi, hanya Maran Hoat-soe telah dapat meloloskan diri," katanya. Di dalam hatinya, putera raja itu terkejut mendengar Hoa Seng dapat mengalahkan Timotato, akan tetapi dialah seorang licin, dia dapat menguasai diri untuk tidak mengentarakan itu. Dia lantas tertawa terbahak-bahak untuk menutupinya, sembari tertawa, dia lompat turun dari kudanya. Dia pun menggederuk tanah dengan tongkat Kioe-hoan sek-thung. „Bukankah ini tongkat suci dari raja agamamu?" ia menanya Maskanan. Orang yang ditanya menjadi girang sekali. „Benar!" jawabnya separuh berseru. „Terima kasih, tuan Pangeran, yang kau telah menolongi kami merampasnya." „Bukan cuma aku telah dapat merampasnya pulang, bahkan Maran Hoat-soe telah dapat aku binasakan!" sahut putera raja itu dengan bangga. Putera raja ini tidak mendusta bahwa ia telah membunuh Maran si guru agama. Dia telah memotong jalan di lembah untuk memegat. Di situ ada sebuah mulut lembah yang dia kenal baik. Dia percaya, kalau Maran dapat melihat api unggun, ia tidak nanti berani nerobos keluar dari mulut lembah di depan. Dia pun sudah memikir, jikalau Maran ada bersama Timotato, dia cuma hendak meminta pulang tongkat suci Kioe-hoan sekthung itu, lalu dia hendak menganjurkannya mereka itu kabur terus, tetapi dia mendapatkan Maran seorang diri, tidak ampun lagi, tanpa menanti Maran membuka suara, ia menyerang dan membunuhnya. Maran itu adalah koncohnya dalam usaha membinasakan raja, pasti sekali guru agama ini tidak percaya si putera raja bakal membunuh padanya, kalau tidak, apabila keduanya sampai bertempur, sedikitnya mereka berdua bakal sama unggulnya. Maskanan segera menyambuti tongkat suci itu. „Sekarang marilah kita pulang ke istana untuk menyampaikan kabar girang kepada Sri Baginda!" berkata putera raja itu kemudian. „Benar tongkat suci ini akulah yang merampas pulang tetapi kamu pun turut berjasa!" Hoa Seng bertiga menerima baik ajakan itu. Jatsingh masih terlalu lemah, maka itu untuk dapat naik di atas punggung kuda, Hoa Seng membantui ia, hingga mereka jadi menunggang bersama seekor kuda. Demikian mereka berjalan pulang ke kotaraja. Berjalan belum lama, mendadak Jatsingh merintih, terus ia merasai dadanya sesak. Hoa Seng mengetahui itu, lekas-lekas ia mengendorkan larinya kudanya. „Kau merasa bagaimana?" Ia menanya perlahan kepada pangeran itu. „Aku kuatir aku tidak kuat lagi " sahut pangeran itu perlahan, terputus-putus suaranya. „Tidak apa-apa, jangan kau kuatir," Hoa Seng menghibur. Tapi pangeran itu berkata pula, dengan suara menggetar: „Gunung Burung Jenjang, kota Rajaghra, guruku yang berbudi, sungai Ganges yang indah, selamat tinggal untuk selamalamanya ……..! „Hus, jangan ngaco belo!" kata Hoa Seng. „Kau tidak bakalan mati!" Sembari berkata begitu, Hoa Seng memegang tempilingan pangeran itu, ia merasakan hawa panas yang tinggi sekali, hingga ia menjadi kaget sekali. Ia jadi mau berpikir: „Apakah sia-sia belaka bantuan tenaga dalamku kepadanya? Mustahil jiwanya masih tidak dapat ditolong? Tidak, tidak mestinya! Dia pun mempunyai peryakinan ilmu yoga yang sempurna. Asal dia dapat menetapi hati, menenangkan diri, tidak nanti dia mati …….” Hoa Seng hendak memberi nasihat pula, untuk menghiburi, ketika Jatsingh mengaco pula, dia seperti sudah was-was. Tentu sekali, ia menjadi bingung. Tiba-tiba Jatsingh mementang matanya lebar. „Aku hendak minta tolong padamu!" katanya, suaranya menggetar. „Bicaralah!" ia lekas memberikan jawabannya. „Aku mau minta sekuntum soat-lian," berkata Jatsingh. Hoa Seng terkejut sekali, ia tercengang, tetapi lekas sekali ia tertawa. „Darah yang tergumpal di dalam badanmu sudah termuntahkan, kau tidak membutuhkan soat-lian lagi!" katanya. Kedua matanya pangeran itu merah bagaikan membara. „Soat-lian ……. Soat-lian ……" katanya, seperti ngelindur, suaranya terputus-putus, „Soat-lian dari gunung Thian San ……. Aku ingin ……. Soat-lian dari gunung Thian San …….!” Dia mirip anak yang termanjakan, yang aleman, yang meminta suatu barang. Hoa Seng mengusap-usap dengan perlahan. „Pangeran, kau sadar!" ia membujuk. „Kita akan segera tiba di istana raja." Jatsingh tetap tak sadar, ia seperti orang was-was disebabkan hawa panasnya yang tinggi itu. „Soat-lian ....., soat-lian!" ngaconya pula. „Soat-lian dari Thian San!" Hoa Seng menjadi tidak tega. Ia mengeluarkan satu-satunya soat-lian, sisanya. Kedua matanya Jatsingh bersinar. „Dengan sungguh-sungguh aku mencari soat-lian," ngaconya pula. „jikalau aku bisa mendapatkan sekuntum saja untuk dipakai menemani aku dikubur, dapat aku mati meram! Ah, mari, mari kasikan aku!” Hoa Seng heran, tetapi ia dapat mengerti. Memang umum bahwa ada orang, umpama seorang raja, yang di saat-saat dekat kematiannya, menghendaki sesuatu barang yang paling disukai untuk dibawa mati bersama. Tentu sekali ia menjadi bersangsi. Dari Thian San ia hanya membawa tiga kuntum, dan yang mana, satu telah dipakai menolongi raja Nepal, yang satu lagi untuk pangeran ini. Sekarang ini pangeran meminta pula! Sedang ia tahu, dia tak membutuhkannya lagi. Tapi orang lagi was-was atau kalap, sinar matanya menunjuki keinginannya yang sangat akan bunga teratai salju itu ……. Ia lantas ingat perkataannya Papo si tabib pandai: „Untuk mengobati orang, yang paling penting ialah membikin hatinya si sakit tenang dan tetap, jikalau itu tidak dapat dilakukan, dikuatir penyakitnya menjadi bertambah buruk. Sekarang dia menghendaki bunga terataiku. Ah, baiklah aku memberikannya, akan melihat bagaimana kejadiannya lebih lanjut ………." Karena ini, ia mengangsurkan teratainya itu. Jatsingh menyambuti soat-lian dengan airmukanya segera menjadi terang. Ia menyenderkan diri pada penolongnya itu, matanya dimeramkan. Ia bagaikan tengah beristirahat dengan pikiran puas. Menampak itu, hati Hoa Seng pun lega. Ia tetap menjalankan kudanya per-lahan-lahan. Ketika akhirnya mereka tiba di depan istana, di sana sudah ada pengawal yang menantikannya. Itulah sebab pangeran Nepal dan Maskanan sudah tiba terlebih dulu dan telah lantas masuk ke dalam istana menghadap raja kepada siapa dituturkan duduknya kejadian pangeran Jatsingh terluka parah. Pahlawan pengiring raja lantas membantu menurunkan Jatsingh, untuk direbahkan di atas semacam gotongan yang dipakaikan kasur berseprei sulam, terus dia dibawa sampai ke depan raja Nepal. Hoa Seng mengikuti. Raja Nepal berbangkit dari kursinya untuk menyambut sendiri, kepada Hoa Seng ia menghaturkan terima kasih, setelah itu baru ia menanya Jatsingh, untuk menghiburkannya. Sekonyong-konyong pangeran itu tertawa dan berlompat turun dari gotongan. Ia lantas memberi hormat kepada raja. „Soat-lian dari Thian San yang dikehendaki tuan puteri telah aku bawa bersamaku!" katanya nyaring. Hoa Seng kaget tak kepalang. Baru sekarang ia ketahui pangeran ini ber-pura-pura ngaco untuk mempedayakan bunga teratai saljunya itu. Tentu sekali, ia menjadi bingung, hingga pikirannya kacau. „Bagus!" seru raja girang. „Segera aku akan menitahkan dayang menyampaikan pesalinmu ini kepada puteriku! — Inilah benda yang ia kehendaki, maka sekarang sudah tidak ada bicara lagi!" Kata-kata yang terakhir ini raja ucapkan terhadap putera raja. Hoa Seng masih berdiam, tenggorokannya seperti tersumpalkan sesuatu, hingga tak dapat ia mengeluarkan sepatah kata. Mukanya pun menjadi merah. Ia benar-benar tidak tahu harus membilang apa. Di saat anak muda ini bingung demikian rupa, mendadak terdengar pula suaranya Jatsingh, suara yang keras dan terang: „Bukan, Sri Baginda! Sri Baginda salah paham! Inilah bukannya pesalin dari aku! Soat-lian dari Thian San ini ada kepunyaannya Tuan Koei! Tuan Koei gagah dan tampan memenangi aku seratus lipat, maka itu kalau dia dipasangi dengan tuan puteri, sungguh sangat setimpal!" Kembali Hoa Seng menjadi kaget. Inilah ia tidak sangka sama sekali. Akan tetapi sekarang ia kaget berbareng hatinya lega. Di dalam hatinya, ia lantas berkata, „Ah, hampir saja aku berlaku rendah menuduh seorang ksatria hinadina. Jatsingh sendiri, habis berkata begitu, tubuhnya lantas terhuyung. Rupanya, karena tertawa dan berlompat, karena kata-katanya yang keras itu, ia telah menggunai tenaga terlalu besar, maka tak dapat ia bertahan diri. Raja Nepal terkejut. Dengan lekas ia berpaling kepada Hoa Seng. „Pangeran Jatsingh ini was-was, kasihan ia," katanya. „Koei Hoa Seng, kau telah mendirikan jasa yang besar sekali, tidak nanti aku membuatnya kau kecewa! Di dalam istanaku ini ada segala macam permata mulia, kau boleh ambil sesukamu! Jikalau kau sudi memangku pangkat, akan aku angkat kau menjadi komandan dari pasukan pengiringku!" Raja itu melainkan menyebut-nyebut jasa dan janji pembalasan budinya, ia tidak omong tentang jodoh puterinya. Hoa Seng pun tidak memikirkan itu, karena di dalam hatinya ia kata: „Asal tuan puteri benar-benar menyinta aku, kenapa aku tidak dapat mendaftarkan diri untuk turut dalam pemilihan? Kenapa sekarang aku mesti mengandalkan jasaku ini untuk mengajukan lamaran?" Maka ia jawab raja itu. „Telah dari siang-siang aku membilangnya aku tidak mengharapi pembalasan," berkata ia. „Untukku, segala barang permata tidak ada keperluannya sedang pangkat aku tidak menghendaki." „Jikalau begitu, aku minta tuan suka tinggal bersama kami untuk banyak hari," berkata pula raja. „Adalah pengharapanku yang kami nanti mendapat pengajaran dari kau." „Terima kasih, Sri Baginda," Hoa Seng menampik, „tidak berani aku membikin banyak pusing kepada Baginda. Aku tinggal di rumahnya tabib Papo, jikalau Sri Baginda memerlukan aku, sembarang waktu Sri Baginda boleh memanggilnya, aku akan segera datang menghadap." Raja merasa kurang enak sendirinya, tetapi ia berpikir: ,,Agaknya puteriku ada menaruh hati terhadapnya, maka itu lebih baik aku tidak membiarkan dia tinggal di dalam istana." Raja ini lebih penuju Jatsingh. Hoa Seng gagah dan tampan akan tetapi dia bukannya orang bangsawan. Lantas raja memberi persen banyak kepada Papo, setelah mana ia menitahkan pengiringnya pengantar tabib itu, bersama-sama Hoa Seng keluar dari istana. Sebaliknya Jatsingh dibiarkan tinggal di istana, untuk merawat diri. Papo berdua keluar dari istana seperti juga mereka baru habis bermimpi. Sembari jalan, sambil tertawa, ia berkata: „Adalah minatku untuk menterjemahkan kitab ramuan obat PEN TSAO KANG MU dan pemeriksaan nadi CHI CHING PA ME KAO dari LI SHIH CHEN, karena bahasa Tionghoa itu dalam artinya, bisalah aku mohon bantuanmu. Bahkan kemudian, setelah kau menjadi menantu raja, aku masih hendak mengandalkan bantuanmu yang berharga untuk menerbitkan kedua salinan kitab ilmu ramuan obat serta pemeriksaan nadi itu!" „Mana aku, mempunyai rejeki demikian besar," kata Hoa Seng merendah. Papo tertawa. „Kami di sini mempunyai suatu peribahasa," katanya. „Ialah asal seorang nona menaruh cinta kepada seseorang, dia lantas menjadi mirip dengan tawon gula yang memetik sarinya bunga, meskipun diusir, dia tidak nanti pergi!" Demikian mereka pasang omong sampai mereka tiba di rumah. Papo baru membuka pintu atau segera hidungnya mendapat cium bau harum semerbak. Ketika ia bertindak sampai di dalam ruang, ia mendapatkan di atas meja teh, di mana ada diletaki setumpuk buku, di bawah buku itu ada tertindih sehelai amplop berkembang. „Kau lihat!" kata tabib itu tertawa. „Karena adanya kau di sini, sekalipun harumnya bunga dapat melayang masuk ke mari!" Hoa Seng lantas menjumput amplop itu, untuk dibuka dan menarik keluar selembar surat, yang ia terus baca. Surat itu bagaikan syair, begini bunyinya: „Bagaikan kapu-kapu bertemu air, maka juga hati seperti khim telah terlebih dahulu dipeserahkan. Bagaikan sebuah rumah atau dunia atau lautan di mana diri telah dipernahkan, maka biarpun di sana ada. Puncak Mutiara, puncak itu sukar memisahkan jalan ke gunung Thian Tay. Di sini ditulis maksud hatiku, maksud hati itu diserahkan kepada sang angin halus, ditiupkan kepada kau di sana, kekasihku." Surat itu tiiak ada tanda tangannya akan tetapi Hoa Seng tahu betul itulah suratnya puteri Nepal, yang ditulis tangannya sendiri, untuknya. Itu berarti, empat penjuru lautan bagaikan sebuah rumah, bahwa meski terhalang puncak tertinggi di dalam dunia, persahabatan kedua negara tidak dapat diputuskan, atau tegasnya, cinta mereka berdua tidak dapat dirintangi lagi. Habis membaca surat itu, Hoa Seng berdiri diam, ia terbengong. Kemudian ia memeriksa itu setumpuk buku. Nyatalah itu ada kitab sastera kuno dari Nepal. Malam itu ia mencobanya membaca, maka tahulah ia, isi kitab kebanyakan ada hubungannya sama Tiongkok. Di antaranya ada kitab karangannya pendeta Hui Chao tentang perjalanannya ke India. Hui Chao adalah seorang pendeta di ahala Tong, yang pergi ke India sehabisnya Hsuan Tsang. Di dalam kitab itu ada catatan perjalanannya ke Nepal dan kitabnya itu telah disalin ke dalam bahasa Nepal. Yang lainnya ada kitab agama Buddha yang ditulis oleh seorang pendeta berilmu bangsa Nepal sendiri. Hoa Seng bukannya penganut agama Buddha akan tetapi karena bunyinya kitab menarik hati sedang itu pun adalah puteri Nepal yang menghendaki ia membacanya, maka ia membaca terus, bahkan ia memberi tanda kepada bagianbagian yang ia kurang mengerti. Ia telah pikir, besok pagi ia akan minta keterangan dari Papo. Di hari ke dua pagi, belum lagi pemuda ini turun dari pembaringannya, Papo sudah menghampirkan dianya. Bahkan tabib itu lantas menanya: „Bukankah hari ini kau bersedia akan mendaftarkan nama untuk turut meminang tuan puteri?" „Habis kenapa?" tanya Hoa Seng. „Kalau benar, kau tidak usahlah pergi lagi," kata tabib itu. Hoa Seng heran hingga ia terperanjat. „Kenapakah?" ia menanya cepat. „Oleh karena Raja baru saja mengumumkan," menyahut Papo. „Telah diputuskan, urusan pemilihan menantu raja telah ditangguhkan sementara waktu, nanti sesudah seratus hari kemudian, baru akan dilaksanakan pula. Sebabnya ini kabarnya ada dua. Yalah ke satu lain tahun berhubung dengan hari ulang Sang Buddha bakal diadakan suatu arak-arakan besar, untuk mana pendeta-pendeta suci dari banyak negeri bakal datang berkunjung ke mari. Untuk ini ada diperlukan tempo beberapa bulan. Pula ada kemungkinan, berbareng dengan itu, ada datang lagi lain-lain calon menantu raja, maka itu, mereka hendak diberikan ketika. Dan ke dua, raja baru sembuh dari sakitnya, ia ingin puterinya, yang merawat dan menemani." Di samping itu, sebenarnya ada sebab yang ke tiga, akan tetapi Papo tidak mau memberitahukan kepada tetamunya. Sebab yang ke tiga itu ialah raja Nepal ingin sekali menikahkan puterinya dengan Pangeran Jatsingh, sekarang pangeran itu lagi merawat diri di dalam istana, maka raja mengharap di dalam tempo seratus hari itu, puterinya nanti dapat berbalik pikir dan rela menikah sama pangeran itu. Mendengar keterangan itu, Hoa Seng tertawa. „Tidak apa!" katanya. „Tidak ada halangannya untuk aku menanti sampai seratus hari. Aku justeru memikir untuk tinggal di sini lebih lama pula, supaya aku dapat mengetahui dengan baik segala kebiasaan atau adat istiadat bangsamu sekalian pesiar ke pelbagai tempat yang menarik hati." Papo senang melihat tetamunya lega hati itu. Maka semenjak itu, Hoa Seng tetap menumpang sama tabib ini. Siang ia membaca kitab, malam ia membantu Papo menyalin ke dua kitabnya Li Shih Chen ialah Pen Tsao Kang Mu dan Chi Ching Pa Me Kao yang pernah disebutkan tabib itu. Kadang-kadang saja ia mengambil ketika akan keluar untuk berjalan-jalan. Papo tabib terpelajar, maka itu, kedua sahabat ini sama-sama mendapat tambahan pengetahuan tak sedikit. Tanpa merasa, satu bulan telah berlalu. Pada suatu hari dalam satu bulan itu, Maskanan berangkat pulang ke negerinya. Di harian keberangkatannya itu, raja Nepal mengadakan perjamuan perpisahan, Hoa Seng telah diundang menghadiri pesta itu. Di situ pemuda ini tidak melihat puteri dan Jatsingh. Ada dibilang menurut tabib istana, karena lukanya parah, Jatsingh perlu beristirahat terus, karena meski ia telah makan soat-lian, kesehatannya belum pulih seanteronya. Semenjak pesta itu, belum pernah raja mengundang atau memanggil Hoa Seng datang ke istana. Hoa Seng merasakan sikap tawar dari raja itu tetapi ia tidak memperdulikannya. Pada suatu hari habis melihat-lihat apa yang dinamakan menara Bunga Teratai, setibanya di rumah, Hoa Seng melihat roman berduka dari Papo, yang sedang bebenah untuk suatu perjalanan. Lantas ia menanyakan apa sebabnya. „Aku mesti pergi dan kita bakal berpisah kira-kira satu bulan," menyahut tabib itu, yang memberitahukan bahwa ia telah dapat undangan memeriksa orang sakit di Bhatguon, bahwa si sakit itu ada pendeta kepala dari bihara Matsingle. Untuk negara Nepal, kecuali bihara di ibukota, bihara di kota Bhatguon itulah yang terbesar, letaknya di atas gunung. „Apakah pasti kau akan kembali dalam satu bulan?" tanya Hoa Seng tertawa. „Perjalanan pergi dan pulang masing-masing memakan tempo sepuluh hari," menyahut Papo. „Waktunya mengobati, aku taksir sepuluh hari kira-kira, Maka itu, aku menduga satu bulan." Hoa Seng menghitung hari, ia dapat kenyataan, untuk sampai pada hari pemilihan menantu raja, atau hoe-ma, masih ada tempo limapuluh hari, maka ia pikir, baik ia turut pergi bersama, untuk pesiar di sana di mana katanya ada pemandangan-pemandangan alam yang indah. Papo senang dengan permintaan itu, ia menerimanya dengan girang. Maka juga besoknya berangkatlah mereka berdua. Koei Hoa Seng bergembira, tanpa ia mendapat firasat sedikit jua bahwa kepergiannya hampir membuatnya tak kembali ke Katmandu. 18. Sumber air dingin Yang Menggoda Dari Katmandu ke Bhatgaon, perjalanan ada lima ratus lie lebih, kalau tempo perjalanan ditetapkan sepuluh hari, setiap harinya cuma dibutuhkan jarak lima sampai enam puluh lie. Perjalanan ini dilakukan dengan gembira oleh Papo, tetapi dasar ia sudah berusia lanjut, ia tidak dapat jalan lebih kira enam puluh lie seharinya, sudah begitu, keberangkatan dimulai pagi-pagi sekali hingga magrib baru ditunda. Kelambatan ini ada baiknya untuk Hoa Seng, yang menjadi mendapat banyak ketika menikmati keindahan alam di sepanjang jalan. Di hari ke tujuh, Hoa Seng menghadapi jalanan buntu : Di depannya tidak lagi jalan besar dari tanah datar seperti harihari yang sudah dilewatkan. Sekarang di depannya menghadang sebuah lembah yang nampaknya dalam sekali. Untuk dapat melintasi lembah itu, di situ dipasang melintang sebuah jembatan rantai besi, yang kedua ujungnya ditancap atau diikat kepada kedua tepian lembah. Oleh karena sampokannya sang angin, jembatan itu biasa mengasi dengar suaranya yang nyaring, karena rantainya bentrok satu dengan lain. Di situ terlihat sebuah air tumpah yang besar, yang jatuh dari puncak, hingga muntjratan airnya mirip „mutiara beterbangan atau kumala berpeletikan." Di dalam lembahnya sendiri terdapat hawa bagaikan kabut. Indah pemandangan itu, tetapi memikirkan dalamnya jurang, hati akan bergidik sendirinya ………….. „Lootiang, mari aku gendong kau," berkata Hoa Seng kepada si tabib. „Tidak usah," berkata Papo. „Di negara kita ini, jembatan rantai semacam ini terdapat di mana-mana, bahkan ada yang terlebih panjang belasan atau dua puluh kali lipat, maka untuk kami, sudah biasa kami untuk melewatinya. Kau jangan kuatirkan aku, kau nyeberanglah lebih dulu, habis beristirahat sebentar, akan aku menyeberang sendiri." Mendengar begitu, Hoa Seng percaya, maka ia terus menghampirkan jembatan itu, dengan ilmunya ringan tubuh, leluasa ia berjalan di situ. Hanya, setibanya di tengah, mendadak ia merasakan rantai itu goncang keras. Ia menjadi kaget bahna heran, maka ia melepaskan pandangan matanya. Maka ia menampaklah, di seberang sana dari jembatan rantai itu, ada seorang pendeta yang bermuka hitam, yang tubuhnya tinggi dan besar, tengah memegang ujung rantai, yang dia goyangkan dengan sekuat tenaga. „Eh, bapak pendeta, kau lagi bikin apa?" ia menanya, nyaring. Pendeta itu rupanya mendengar pertanyaan akan tetapi ia tidak mengambil mumat, malah dengan keras sekali ia menggentak ke bawah, terus tangannya dilepaskan, dari itu rantai tersebut jadi mental, menambah goncangan. Hoa Seng menjadi gusar. Terang orang sengaja berbuat demikian. „Bapak pendeta!" serunya. „Kita, tidak kenal satu pada lain, kenapa kau hendak membikin celaka padaku?" Ia menyejak, ia mencelat, ketika ia turun pula, ia mencari rantai, untuk menyejak dan berlompat pula. Ia telah menggunai tipu „Cecapung menowel air," suatu ilmu ringan tubuh yang mahir sekali. Dengan begitu, ia maju mendekati tapian sana. Sekonyong-konyong si pendeta muka hitam tertawa nyaring, tubuhnya mencelat maju, dalam gerakan menubruk orang yang lagi mendatangi itu. Kembali Hoa Seng menjadi kaget. Ketika itu tubuhnya seperti lagi melayang. Terpaksa dengan kaki kirinya ia menginjak kaki yang kanan, untuk mencelat seperti tadi ia menyejak rantai besi, sembari berbuat begitu, ia menggeraki kedua tangannya guna mendorong tubuh si pendeta. Ia pun berseru: „Turunlah kau!" Di luar dugaan, tenaganya si pendeta itu besar luar biasa, tidak kalah dengan tenaga pemuda ini, ketika keduanya beradu, terdengar suaranya yang keras, tubuh Hoa Seng, bagaikan batu besar, meluncur turun ke bawah lembah, sedang kupingnya mendengar suara riuh dari air tumpah. „Celaka!" ia mengeluh dalam hatinya. Dalam berbahaya itu, ia mencoba akan lompat jumpalitan, kepala di bawah, kaki di atas, untuk mencari tempat di mana ia bisa menaruh kaki. Tapi kabut tebal, ia tidak bisa melihat nyata. Sudah begitu, kembali ia merasakan dorongan yang keras. Tidak ampun lagi, ia jatuh menimpa air tumpah sekali, maka terbawalah tubuhnya oleh air yang deras itu tanpa ia dapat berdaya. Karenanya, ia cuma bisa menahan napas. Ia baru berlompat dengan kakinya menyejak tatkala ia merasakan kakinya itu membentur sesuatu. Berbareng dengan itu ia bernapas dan membuka matanya, yang tadi dimeramkan. Ketika ia telah melihatnya, ia menjadi heran dan kagum. Pemuda ini seperti merasakan dirinja berada di sebuah dunia lain. Di hadapannja ada lapangan rumput yang hijau segar, ada pohon bunga, ada pohon lainnja. Memandang ke atas, ia melihat air tumpah bagaikan air yang tergantung di udara. Ia ternjata telah berada di dalam guha. Karena kecebur ke air tumpah, tentu saja pakaiannja kuyup basah. Tapi yang sekarang ia perlukan ialah jalan keluar dari guha itu, akan kembali kepada Papo. Tiba-tiba, ia mendengar tertawa lebar di sampingnya. Ia berpaling dengan lantas. Di sana ia melihat si pendeta muka hitam, yang pun basah kuyup seperti ia. Rupanya orang pun jatuh dan menimpa air seperti ianya. Ia menjadi gusar sekali. „Kau siapa?" la menegur. „Kenapa kau membikin celaka padaku?" Pendeta itu seperti tidak mengerti omongan dalam bahasa Nepal dari pemuda ini, dia tertawa pula, tertawanya tak sedap didengar, setelah mana, dia mencaci. Mendengar suara orang, Hoa Seng tahu pendeta itu berbahasa India. Ia biasa bergaul sama Jatsingh, ia mengerti beberapa kata-kata India, akan tetapi cacian pendeta ini ia tidak mengerti sama sekali. Melainkan samar-samar ia mendengar disebutsebut „Jatsingh." Setelah berpikir sebentar, Hoa Seng mengeluarkan dua jari tangannya, dengan itu ia menunjuk dirinya sendiri. „Kau menyebut Jatsingh, apakah artinya itu?" ia menanya. Ia sebenarnya mau memberitahukan bahwa dengan Jatsingh itu ia bersahabat. Pendeta itu mengasi dengar suara „Hm!" seraya ia menggeleng-geleng kepalanya. Ia mau membilangi bahwa ia tidak percaya. Hoa Seng lantas membungkuk, kedua tangannya digeraki. Ia hendak memberi gambaran ketika ia menolongi si pangeran. Ia pun berkata: „Jatsingh itu akulah yang menolongi, kau tahu atau tidak?" Pendeta itu tetap tidak mengerti, karena Hoa Seng menggunai Bahasa Nepal, tetapi ia dapat mendengar disebutnya nama Jatsingh, hanya sekarang ia melengak. Rupanya ia dapat membade gerak-gerakannya si anak muda. Cuma sebentar ia berdiam, lantas ia mengasi lihat gerakan kedua tangan yang menolak, mulutnya pun mengoceh. Sekarang di antaranya, Hoa Seng mengerti perkataan-perkataan „menipu orang" dan „Aku larang kau pergi!" Hoa Seng menjadi heran, hingga ia menduga-duga. „Apakah mungkin Jatsingh mendapat kecelakaan?" terkanya. „Kenapa dia menimpakan kesalahan kepadaku?" Tetapi mereka tidak dapat berbicara, bahasa mereka menjadi rintangan. Hoa Seng masgul sekali. Tidak dapat ia memberi keterangan atau meminta penjelasan. Maka ia pikir, „Tidak ada lain jalan untukku dari pada mencari jalan untuk keluar dari sini, untuk pergi ke istana. Di sana baru aku akan memperoleh keterangan." Karena ini, ia bertindak menuju ke arah mulut guha di depannya. Di situ justeru berdiri si pendeta muka hitam. „Aku larang kau keluar!" dia berteriak. Dia pun menolak keras sekali, sampai si anak muda terhuyung mundur, hampir ia jatuh. „Aku mesti keluar!" membentak Hoa Seng, yang menjadi gusar sekali. la lantas mengeluarkan Theng-kauw kiam, pedang lemasnya itu. Ia mau menggunai senjata sebab ia kalah tenaga akibat tadi selagi jatuh ia kena terdorong keras. „Minggir!" Pendeta itu tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Ia tertawa dingin, ia menyeringai. „Aku larang kau pergi!" kembali ada kata-katanya yang Hoa Seng mengerti. Habislah sabarnya si anak muda. Ia membalingkan pedangnya ke atas, hingga terlihat cahayanya berkelebat. Di dalam hatinya ia kata, „Aku mau lihat, kau memberi jalan atau tidak padaku ………..” Selagi begitu, si pendeta juga mengeluarkan senjatanya, sebuah senjata yang luar biasa. Itulah golok hitam yang tidak ada bagiannya yang tajam. sedikit bengkung, gagangnya ditabur mutiara yang berkilau. Hoa Seng mau menerjang keluar, ia tidak menyerang, ia hanya menggerak pedangnya itu untuk membela diri saja. Di luar sangkaannya, si pendeta muka hitam justeru membacok padanya. „Traang!" kedua senjata mereka beradu. Hoa Seng menjadi kaget sekali. Tangannya dirasakan sangat sakit, pedangnya itu hampir terlepas dari cekalannya. Ia tidak menyangka golok lawan demikian keras dan kuat. Juga si pendeta muka hitam bukannya tidak kaget. Sendirinya dia menjerit dan mundur dua tiga tindak. Itulah sebab dia mendapat kenyataan, goloknya itu telah kena tersempoakan pedang si anak muda, sedang ia ketahui baik, goloknya terbuat dari pada besi pilihan yang dilapis dengan beberapa logam lainnya dan beratnya pun tujuh puluh dua kati. Untuknya, golok itu ialah golok mustika. Menyaksikan itu, hati Hoa Seng lega, „Dia menggunai golok mustika tetapi pedangku masih menang," pikirnya. Karena ini ia lompat maju pula, untuk menerobos keluar. Ia membela diri dengan jurusnya „Bong houw toat louw," atau „Harimau galak merampas jalanan." Pedangnya itu diluruskan guna membuka jalan. Pendeta itu pun nampaknya menjadi gusar. Ia lantas mencabut kebutannya, yang ia pegang dengan tangan kanan, maka sekarang ia bersenjatakan dua rupa, sebab golok mustikanya dicekal dengan tangan kirinya. Dengan lantas ia mengebut. Hoa Seng ada satu ahli, lantas ia mengetahui liehaynya kebutan itu. Di tangan orang biasa, atau orang yang kepandaiannya tidak berarti, kebutan itu tidak nanti menjadi satu seperti pit besi, mestinya bulunya terbuka buyar. Tapi ia percaya betul pedangnya, ia tidak takut. Ia lantas membabat ke atas, dengan niat memapas ujung kebutan itu. Hebat si pendeta muka hitam itu. Tepat di saat kebutan dan pedang hendak beradu, bulu kebutan itu mendadak buyar, setiap lembarnya menjadi kaku bagaikan duri seperti juga jarum yang panjang, dan semuanya menusuk ke arah seluruh tubuh si anak muda! Hoa Seng terkejut bukan kepalang. Inilah benar-benar ia tidak duga. Ia hanya menyangka ujung kebutan dapat digunai sebagai totokan jalan darah atau menikam sebagai pisau. Sjukur ia liehay dan gesit. Dengan lemas ia mainkan pernapasannya, guna menutup semua jalan darahnya, sembari berbuat begitu, ia berkelit dengan jurusnya „Hong sauw lok hoa" atau „Angin meniup bunga rontok." Selagi meloloskan diri dari kebutan itu, pedangnya menangkis bacokan golok, tetapi karena berbareng ia meluncurkan terus pedangnya itu, ia pun kena membabat kutung ujung bulu kebutan. Si pendeta menjadi terlebih-lebih gusar, ia lompat untuk menyusuli! Hoa Seng bebas dari bacokan dan kebutan, tetapi ia bukannya bebas seluruhnya. Beberapa ujung bulu kebutan sempat juga mampir di tubuhnya, meski ia sudah menutup jalan darahnya, saking tajamnya, bajunya ditembusi dan kulitnya kena tergores, dari itu luka-lukanya itu mengeluarkan darah. Ia menjadi kaget dan heran. „Entah pendeta ini dari golongan apa?" pikirnya. „Sudah dia liehay tenaga dalamnya, juga aneh senjatanya ini. Dia dapat dibandingkan dengan Timotato …….” Pendeta India itu merangsak dalam kemarahan, selain memutar kebutan dan goloknya, dia pun berseru-seru, dengan hebat dia menyerang. Oleh karena masih gelap mengenai lawannya itu, Hoa Seng mengambil sikap membela diri. Kelihatan ketangguhan mereka berimbang. Si pendeta tidak bisa maju, si anak muda sukar meloloskan diri. Aneh adalah perkelahian mereka ini, di saat keduanya telah lelah sendirinya, sedang cuaca pun bertukar, siang menjadi magrib, mereka berhenti sendirinya, untuk beristirahat. Si pendeta duduk bercokol di mulut guha, yang pun menjadi mulut lembah, untuk orang masuk dan keluar dari lembah itu. Dia mengatakannya, „Aku larang kau keluar!" Itulah cuma kata-kata India yang Hoa Seng mengerti. Pemuda itu tidak mengambil usil. Ia pun tidak mau beristirahat di dekat orang. Ia berjalan ke sebelah dalam lembah itu. Ia berjalan perlahan-lahan, hatinya terbuka. Di situ ia mendapat lihat banyak macam bunga dan rumput, yang tak ada di lain tempat. Di waktu magrib, hawa pun teduh. Jalan belum jauh, ia menghadapi sebuah sumber air, yang airnya hijau jernih. „Tempat ini bagus," ia berpikir. „Kalau tidak terjadi peristiwa kebetulan ini, mana bisa aku sampai di sini?" Lantas ia berhenti, untuk mengeluarkan bekalan rangsum keringnya, yang ia dahar dengan dibantu air sumber itu yang jernih dan dingin, yang memberi sari cocok dengan selera. Habis minum, ia merasa tubuhnya segar sekali. Habis itu ia mencari tempat untuk duduk bersamedhi, guna melewatkan sang malam. Ia tidak berani berlaku alpa, kuatir nanti si pendeta muka hitam datang mengganggu. Terus sampai besoknya fajar, pendeta itu tidak datang menyerang atau menggerecok, malah ketika Hoa Seng pergi ke mulut guha, dia masih duduk bersamedhi. Dia Baru lompat bangun ketika dia mendengar tindakan kaki. Lantas dia berseru: „Aku larang kau keluar!" Hoa Seng heran bukan main. „Kenapa dia melarang aku?" pikirnya. „Kalau dia mencurigai aku yang mencelakai Jatsingh, mestinya dia mengadu jiwa denganku. Apakah dia sengaja hendak menahan aku di dalam guha ini? Untuk apakah? Apakah sebabnya?" Ia sangat tidak mengerti. Melihat orang tidak menyerang kepadanya, Hoa Seng kembali ke tepi sumber air. Ia dahar sisa rangsum keringnya, ia minum air yang jernih dan adem itu. Kemudian ia ingat Papo. Entah bagaimana bingungnya tabib itu. „Pendeta ini melarang aku keluar dari sini, justeru aku mesti keluar!" pikirnya. Sesudah bertempur sekian lama, Hoa Seng merasa ia telah mengenal baik tenaga lawannya itu. „Baiklah aku melawan dia dengan ilmu pedang Tat Mo Kiam," pikirnya kemudian. Ilmu pedang itu yang berarti ilmu pedang Menakluki Hantu, adalah salah satu tipu silat dari ilmu pedang Tatmo Kiam-hoat, yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Setelah memikir tetap, Hoa Seng menghampirkan pendeta itu. Ia memaksa mau lewat, ia dihalangi, maka itu, mereka jadi bertempur pula. Kali ini, selama setengah jam yang pertama, ia benar menang di atas angin, ia terus mendesak, hingga lawannya pun terus mundur, hanya setibanya di mulut guha, si pendeta lantas dapat bertahan, dia tak dapat dirangsak terlebih jauh. Lagi sekian lama, mereka masih seimbang saja. Hoa Seng heran bukan main. Kemarin ia bertempur seri, sekarang ia lebih unggul, toh kesudahannya seri pula. Ia jadi mau menyangka, apakah ia menampak kemunduran ataukah si pendeta yang dalam satu malam memperoleh kemajuan? Di akhirnya, mereka berhenti pula sendirinya. Hoa Seng bingung. Bekalan rangsumnya sudah habis. Terpaksa ia nyebur ke sumber air, ia tangkap beberapa ekor ikan, yang terus ia bakar dan dahar. Sumber air itu banyak ikannya, yang kecil-kecil, sarinya ikan pun lezat. „Biar aku berdiam di sini setengah sampai satu tahun, tidak nanti aku kelaparan ...." pikir Hoa Seng sambil dahar. Tapi tentu sekali ia tidak sudi dikeram lama-lama di situ. Maka ia mengasah otaknya. Malam ke dua itu Hoa Sang dapat tidur nyenyak. Karena si pendeta tidak niat mencelakai ia, ia tidak kuatir, ia tidak waspada seperti malam pertama. Maka itu besoknya, di hari ke tiga, ia mendusin dengan merasa segar sekali. „Kemarin aku unggul tetapi aku tetap dapat dirintangi dia, mungkin itu disebabkan aku kurang tidur," pikirnya. „Sekarang baik aku mencoba pula." Anak muda pergi kepada si pendeta. Ia lantas menantang. Maka lagi sekali mereka bartanding. Seperti kemarinnya, mulanya si pendeta kena didesak mundur, hanya seteIah mundur sampai di mulut guha, dia kembali dapat bertahan, dia tidak bisa terdesak terlebih jauh. Sampai ia merasa letih, Hoa Seng tidak maju setindak juga, dengan terpaksa ia berhenti berkelahi dan mengundurkan diri. Tapi ia bukannya tidak berpikir. Ia tidak mengerti pendeta itu dapat bertahan secara demikian. Benarkah dia terlebih ulet? Selanjutnya saban habis dapat beristirahat, Hoa Seng satroni si pendeta, untuk menantang dia, untuk menempur. Ia lakukan ini terus beberapa hari. Hasilnya tetap, ia cuma bisa mendesak hingga di mulut guha, tidak lebih. Ia tidak dapat keluar dari guha. Di lain pihak, pelbagai pertempuran itu menambahkan banyak akan pengetahuannya tentang ilmu silat, terutama ilmu silat si pendeta. Hanya ada keanehannya. Hari lewat hari waktu bertempurnya jadi semakin pendek, ia seperti merasa cepat letih. Demikian di hari ke sepuluh, baru bertempur satu jam, ia sudah letih sekali. Hari itu ia berkelahi dengan tipu „Tay Si Mi" yang terdiri dari tujuh belas jurus. Ia sudah mendesak hebat atau ia lantas seperti kehilangan tenaganya sendiri. Maka ketika ia menikam dengan jurusnya, „Burung garuda menyerbu udara," kesudahannya membuatnya terkejut. Menurut perkiraannya, ia bakal berhasil, tidak tahunya, ia gagal seluruhnya. Ketika si pendeta menangkis serangan itu dengan kebutannya, pedangnya kena tersampok keras hingga terlepas dari cekalannya dan jatuh ke tanah. Ia kaget bukan main. Aneh adalah si pendeta muka hitam itu. Dia bukannya lantas maju terus, untuk menghajar lawan yang sudah tidak bersenjata itu, sebaliknya, dia menghentikan pertempuran, dia tertawa, dia balik ke tempat bercokolnya, untuk bersamedhi! Hoa Seng heran bukan main. Ia seperti tidak diperdulikan lagi. Ia jumput pedangnya itu, dengan tidak keruan rasa, ia kembali ke tepi sumber air. Sekarang ia merasa betul, lawan itu bukannya lebih menang dari pada ia, hanya ia sendiri yang menghadapi kemunduran, tenaganya jadi kurang sendirinya. Kenapa begitu? Setelah kekalahan ini, untuk beberapa hari Hoa Seng tidak mencoba menantang bertempur pula. Temponya itu ia pakai untuk melatih tenaga dalamnya. Ia merasakan bahwa ia menginsafinya baik sekali sarinya ilmu silat, tetapi herannya, ia tetap tak seulet semula. Lalu datang satu waktu, yang membikin ia sangat kaget. Ia turun ke dalam sumber untuk menangkap ikan. Beda dari pada biasanya, kali ini ia merasakan dingin sekali. Inilah perubahan, yang nyata sekali. Apakah kesimpulannya? Ialah ia merasa kemunduran yang sangat, sudah lenyap keuletannya, lenyap juga kekuatan tubuhnya menentang hawa dingin! Dulu hari, ia dapat bertahan di dalam guha es yang dingin luar biasa. Sedang air sumber itu dingin biasa saja. „Ah…….!" ia mengeluh, hatinya menjadi tawar, ia menggigil sendirinya. Ia menjadi kecil hati. Kemudian lagi, Hoa Seng mendapat bukti dari hilangnya tenaganya. Di situ ada batu, yang ia biasa angkat pergi datang, tetapi ketika ia mengangkat itu, ia tidak kuat! Lantas hatinya jadi tawar, dukanya bukan kepalang. Dalam sedihnya dengan tidak keruan rasa, ia mendongaki kepala melihat langit. Ia mendapatkan sang Batara Surya sudah turun ke barat, sinarnya ialah sinar lajung. „Lagi satu hari bakal berlalu ……" katanya dalam hati, lesuhnya bukan main. Tadinya, semenjak mengetahui tenaganya berkurang, ia sudah tidak menghitung hari lagi, sampai ia tak tahu, sudah berapa lama ia terkurung di dalam guha itu. Sekarang kebetulan saja ia melihat cuaca. „Mungkinkah aku bakal mati letih di sini?" akhirnya ia ingat. „Apakah aku akan bernasib bagaikan bunga hutan itu, tumbuh dan mekar sendirinya, lalu layu dan mati sendirinya juga, tanpa ada yang ketahui?" Hoa Seng merabah gagang pedangnya, ingin ia menghunus itu, untuk dipakai menabas lehernya sendiri. Tiba-tiba di otaknya itu terkilas bayangan si tuan puteri, yang cantik manis, yang sangat menggiurkan hatinya. Maka ia menghela napas. pedangnya itu ditolak masuk pula ke dalam sarungnya …… „Aku tidak dapat mati! Aku tidak dapat mati!" pikirnya. Ketika sang angin malam menghembus, samar-samar Hoa Seng mendengar tertawanya si pendeta India muka hitam itu. Mendadak ia menjadi gusar, hingga ia berlompat naik atas sepotong batu besar. Memang, sudah beberapa hari ia belum menempur pula pendeta itu. Jauh di tempatnya berdiam, si pendeta tertampak tengah bersilat seorang diri. Dia bersilat hebat sekali, bagaikan orang kalap. Ketika Hoa Seng mengawasi, ia heran. „Ah, dia pun dapat menyangkok ilmu pedang Tatmo Kiamhoat," katanya di dalam hati. „Nyatalah, setelah pertempuran sepuluh hari, ia juga memperoleh kesadaran seperti aku. Hanya anehnya, kenapa tenagaku jadi berkurang, tubuhku tak tahan hawa dingin ………” Pemuda ini terhibur kapan ia ingat yang ia telah memperoleh banyak kemajuan karena pertempurannya sama si pendeta India, sebaliknya ia berduka kapan ia ingat lenyapnya tenaganya itu. Maka ia pikir, apakah artinya kemajuannya itu kalau itu tidak dapat digunakan? Pendeta itu berlatih terus. Hebat tenaganya! Kapan goloknya mengenai batu, batu itu terbacok terbelah atau putus. Nampaknya leluasa sekali dia menggunai goloknya itu. „Kenapa tenagaku habis dan dia sebaliknya tidak?" ia tanya dirinya sendiri. „Kalau dia hendak mengambil jiwaku, bagaimana gampangnya?" Mengingat ini, Hoa Seng menggigil sendirinya. Ia sampai tidak mau mengawasi lebih lama kepada pendeta itu, yang masih berlatih terus. Ia pun merasakan tertawanya si pendeta sangat menusuk hatinya ………… Lewat lagi beberapa hari, Hoa Seng merasakan tenaganya terus berkurang. Biasanya ia menangkap ikan dengan tangan kosong, ia dapat bergerak cukup lincah, belakangan, karena air sangat dingin, ia membuat semacam cagak. Tapi hari ini, untuk mengangkat cagak pun ia merasa ia mesti menggunai tenaga sangat banyak. Tapi, yang membikin ia putus asa benar-benar ialah kemudian ketika ia tidak dapat menggunai lagi cagak itu …………. 19. Lolos dari Kematian Bukankah, dengan begitu, ia bakal kelaparan? Tidakkah, karenanya, sayang ilmu kepandaiannya itu? Ia merebahkan dirinya di tepi sumber air itu, ia menghela napas panjang pendek. Tiba-tiba ia mendengar suara apa-apa. Ia memasang kuping. Rupanya ada orang mendatangi ke arahnya. „Apakah dia si pendeta India?" ia menduga-duga, hatinya berkuatir. Ia lantas membuka matanya. Atau segera ia merasa bahwa ia tengah bermimpi. Yang datang itu Papo, pakaiannya rombeng tidak keruan, dan tangan dan kakinya tabib itu luka-luka tergores panjang. Tapi, di samping itu, kedua matanya bersinar sangat tajam, dia nampaknya sehat sekali. Heran dan kaget dan girang, pemuda ini berseru: „Apakah ini bukannya impian? Kenapa kau dapat datang ke mari?" „Aku datang dari belakang gunung," Papo menyahut. Di bagian belakang gunung itu, jalanan sukar, banyak pohon durinya lagi tebing. Di waktu ia masih segar, Hoa Seng sendiri tidak berani mengambil jalan itu untuk menjingkir dari rintangan si pendeta India. Tapi Papo mengambil jalan itu! Maka ia pentang matanya lebar-lebar. Papo tertawa. „Aku juga tidak tahu di belakang gunung itu ada jalanannya," ia berkata riang. „Di kuil Matsingle ada seorang pendeta pelancongan, yang pernah datang ke mari memasuki lembah ini mencari daun obat-obatan, dan dialah yang memberitahukan aku tentang adanya jalanan itu. Dia membilang di dalam lembah ada sebuah guha yang dalam sekali, bahwa untuk menyampaikan guha, orang mesti naik perahu di kali yang deras yang menuju ke dekat guha, nanti setelah mendarat, orang harus jalan kaki mendatangi guha ini. Katanya jalanan itu sangat sempit dan sukar. Inilah benar, sudah dua hari dua malam aku mengambil jalanan itu, baru sekarang aku sampai di sini. Kau lihat, pakaianku tidak keruan macam." Banyak yang Hoa Seng hendak tanyakan, tetapi ia menguasai diri. „Coba tolong periksa dulu, aku mendapat sakit apa?" ia berkata kepada tabib itu. Papo mengawasi sambil tertawa. „Tidak usah juga aku periksa lagi, kau tidak sakit!" sahutnya. Mendadak saja semangat si anak muda terbangun, hingga ia berlompat berdiri. „Bagaimana aku tidak sakit?" tanyanya nyaring. Ia heran bukan buatan. ''Lalu ia mengibaskan tangannya. Mendadak ia menjadi lesu pula. „Aku tidak percaya!" katanya. „Kenapa aku tidak sakit?" Papo memegang, untuk menekan tubuh orang. „Bukankah kau merasa tubuhmu lemah hingga tidak bertenaga?" dia tanya. „Nah, apakah ini bukan namanya sakit?" Hoa Seng balik menanya. „Bukannya sakit. Itulah disebabkan kau terlalu banyak minum air sumber ini. Ini air jernih dan adem, dilihatnya sangat menggairahkan, tetapi sarinya berbahaya untuk kesehatan. Sari itu disebabkan hawanya yang dingin. Aku ketahui ini dari seorang ahli obat-obatan, yang pernah memeriksa air sumber ini. Katanya air ini kurang zat logamnya. Dia telah melepas ikan di sini, ikan itu menjadi besar tetapi tanpa tulang ……………” „Ah!" seru Hoa Seng. „Pantas ikan di sini sangat lezat, aku menyangkanya sebagai ikan tak bertulang, tidak tahunya itulah ikan piaraannya si ahli obat-obatan itu!" „Maka itu,” berkata Papo, „asal kau dapat keluar dari sini, tanpa obat, tenagamu akan pulih sendirinya. Kau membutuhkan waktu setengah atau satu tahun untuk memelihara diri." „Aku kuatir pendeta India itu tetap melarang aku keluar dari sini," Hoa Seng bilang. „Pendeta itu tak berkurang tenaganya seperti aku." „Apakah dia si pendeta yang itu hari membuatnya kau jatuh dari jembatan?" „Benar." Lalu Hoa Seng menuturkan pengalamannya semenjak jatuh ke guha itu. „Dia tetap sehat, itulah tentu disebabkan dia minum air tumpah," berkata Papo. „Air itu datang dari atas, itulah air biasa, yang tetap mengalir. Eh ja, aku heran. Kenapa dia melarangnya kau keluar dari sini?" „Aku justeru mengharap keterangan dari kau. Di luar, kau dapat mendengar banyak." „Mulanya aku menyangka si putera raja mengirim orang untuk mencelakai kau. Aku heran kenapa bolehnya muncul ini pendeta India yang liehay sekali?" „Kau menyebut putera raja. Putera raja yang mana itu?" „Tentu saja putera raja negaraku." Papo pun kaget melihat Hoa Seng dibikin jatuh dari jembatan rantai itu. Ia ketakutan dan bingung tidak keruan. Ia tidak mengerti ilmu silat, mana ia dapat membantu? Setelah dapat menenangkan diri, ia lantas melanjuti perjalanannya ke Bhatgoan. Ia terus menemui si pendeta kepala yang sakit itu dan mengobatinya. Di sini ia memperoleh keterangan, ia diundang si pendeta kepala atas anjuran atau titahnya putera raja. Pendeta itu dipesan, kalau dia sudah sembuh, dia mesti mengasi kabar kepada putera raja, yang hendak mempersiapkan penyambutan besar-besaran kepada si tabib. Sebab si tabib mau diangkat menjadi tabib negara. Katanya, Papo adalah tabib sakti nomor satu di Nepal, kalau dia jadi tabib negara, tepat sekali. Karena ini, setelah si pendeta sembuh dan ia meminta diri, saban-saban ia dicegah, ia diminta bersabar, menanti sampai putera raja menyambutnya. Sebaliknya, penyambutan itu tak kunjung tiba. Lama-lama Papo menjadi curiga, apa pula kemudian ia mendapat tahu, di antara pengiring-pengiringnya si pendeta kepala ada orang-orang kepercayaannya putera raja itu. Karena ini, ia tidak berani minta si pendeta kepala mencoba mencari dan menolongi Hoa Seng itu. Kebetulan sekali di dalam kuil Matsingle itu ada seorang pendeta pelancongan yang Papo kenal baik, di waktu memasang omong, pendeta itu menuturkan tentang lembah itu serta guhanya, perihal jalanan untuk menyampaikan guha yang tersembunji itu. Karena itu, diam-diam Papo menjingkirkan diri dari kuil, terus ia pergi ke belakang gunung, hingga akhirnya dengan susah payah tibalah ia di dalam guha, bahkan ia lantas menemui sahabatnya ini. Hoa Seng heran sekali. „Kalau begitu, bukankah aku telah berdiam di sini sebulan lebih?" ia tanya. Papo menghitung dengan jari tangannya, lalu dia menghela napas. „Sekarang ini tinggal tiga hari untuk sampai kepada hari pemilihan calon menantu raja," katanya. „Aku kuatir kau tidak dapat keburu sampai di kotaraja ……..” Hoa Seng sangat bersusah hati, tetapi ia memaksakan diri untuk bersenyum. „Untukku sudah cukup asal aku dapat keluar dari sini," katanya sesaat kemudian. „Mana aku berani mengharap dapat menikah sama tuan puteri?" „Tapi," berkata Papo, „orang sebagai kau, aku percaya, kau dapat melakoni perjalanan sukar ini untuk keluar dari sini. Di sini aku ada mempunyai obat jinsom asal keluaran negaramu, sisa obat yang aku pakai menolongi si pendeta kepala. Nah kau makanlah, mungkin kesehatanmu lekas kembali!" Papo mengeluarkan bekalan obatnya dan Hoa Seng segera mengunyah itu. „Mari!" ia berkata. „Selagi si pendeta belum mengetahui, mari kita berlalu dari sini!" Maka keduanya bertindak ke belakang gunung. Mereka mencari perlindungan antara pepohonan bunga dan rumput yang lebat. Mereka berjalan secepatnya bisa. Setibanya di kaki gunung, bukan main girangnya Hoa Seng. Tapi tiba-tiba, di sana, dari belakang, terdengar suara tertawa dingin! Ketika ia menoleh, ia melihat si pendeta India, yang lagi berlari-lari mendatangi! „Aku larang kau pergi!" demikian terdengar suara nyaring dan dingin dari pendeta muka hitam itu. Papo mengerti sedikit bahasa India, maka itu lantas ia berkata: „Majikan kamu sedang berada di istana, dia dengan Tuan Koei in adalah sahabat-sahabat. Jikalau kau tidak percaya, dapat aku mengajakmu pergi kepada majikanmu itu." „Tidak bisa!" berkata pendeta muka hitam itu. „Satu kali dia sudah keluar dari sini, aku tidak berdaya untuk menahannya. Maka itu tidak ada lain jalan dari pada kau bawa si putera raja datang ke mari menemui aku." Hoa Seng percaya dari kata-kata si pendeta bahwa ia bakal tidak dikasi berlalu, maka harapannya yang baru saja timbul lantas lenyap pula. Tanpa merasa ia menghela napas panjang. „Baiklah," katanya. „Rupanya sudah takdir, aku mesti mati terkurung di sini!" Ia lantas lompat, untuk membenturkan diri pada batu karang, akan tetapi si pendeta muka hitam itu menariknya dengan cepat, mencegah padanya. „Kau melarang aku keluar!" Hoa Seng membentak, gusar. „Apa aku tak dapat mati?" Pendeta itu tidak mengerti apa yang orang kata itu, ia kembali mengeluarkan perkataannya yang terkenal: „Aku larang kau keluar!" Di saat Hoa Seng lagi mendongkol dan putus asa itu, tiba-tiba di antara mereka terdengar suara puji: „Amitabha Buddha!" yang disusuli dengan teguran: „Akara, jangan tidak tahu aturan!" Lagi, setelah itu, menyusullah suaranya Jatsingh: „Saudara Koei, adakah kau baik? Adikmu datang menyusul!" Atas itu si pendeta muka hitam lantas melepaskan cekalannya kepada Hoa Seng, terus ia berdiri diam sambil tunduk dan melonjorkan kedua tangannya, parasnya menandakan ia berada dalam kekuatiran. Hoa Seng segera menoleh seraya mengangkat kepalanya. Maka tampaklah Jatsingh bersama seorang pendeta India yang usianya telah lanjut hingga kumisnya, sudah putih semua berdiri di hadapannya. Ia bingung hingga ia merasa bahwa ia tengah bermimpi. Benarkah ada kejadian demikian kebetulan? Bukankah si pendeta muka hitam baru menyebutkan Jatsingh, si putera raja, dan sekarang Jatsingh muncul? „Inilah guruku, Liong Yap Siangjin," Jatsingh lantas memperkenalkan si pendeta tua. Mendengar itu, Hoa Seng heran berbareng girang, lekas-lekas ia menghunjuk hormat seraya menjura. Di antara pemuda ini dan Liong Yap Siangjin itu ada jarak sekira satu tombak, akan tetapi ketika si pendeta menggeraki kedua tangannya, untuk mencegah, Hoa Seng merasakan ada tenaga yang mengangkat kepadanya, perlahan tetapi kuat, yang ia tidak dapat lawan, hingga ia menjadi terkejut. „Liong Yap Siangjin ini kesohor itulah benar," pikirnya. „Tenaganya ini lebih besar dari pada Kim-kong-ciang. Thian San Cit Kiam telah menutup mata satu demi satu, maka itu, orang yang tenaga dalamnya begini mahir, mungkin sekarang tinggallah pendeta ini satu orang …….” Ketika itu sudah lantas terdengar suaranya Liong Yap Siangjin, yang berbicara dalam bahasa Tionghoa: „Adik seperguruanku ini berlaku kurang ajar, loolap menghaturkan maaf untuknya." Baru sekarang Hoa Seng mengetahui bahwa si pendeta muka hitam ini adalah adik seperguruan dan Liong Yap, hanya ia heran kenapa mereka itu berdua, kakak-beradik, beda jauh sekali ilmu kepandaiannya. Ia tidak tahu, di antara usianya kedua saudara seperguruan itu ada perbedaan tigapuluh tahun, sedang Akara ini ada dari pihak Brahmana, maka kendati dia dapat pelajaran silat sempurna dari gurunya, kesadarannya atas agama kalah jauh dari kakaknya itu. Dengan sebenarnya Akara telah mendapat tugas dari putera raja Nepal. Pangeran itu memesan, „Pemuda Tionghoa itu liehay, jangan kau memandang enteng kepadanya." Ia diperintah lekas menyusul ke Bhatgaon, untuk memegat di jembatan rantai besi itu, yang bakal dilewati Papo dan Hoa Seng. „Baiklah kau bokong padanya," kata pula si pangeran, dalam pesannya. „Kalau kau gagal, berdayalah akan mengurung dia di guha sumber air dalam lembah, nanti dia mati karena terkurung itu." Lantas si pendeta diterangkan halnya lembah luar biasa itu. Akara berangkat dengan mengambil jalan memotong, dari itu ia bisa tiba terlebih dulu. Akan tetapi, sebelum ia berangkat, ia memerlukan masuk ke dalam istana menemui Jatsingh, si pangeran yang tengah terluka parah. Kebetulan Jatsingh baru sadar. Lebih kebetulan lagi, raja Nepal pun tidak berada bersama pangeran itu. Ia lantas memberitahukan titahnya pangeran Nepal itu. Jatsingh kaget dan berkuatir. „Jikalau kau ganggu jiwanya pemuda Tionghoa itu," katanya keras, „selanjutnya aku tidak akan aku pula kau sebagai paman guru dan aku sendiri tidak akan pulang ke negeri kita!" Hebat serangannya Timotato, habis berbicara keras begitu, Jatsingh lantas pingsan pula. Akara kaget, bingung dan heran. Maka ia bercuriga terhadap si pangeran Nepal. „Mungkin ia mendustakan aku, tetapi toh ia seorang pangeran," pikirnya pendeta ini. „Umpama kata benar pangeran dan pemuda Tionghoa itu bermusuhan, tidak selajaknya dia meminjam tanganku. Ah, apakah mungkin Pangeran Jatsingh yang hendak berhitungan sendiri dengan pemuda Tionghoa itu ? Atau tuan pangeran hendak menanyakan pengakuannya?" Dalam ragu-ragunya itu, Akara berangkat menyusul Hoa Seng. Untuk Jatsingh, ia meninggalkan sepucuk surat, sebab si pangeran pingsan dan ia tidak dapat berbicara terlebih jauh dengan pangeran itu, yang oleh tabib istana lantas dibawa ke sebuah kamar istimewa. Ia malah dipersalahkan oleh si tabib telah menjadi gara-gara maka pangeran itu tak sadarkan diri. Akara berhasil mengurung Hoa Seng setelah ia gagal dengan pembokongannya karena kepandaian kedua pihak sama tangguhnya. Selanjutnya, ia mengurung saja, karena ia mentaati pesan atau ancaman dari Pangeran Jatsingh, tidak berani ia mengambil jiwa Hoa Seng. Tanpa pesan itu, mungkin pemuda itu sudah lama tak ada di dalam dunia ini karena dia menjadi kurban air sumber yang tidak mempunyai zat kekuatan bahkan mencelakakan. Jatsingh lantas memberi keterangan kepada Hoa Seng, kemudian sambil bersenyum ia menambahkan: „Sekarang urusan yang penting. Inilah urusan pemilihan menantu raja, yang temponya tinggal tiga hari lagi. Mengenai itu raja Nepal telah mengambil putusan, pemilihan mesti dilakukan, umpama tak ada calon yang cocok seperti kehendak tuan puteri, akan dipilih siapa saja yang menang. Maka itu, saudara Koei, ketika yang baik ini tidak dapat dihilangkan. Sekarang ini aku telah mengetahui jelas duduknya hal, pemuda idam-idamannya tuan puteri ialah kau seorang!" Hoa Seng tertawa berduka. „Aku telah lolos dari bahaya maut, ini aku sudah merasa beruntung bukan main," katanya, „oleh karena itu mengenai soal jodoh, tidak berani aku memikirkannya pula." „Kenapa begitu, saudara?" tanya Jatsingh. „Tidak dapat kau memikir demikian! Jikalau kau benar mau menganggap aku sebagai sahabat, aku minta kau jelaskanlah kesulitanmu kepadaku!" „Ke satu aku belum mendaftarkan diri," sahut Hoa Seng terpaksa. „Ke dua, temponya tinggal lagi tiga hari, tentu sudah tidak keburu ……..” Mendengar itu, Jatsingh tertawa lebar. „Tentang pendaftaran, kau jangan kuatir, telah aku mendaftarkannya untukmu!" ia berkata, „Laginya teratai salju sebagai pesalin sudah diterima tuan puteri! Baiklah kau ketahui, saudara Koei, di matanya raja Nepal, kau sudah jadi menantunya!" Pangeran ini tidak mendusta. Segera setelah ia sembuh, di depan raja Nepal ia telah pujikan Hoa Seng. Raja Nepal tahu, Jatsingh bakal pulang ke negaranya, pangeran ini tidak dapat diharap lagi, dari itu, ia mengalah kepada puterinya, ia membiarkan si puteri memperoleh kemerdekaannya. Jatsingh tertawa pula ketika ia berkata: „Saudara kuatir nanti tak keburu berhubung sang tempo tinggal tiga hari lagi. Inilah tidak menjadi soal. Untukmu, asal kau sehat, perjalanan beberapa ratus lie ke kota Katmandu tidak ada artinya! Saudara, karena aku, kau mendapat bahaya, dari itu, kau serahkan segala apa padaku, akan aku membikinnya, dari bahaya kau akan mendapatkan kebahagiaan!" Sampai di situ, Liong Yap Siangjin pun turut bicara. „Adik seperguruanku telah mengurung kau di dalam lembah hingga tenagamu menjadi lenyap." ia berkata, „untuk itu kau jangan kuatir, nanti loolap membikin kau mendapatkan kembali semua itu, untuk tanda penghaturan maafku." Pendeta tua ini lantas meletaki tangannya di punggung si anak muda, atas mana lekas sekali Hoa Seng merasakan ada hawa panas yang masuk ke dalam tubuhnya, terus ke seluruh anggotanya. „Inilah cara kita kaum Buddha menambah tenaga dalam," berkata Liong Yap Siangjin dengan keterangannya. „Cara ini lebih berhasil dari pada ilmu mengurut dalam ilmu silat Tionghoa. Tentang tenaga dalam, di antara pihak Tionghoa dan India ada perbedaannya, akan tetapi dasarnya sama saja. Bedanya ialah kita mempunyai yoga." „Teecoe telah mendapat pimpinan setengah bulan dari Akara Taysoe, rasanya teecoe telah dapat mengerti itu," Hoa Seng berkata. „Bagus!" berkata Liong Yap Siangjin. „Kau cerdas sekali. Tahukah kau sikap dedak yang dinamakan Mengangkat Sumber air dalam ilmu yoga?" „Teecoe mengerti kulitnya saja," menjawab Hoa Seng. Mendadak pendeta itu mencekal si anak muda, yang tubuhnya ia terus angkat dengan kepala di bawah dan kaki di atas, kedua tangan orang ditempel pada tengah-tengah telapakan kakinya. Itulah cara untuk mempulihkan kesahatan. Jalan darah di kaki itu dinamakan yong-coan atau giok-coan, artinya sumber umbul atau sumber air kumala, dan karena tubuh orang diangkat, kepala di atas dan kaki di bawah, maka sikap dedak itu dinamakan sikap Mengangkat Sumber air. Sambil berbuat begitu, Liong Yap Siangjin juga menjelaskan sarinya pelajaran yoga. Hoa Seng cerdas sekali, de¬ngan cepat ia mengerti, maka ketika ia mengempos semangatnya, untuk meluruskan pernapasannya, guna mengasi darahnya mengalir, ia lantas merasakan segar sekali. Kesehatannya, atau lebih benar tenaganya, pulih dengan luar biasa cepat. „Sekarang kau cobalah tenagamu, kiesoe!" berkata Liong Yap sambil tertawa. Ia terus melepaskan cekalannya. Semenjak tadi, anak muda itu terus diangkat tubuhnya. Hoa Seng lantas lompat mencelatkan tubuhnya. Begitu ia berdiri, ia menyambar sepotong batu, yang terus remas. Batu itu remuk seketika. Benarlah, bukan saja ia telah sembuh, bahkan tenaganya bertambah. Maka ia girang bukan main. Inilah jalan yang di belakang hari membuatnya menjadi satu jago silat yang kenamaan. „Terima kasih, taysoe," ia mengucap sambil memberi hormatnya. „Jangan menggunai banyak peradatan," mencegah si pendeta. „Kau justeru mesti lekas mengejar tempomu. Kalau kau ambil itu jalanan di belakang lembah, karena jalanannya sukar, kau meminta banyak waktu, dari itu, kau ambillah jalan air, kau keluar dari tabir air tumpah di mulut guha." Mendengar itu, Hoa Seng menoleh kepada Papo. Ia pikirkan, bagaimana tabib tua itu sanggup menerjang air tumpah itu. Untuk ia dan yang lainnya, itulah tidak menjadi soal. Biarnya digendong, untuk Papo masih sulit ……………… Liong Yap rupanya dapat membade pikiran si anak muda. „Jangan kuatir," katanya bersenyum. „Mari turut aku!" Baru sekarang Hoa Seng ingat bahwa pendeta itu dan Jatsingh muncul dari depan, bahwa baju dan sepatu mereka, meskipun tidak basah tetapi toh sedikit demak. Biar bagaimana ia heran. Liong Yap Sianjin berjalan di depan, sampai di depan air tumpah. Ia berdiri diam, kedua tangannya dirangkapi, lalu mendadak, ia membukanya, mementang dengan kaget. Hebat kesudahannya itu, air tumpah seperti juga terpisah, terbagi dua. Menyaksikan itu, si anak muda mengulur lidahnya, mulutnya celangap. „Kepandaian seperti ini, walaupun Tayhiap Leng Bwee Hong menjelma pula, belum tentu dia dapat melakukannya ……….." pikirnya. Di saat itu juga, lima orang itu lompat melewati air tumpah itu. Papo digendong oleh Liong Yap Siangjin, Setelah itu mereka mendaki, kaki mereka menginjak, menjejak, kedua tangan mereka melapai, menyambar-nyambar pohon oyot. Kemudian ternyata, Liong Yap Siangjin yang sampai paling dulu di atas, selang sedikit lama, baru Hoa Seng, lalu Akara, dan akhirnya Jatsingh. Hoa Seng merasakan ia sebagai menjelma pula. Sebab rasanya lama sekali ia terkurung di dalam lembah itu, meski sebenarnya ia cuma melewati waktu satu bulan lebih. „Saudara," berkata Jatsingh, „aku merasa beruntung sekali yang aku dapat berkenalan sama kau, peristiwa ini tidak nanti aku melupakannya." Lalu, dengan merasa sangat berat, ia meminta diri dari sahabatnya ini. Hoa Seng juga mendapat serupa perasaan, hatinya dirasai berat sekali. Sebagai pesan terakhir, Jatsingh berkata: „Di antara caloncalon menantu raja, lawan yang paling tangguh ialah seorang Persia, maka itu, kalau menghadapi dia, baiklah saudara berhati-hati." „Terima kasih," Hoa Seng mengucap. Untuk merebut tempo, Hoa Seng lantas memberi hormat kepada Liong Yap Siangjin semua, dengan terpaksa ia berangkat meninggalkan mereka itu. Ia ternyata dapat tiba di Katmandu satu malam sebelumnya hari pemilihan. 20. Pesta Kemenangan Calon-calon Hoe-ma Hoa Seng tetap menumpang di rumah Papo. Di hari ke dua, ialah besoknya, ia lantas turut ambil bagian dalam ujian. Semuanya calon ada seratus dua puluh empat orang dan acara ujian ada tiga rupa, ialah ke satu memanah sambil menunggang kuda, ke dua mengangkat batu berat seribu kati, dan ke tiga, menempur singa dari kebun binatang istana. Sepuluh kali Hoa Seng melepaskan anak panah, semuanya mengenai sasaran yang berupa titik merah. Mengangkat batu ia lakukan dengan hanya sebelah tangan. Dan singa ia taklukkan dalam tempo terbakar habisnya sebatang hio, binatang itu ia pakai sebagai binatang tunggangan. Calon-calon lainnya roboh sebagian lebih, hingga di hari pertama itu tinggal empat puluh tujuh orang. Di hari pertama itu, Hoa Seng di rumahnya Papo dikunjungi putera raja, yang memberi selamat padanya seraya menghaturkan bingkisan terdiri dari rupa-rupa barang. Ia terima itu semua dengan wajar meski ia tahu pangeran itu hendak mengambil hatinya, bahwa si pangeranlah yang mau mencelakai ia di dalam lembah. Karena malang terhadap raja, ia tidak mau membuka rahasia. Biar bagaimana, ia pun ada seorang asing. Tapi sepulangnya si pangeran, ia minta Papo mengamalkan semua hadiah itu kepada orang miskin, sedang barang makanan, yang dikuatir dicampuri racun, dibuang ke solokan. Pertandingan yang ke dua kali, ulangan, beracara satu, ialah pertandingan pedang, semua calon mesti melayani empat dayangnya puteri. Keempat dayang itu ada murid-muridnya puteri sendiri serta pandai juga menggunai senjata rahasia yang merupakan pengpok-sintan, ialah peluru inti es. Hebat pertandingan kali ini. Dari empat puluh tujuh calon, dua puluh tujuh jatuh dalam pertandingan pedang dan tiga belas roboh karena terkena peluru inti es. Hoa Seng lulus. Ia berhadapan sama dayang, yang bernama Wanran, yang itu malam dari villa si cong-koan Gie-lim-koen menyambut ia ke dalam keraton. Dengan sentilan Kim-kongcie ia menjatuhkan empat butir peluru dan di jurus ke dua belas membuatnya si dayang menyerah. Selagi mau turun dari panggung, sembari bersembunyi dayang itu kata dengan perlahan: „Tuan puteri memesan agar kau membaca apal kitabkitab yang ia kirimkan padamu." Di sebelah Hoa Seng, telah lulus enam calon lain. Mereka itu ialah seorang kosen dari Persia, yang telah disebutkan Jatsingh, seorang pangeran dari sebuah negara kecil di Yunani, seorang dari Nepal sendiri, seorang dari India, seorang pemilik peternakan dari Afghanistan, dan seorang pemuda bangsawan dari Samarkand di Asia Tengah. Beda dengan yang sudah-sudah, kali ini jago-jago yang tinggal tujuh ini telah ditampung di sebuah gedung istimewa di kaki gunung di depan kota Katmandu, gedung mana menghadapi sebuah kali yang indah pemandangan alamnya. Pula di malam pertama itu, raja Nepal sendiri yang menghadiahkan mereka arak pilihan, supaya mereka dapat berpesta bersenang-senang. Ini juga ada yang pertama kali mereka itu tinggal bersamasama. Tatkala Hoa Seng bertindak masuk ke dalam ruang pesta, di sana sudah berkumpul enam calon lainnya itu. Ia menghampirkan mereka, untuk berbicara sebagaimana layaknya orang yang baru bertemu. Ia pun yang datang terbelakang. Di detik itu juga ia melihat sinar mata orang, sinar yang mengandung kebencian sebagai saingan atau musuh, kecuali pangeran dari Yunani yang nampaknya cuma sedikit jumawa. Pangeran ini terlihat rada asing di antara mereka itu. Di waktu berjabat tangan dengan jago dari Persia, Hoa Seng berlaku sabar sekali tetapi waspada. Ia mendapatkan sinar mata yang tajam diarahkan kepadanya. Ia menjadi menyesal. „Mengapa dia agaknya istimewa membenci aku?" ia berpikir. „Apa mungkin dia telah mendapat tahu yang hatinya tuan puteri telah dicurahkan kepadaku? Kebencian dia ini melebihkan yang lain-lain …….” Begitu kedua tangan saling berpegangan, Hoa Seng merasakan tekanan tenaga yang besar sekali, maka tahulah ia, saingan itu rupanya mencoba memencet untuk membikin ia terluka di dalam, melukai ototnya yang bersambungan sama nadi. Tentu sekali ia berlagak pilon, diam-diam ia pun mengerahkan tenaga di tangannya, hanya, kalau lain orang menggunakan tenaga keras, ia yang lunak; dari itu tangannya menjadi lemas bagaikan kapas, sedang pada mukanya tidak terlihat paras kesakitan. Nampak nyata jago Persia itu menjadi sangat heran, sedang pangeran Yunani, yang telah menaruh perhatiannya, telah dapat menduga apa yang terjadi antara dua orang itu. Diamdiam ia tertawa sendirinya. Untuk menyelimutkan diri, lekas-lekas jago Persia itu menyuguhkan arak. Semua calon menantu raja itu mengharapi tangannya puteri Nepal, dari itu mereka semua pada mempelajari bahasa Nepal, sekarang selagi berkumpul, mereka menggunai bahasa Nepal itu, dengan begitu, mereka jadi dapat bicara satu dengan lain. Kalau tidak, pastilah mereka menemui kesulitan bahasa. Yang lucu, karena sebisa-bisa mengendalikan diri, untuk menyembunyikan kesirikan mereka, paras mereka nampak likat. „Kelihatannya menantu raja adalah kau, tuan!," berkata si jago Persia tertawa. „Kita semua cuma menemani kau berlatih …….” „Ah, mana bisa jadi …….” kata Hoa Seng merendah. „Tuan puteri liehay sekali, aku kuatir begilu naik di panggung, dalam segebrakan saja aku bakal kena dirobohkan.” „Mungkin tidak, tuan Koei," berkata jago Nepal. „Sebaliknya, aku merasa aku bukan tandingannya tuan puteri. Kemarin aku menang dari dayang lawanku, kemenanganku itupun seret sekali …….” Pangeran Yunani tertawa ketika ia campur bicara. „Aku merasa beruntung dapat turut dalam ujian ini," katanya. „Untukku, asal aku dapat melihat wajahnya tuan puteri, sudah puaslah aku. Ahli filsafat bangsaku, Plato, telah mengatakan, 'Benda yang paling permai ialah benda yang kamu tidak dapat memilikinya. Benda yang bisa didapatkan, setelah didapatinya, akan berkurang kepermaiannya.’ Kecantikan tuan puteri sangat kesohor, aku mengharap setelah melihat wajahnya, lantas aku tak dapat melupakan lagi untuk selama-lamanya. Bicara dari hal menikah dengan tuan puteri, untukku, memikirnya pun aku tidak berani ……….” „Hm, ahli syair!" jago Persia mengejek. Hoa Seng sebaliknya berkesan baik terhadap orang Yunani itu. „Sebenarnya aku kurang cocok dengan pendapatnya tentang kecantikan," pikirnya. „Kecantikan itu membutuhkan dua hati menjadi satu, dengan begitu, hati ketemu hati, kecantikan akan tetap kekal abadi — sekarang cantik, kelak di kemudian hari, cantik juga. Untuk adik Giok, biar nanti ia telah ubanan, dimataku, ia akan tetap cantik! Biar bagaimana, orang Yunani ini toh memuji kecantikannya adik Giok, filsafatnya itu menarik hati juga ………..” Di dalam pesta itu hadir utusan raja. „Aku menghaturkan terima kasih yang tuan-tuan telah memuji puteri kami," berkata dia. „Sekarang sebagai wakil negaraku, hendak aku memberi selamat kepada tuan-tuan. Mari minum!" Paling dulu utusan ini mengangkat cawannya terhadap Hoa Seng. Anak muda ini mengeringi cawannya dengan wajar. Ketika datang gilirannya jago Persia diberi selamat, dia minum araknya sambil memperlihatkan senyum yang tak wajar. Melihat itu, Hoa Seng heran. Lekas-lekas ia mencoba meluruskan napasnya, ia merasa pernapasannya itu sedikit sesak. Kemudian, ketika pesta hampir ditutup, datanglah Wanran dayangnya puteri. Ia mengatakan ia diutus tuan puteri untuk memberi selamat. Semua orang menjadi girang sekali, semua minum dengan gembira. Tempo tiba gilirannya Hoa Seng, selagi cawan membentur cawan, anak muda ini merasa dayang itu menyesapkan segulung kertas kecil kepadanya, yang ia sambuti. Segera setelah meminum araknya ini, dengan alasan ia tak kuat minum, bahwa ia merasa sedikit pusing, ia meminta diri untuk pergi ke kamarnya, guna beristirahat. Begitu lekas ia berada bersendirian di dalam kamarnya, ia buka surat itu, yang membungkus selembar bunga teratai salju, kertasnya sendiri bertuliskan halus: „Arak pemberian selamat ayahandaku diurus oleh kakakku sepupu, aku mencurigai itu, maka di sini aku mengirimkan bunga teratai. Lain kali aku minta sukalah kau berhati-hati." Pemuda ini terkejut. Ia pun lantas merasa dirinya lesu. Karena curiga, ia lantas makan bunga soat-lian itu, habis mana ia melatih diri menurut ilmu yoga. Ia memerlukan tempo setengah jam, baru ia merasa segar pula seperti biasa. Memang juga utusan raja itu telah bekerja sama dengan pangeran, yang sebenarnya bernama Wasemah, hanya kali ini pangeran itu tidak berani menggunai racun yang berbahaya. Di mana ada lain calon, pangeran kuatir nanti terbit onar kalau ia menggunainya, maka itu, sebagai gantinya, ia pakai arak yang dinamakan arak „Tidur seratus hari." Poci arak yang digunai ada pesawat rahasianya, dari itu, arak untuk Hoa Seng adalah arak yang keras sifatnya, untuk yang lainnya arak biasa. Sekalipun orang yang liehay tenaga dalamnya, biar ia tidak mabuk, ia toh akan menjadi lesu dan berkurang tenaga sebelum lewat beberapa hari. „Sungguh berbahaya!" kata Hoa Seng dalam hatinya. Meski begitu, ia tidak terus berdiam di dalam kamarnya hanya pergi bertindak keluar. Di ruang pesta orang masih melanjuti pesta itu, dan Helois si pangeran Yunani justru lagi mementil alat tetabuhannya, semacam gitar tali tujuh. Lagu itu mulanya halus, lalu bernada tinggi, tadinya seumpama muda-mudi berkasih-kasihan, lalu seperti suasana malaman mau pergi berperang. Saking asyik, pangeran itu menari sendirinya sambil memeluki gitarnya itu, suara nyanyiannya mengiringi. Suaranya itu menarik untuk didengari. „Lagu apa itu?" tanya Rakandu si jago Nepal. „Inilah syair karyanya seorang penyair bangsaku yang tak dikenal," sahut pangeran itu, yang senang ada orang menyukai lagunya itu. „Syair ini memujikan Ratu Helen yang cantik di jaman dulu karena siapa telah terjadi peperangan belasan tahun." „Nyanyianmu merdu, sayang aku tidak mengerti artinya," berkata Rakandu. „Bisakah kau menyanyikan itu lagi sekali dalam bahasa Nepal?" Pangeran Yunani itu seorang penyair, ia meluluskan, lantas ia bernyanyi pula dalam bahasa yang diminta. Memang bunyinya syair bagus sekali. Hoa Seng turut memasang kuping, bahkan diam-diam ia menyalin itu ke dalam bahasa Tionghoa. Begini syair itu: „Kaulah bunga harum dari Milan, cinnamon dari Gaul, Kaulah batu akik dari Afrika Selatan, pohon bodhi dari India, Semua benda di dunia, tak dapat dibandingi denganmu, Dewi di atas langit, karena kau lenyap sinarnya. Senyuman di pipimu mirip dengan bunga mawar baru mekar, Sepuluh laksa serdadu gagah perkasa, ikhlas mati untukmu ………” Belum lagi habis lagu itu dimainkan, atau mendadak terdengar suara ,.Praang!" dan „Triiing!" saling-susul. Dengan mendadak itu, semua tujuh lembar tali gitarnya pangeran Yunani itu putus! Sebab Dirhamshah si jago Persia, yang telah memencet pecah cawan araknya, dengan pecahan itu menimpuk ke arah gitar. Helois tidak menyangka sama sekali, tidak sempat ia menyingkirkan alat tetabuhannya itu. Hoa Seng ada di mulut tangga dari mana ia mengawasi orang berpesta itu. Ia menjadi terperanjat. Hebat kepandaiannya jago Persia itu. Tenaganya kuat, timpukannya jitu, sebab tepat mengenai setiap tali yang demikian kecil. Itulah kepandaian lebih hebat dari ilmu menimpuk senjata rahasia Tionghoa yang dinamakan „Goan thian hoa ie," atau „Hujan bunga di seluruh langit." Helois kaget hingga ia tercengang. Segera terdengar caciannya jago Persia itu: „Jeritan setan apa itu? Kalau kau mau mampus, kau mampuslah, tuanmu tidak sudi menemanimu!" Sekarang Helois sadar, ia menjadi gusar sekali. „Jikalau kau tidak suka dengar, tutup kupingmu!" ia membentak. „Kenapa kau menghajar rusak gitarku?" Jago Persia itu jadi semakin gusar. „Kau mengucap lebih banyak satu patah, nanti aku menghajarmu bonyok seperti gitarmu itu!" dia mengancam. ,Ah, kau berani?" Helois menantang. Masih ia memegangi gitarnya itu. „Kenapa aku tidak berani?" menantang pula si jago Persia, sebelah tangannya terus diulapkan, menimpuki dua buah apel yang besar, hingga gitarnya si pangeran Yunani terlepas dan jatuh! Menon bersimpati kepada Helois, ia menjumput pisau dan garpu di atas meja dengan apa ia terus menimpuk pengacau pesta itu. Rana dari Afghanistan pun tidak senang. „Kurang ajar!" dia membentak. „Di dunia di mana ada makhluk begini tidak tahu aturan?" Dirhamshah tertawa terbahak. „Mari aku pun menabu mengasi kau mendengar!" ia berseru, lalu ia menimpuk dengan pisau dan garpu, yang tadi ia tanggapi dari Rana si pemilik peternakan dari Afghanistan itu. Ia menggunai sepuluh jeriji tangannya. Rana tidak keburu berkelit, sebelah kupingnya kena dibikin somplak. „Bagus! Bagus!" jago Persia itu berteriak-teriak. „Baiklah malam ini kita mendahulukan melakukan ujian yang memutuskan! Kau, Kabat, apakah kau mempunyai nyalimu?" „Dirhamshah, aku bantu kau!" menjawab si pemuda bangsawan dari Samarkand. Demikian, kacaulah ruang pesta itu. Cuma jago Nepal yang tidak turut mengambil bagian. Ialah tuan rumah, yang mesti memegang derajat. Maka ia lari keluar sambil berseru-seru. Hoa Seng heran kenapa orang jadi gila demikian rupa. Ia lari turun di tangga, untuk melihat. Maka ia menyaksikan Dirhamshah, dengan mata bengis, berkelahi dengan bengis juga. Rana kena ditinju hingga dia ter-huyung-huyung mau roboh. Menon menghajar jago Persia itu, gagal, sebaliknya, tinjunya mengenai mukanya Kabat. Dirhamshah lantas membalas menyerang Menon, jago India yang pandai ilmu yoga, maka dia berkelit, karena mana, tinju jago Persia itu mengenai pot bunga sampai pot itu hancur! Kabat dari Samarkand menjadi murka, ia terus membantu Dirhamshah, melihat jago Persia itu melayani Menon si jago India, ia pergi menyerang Helois, pangeran dari Yunani yang tubuhnya lemah lembut tetapi ilmu silatnya sempurna, tujuh atau delapan kali ia meninju, tak satu juga yang mengenai sasarannya. Dalam sengitnya, ia menubruk. Helois menangkis dengan kedua tangannya, sembari menangkis, ia membangkol lengan penyerangnya itu, terus ia menekuk ke belakang. „Apa masih kau hendak berkelahi?" dia menanya. „Bagus!" diam-diam Hoa Seng memuji pangeran Yunani itu. „Ilmu silat menangkap tangannya ini mirip sama tipu silat Kim-na-cioe dari partai Eng Jiauw Boen." Kabat nampaknya bakal roboh, tetapi nyata dia pandai ilmu peluk banting, sebelah kakinya menggaet, maka kontan Helois roboh, maka dia terus menyambar dengan tangan kiri, untuk menangkap tangan. Karena ini, keduanya jadi bergulingan. Segera juga kupingnya Kabat kena dihajar, sedang Helois kena tertinju rusuknya. Habis itu mereka sama-sama berlompat bangun. Kabat lantas menyemburkan darah, sebab giginya kena dihajar rontok dua buah. Helois marah, dia menubruk. Dari itu, kembali mereka saling menerjang. Pertempuran di antara jago-jago Persia dan India pun hebat. Ilmu yoga Menon sudah delapan bagian mahir tapi tinju Dirhamshah dahsyat sekali. setelah kena ditinju delapan kali, dia bermandikan peluh dan batok kepalanya menghembuskan hawa panas. Melihat keadaan Menon, Hoa Seng mengerti orang sudah letih sekali. Demikian, ketika dia dihajar satu kali lagi, dia terhuyung. Dirhamshah lagi gusar, dia maju untuk menyerang terus. „Sampai di situ, Hoa Seng mengambil putusan buat turun tangan. Kalau tidak, ia kuatir nanti terjadi onar hebat, mungkin ada perkara jiwa. Ia lompat turun dari atas tangga, tepat tiba di dekat Dirhamshah dan Menon, maka dengan tangan kanan ia menangkis pukulan, menahan tangannya si jago Persia, dengan tangan yang lain ia menolak Menon. „Bagus betul!" berteriak jago Persia itu sengit. „Kamu main keroyok, ya?" Ia lantas menyerang, dengan tangan kiri, dengan tangan kanan juga. Hoa Seng menangkis dengan sebelah tangan tetapi ia kalah desak, terpaksa ia menggunai dua-dua tangannya. Justru itu, Kabat dan Rana lompat menyerang. Sebenarnya ia hendak bicara, terpaksa ia membatalkan niatnya itu. Ia heran untuk sikapnya Rana. Tadi jago Afghanistan ini membantui Helois, sekarang dia berbalik, sedang orang bangsawan dari Samarkand itu memang membantui si jago Persia, demikian, selagi ia dapat berkelit dari Kabat, tinjunya Rana mengenai punggungnya. „Kau busuk!" Helois mencaci Rana, yang terus dia serang dengan satu tinjunya. „Aku minta, tahan dulu!" Hoa Seng berteriak, di saat pangeran Yunani itu mau menyerang Kabat. „Kita semua tetamu di sini, sekarang kita mengacau, apa tidak malu?" „Kau mengerti tidak aturan bertempurnya orang gagah?" tanya Dirhamshah tertawa dingin. „Bertempur untuk si cantik itulah keagungan kita! Malu apa? Hm! Kau yang tak bernyali, kau berani mentertawakan kita? Kamu orang Tionghoa semuanya setan-setan cilik yang bernyali kecil ……." Ia tidak menanti habisnya ejekannya itu, mendadak ia meninju dada orang! Hoa Seng mendapat lihat bokongan itu. la hendak mencoba tenaga orang. Ia lantas menangkis. Menyusuli benterokan yang keras, Dirhamshah mundur tiga tindak. Hoa Seng sendiri bergoyang tubuhnya, meskipun gojangan sedikit, ia toh berpikir: „Dia telah bertempur lama tetapi dia masih kuat, dia tidak boleh dipandang enteng." Lebih kaget adalah jago Persia itu. Kekacauan ini dialah yang atur bersama pangeran Nepal, untuk dapat mengganggu Koei Hoa Seng. Ada dua konconya, ialah Kabat si orang bangsawan dari Samarkand dan Rana si pemilik peternakan dari Afghanistan. Mereka hendak mengarah Hoa Seng tetapi Hoa Seng lantas mengundurkan diri sebelum pesta berakhir, terpaksa mereka menukar siasat dan mengganggu Helois, maksudnya tak lain guna memancing Hoa Seng muncul pula. Sengaja Rana dititahkan membantu Kabat, guna menipu Hoa Seng hingga ia ini tidak bersiaga. Menon tidak tahu apa-apa, dia membantu Helois cuma disebabkan dia penasaran, dia hendak menjunjung keadilan. Begitulah Dirhamshah menggunai ketikanya, dia menghajar Menon dan Kabat hingga mereka ini terluka parah. Dirhamshah sangat percaja dirinya sebagai jago Persia yang nomor satu, pula ia telah ketahui Hoa Seng sudah menenggak arak Seratus Hari Mabuk, yang dapat mengakibatkan orang kehilangan tenaga, selagi Rana pun bakal membantu padanya. la merasa pasti pemuda Tionghoa itu tidak akan bertahan untuk satu hajarannya saja. Maka kagetlah ia ketika ia ditangkis hingga terpental sedang orang yang diserang melainkan terhuyung sedikit. Hoa Seng mengawasi sambil tertawa mengejek. „Dirhamshah, aku menerima baik tantanganmu!" katanya dingin. „Mari kita bertempur satu sama satu, untuk memastikan menang dan kalah!" Matanya jago Persia itu memain, dengan sendirinya ia gentar juga. „Baiklah!" ia, menerima tantangan. Ia malu untuk kalah gertak. „Mari kita bertaruh dengan itu lilin merah sebagai batas temponya. Kalau lilin itu habis dan aku masih belum dapat merobohkan kau, maka sukalah aku mengambil kau sebagai sahabatku!" Hoa Seng tidak takuti tantangan itu. Ia lantas ingat pertandingannya sama Timotato baru ini. „Kau, binatang, dapatkah kau dibanding sama Bapak Daud?" pikirnya. „Bagaimana kali berani menelad contoh orang!" Bedanya pertaruhan itu ialah, kalau Timotato sebelum api lilin padam, Dirhamshah sampai habisnya sebatang lilin itu. Jago Persia ini kuatir lawannya dapat bertahan lama maka ia meminta tempo yang terlebih lama. Ia mengharap, makin lama Hoa Seng nanti makin berkurang tenaganya.... „Baik, aku terima pertaruhan ini!" Hoa Seng menyambut. „Kalau lilin sudah habis dan kita masih belum dapat memutuskan kalah atau menang, aku juga suka bersahabat denganmu." Dirhamshah girang sekali hingga ia lantas berteriak: „Kabat! Rana! Kuminta sukalah kamu menjadi saksi-saksi! Aku hendak bertanding sama Tuan Koei ini. Siapa menggunai alat senjata atau senjata rahasia, dialah yang tidak menghargai dirinya sebagai ksatria, dia diputuskan kalah!" Dirhamshah mengatakan demikian karena dari pangeran Nepal ia telah mendapat kisikan bahwa Hoa Seng mempunyai pedang yang tajam, sedang menurut kitab-kitab persilatan yang ia telah baca, ia ketahui dalam ilmu silat Tionghoa ada apa yang dinamakan senjata rahasia, yang banyak macamnya. Ia sendiri mengerti juga senjata rahasia akan tetapi dia jeri untuk menempur ahli-ahli senjata rahasia bangsa Tionghoa. Maka itu siang-siang ia mengajukan syaratnya itu. Kabat memberikan jawabannya akan tetapi suaranya parau dan menggetar. Itulah sebab ia dihajar parah oleh Helois dan dua buah giginya rontok. Cuma dengan membesarkan hati dapat ia muncul juga. Sebaliknya, Rana tidak nampak batang hidungnya. Dengan jalan terhuyung, Helois memunculkan diri. „Mari aku menjadi saksi!" ia berkata, „Eh, Kabat, kau sahabatnya Dirhamshah, sedang Koei Hoa Seng adalah sahabatku, maka itu kita berdua tidak boleh berat sebelah, tidak boleh mengeloni siapa juga!" Lukanya Helois ini tak kalah hebat dari pada lukanya Kabat. Tapi toh ia masih mempertahankan diri. Dua-dua Hoa Seng dan Dirhamshah lantas bersiap sedia. Mereka tinggal menantikan isyarat dari wasit, yang berbareng menjadi saksi-saksi mereka. Helois bersenyum ketika ia mengangkat sebuah tetampan perak serta sebuah pisau meja pesta. „Tuan Koei," ia berkata kepada Hoa Seng, „sebelum aku melakukan tugasku sebagai wasit, hendak aku, dalam kedudukanku sebagai sahabat, memujikan kemenanganmu! Untukmu nanti, aku bersiap akan memainkan sebuah lagu!" Lantas, „Traang!" ia memalu satu kali, terus ia berkata pula nyaring: „Untuk kehormatannya Tiongkok dan Yunani, sahabatku, aku minta kau berkelahilah dengan bersemangat!" Jago Persia itu mementang kedua matanya. „Baiklah kau nantikan saja musik orang mati!" bentaknya. Pangeran Yunani itu tertawa. „Janganlah kau ketakutan tidak keruan!" katanya mengejek. „Sahabatku ini tidak nanti menghajar kau hingga mampus!" Lalu terdengar tiga kali suara „Traang!" dari ditabuhnya tiga kali tampan perak, diiringi suara menghitungnya. Dengan mendadak Dirhamshah menggeraki kedua tangannya, yang ia pentang, guna mencekal sepasang tangannya Hoa Seng. Pemuda she Koei itu mengasi lihat kelincahan tubuhnya. Jangan kata tangannya, ujung bajunya pun tidak kena terlanggar. Setelah memutar tubuh sebat sekali, ia menyerang ke nadi lawannya itu. Dirhamshah sekarang mengeraki kedua tangannya menyambuti serangan itu, untuk menggencet tangan orang. Ini pun ada serangan untuk memecah penyerangan lawan. Setelah ini ia menyerang pula, guna merangsak. Kedua tangan dan kakinya bergerak dengan sebat. Hoa Seng hendak mencoba-coba, ia memperlihatkan keringanan tubuhnya. Ia menggunai tipu silat „Pat-kwa Yoe Sin Ciang-hoat." ialah ilmu kelincahan tubuh yang bergerak merdeka ke delapan penjuru. Tubuhnya lantas berkelebatan di samping kepalannya yang bersuara sar-ser juga. Menampak permainan silat lawannya, si jago Persia menyedot hawa dingin di mulutnya. Kalau tadi ialah si penyerang, sekarang ia mesti mengubah siasat. Ia meringkaskan tubuh, untuk menutup diri. Ia merasa bahwa ia telah membela diri baik sekali, tidak urung beberapa kali kepalan Hoa Seng mampir juga di tubuhnya, hanya karena bertubuh kuat, ia tidak roboh karenanya, cuma setiap kali kena diserang, ia merasakan sakit. 21. Kejujuran Menghasilkan Musuh Menjadi Kawan Sambil bertempur itu, Hoa Seng menggunai kesempatan akan sewaktu-waktu melihat ke sekitarnya. Maka itu ia heran ketika. ia mendapatkan parasnya Helois si pangeran Yunani menjadi bergelisah. Maka ia lantas memandang ke lilin, yang telah terbakar separuh lebih. „Pangeran ini mengharapi aku menang, tidak dapat aku membikin dia kecewa," ia berpikir, menyusul mana, ia membuat perubahan. Sekarang serangannya dicampur sama bacokan atau totokan, ialah ilmu silat yang ia peroleh dari Tatmo Pit-Kip, kitab rahasia Bodhidharma. Dengan lantas jago Persia itu keteter. „Kena!" kemudian Hoa Seng berseru, ia telah melihat lowongan dan lantas menggunai ketikanya. Dengan beruntun ia menotok di lima jalan darah thian-kie, tee-kwat, kwie-tjhong, hong-hoe dan giok-cim. Kalau orang biasa, satu saja jalan darahnya ditotok, dia tentu roboh, akan tetapi lawannya anak muda ini benar-benar hebat, tubuhnya kuat luar biasa, ia cuma terhuyung mundur beberapa tindak, ia tidak roboh. Inilah disebabkan ia pun mengerti ilmu menutup jalan darah, semacam ilmu yang berada di Persia dan Eropa. Namanya itu ialah „Menutup jalan darah tengah hari." Sebenarnya dengan ini ia hendak merebut kemenangan tetapi kelincahan lawan membikin ia tidak memperoleh kesempatan untuk menurunkan tangan terlebih dulu. Biar bagaimana, ilmu menutup jalan darah itu tidak sempurna seperti ilmu Tionghoa, maka juga, ketika kena ditotok, Dirhamshah merasakan tubuhnya sesemutan hingga ia terhuyung-huyung. Ia menjadi terkejut. Ia tahu sekarang liehaynya totokan lawan itu, maka hatinya menjadi kecil. Ia mau menang tempo dengan api lilin itu, kalau ia ditotok terusterusan, ia bisa celaka. Karena ini, ia memikir untuk menukar siasat. Segera ia mencari ketikanya, terus ia bersikap hendak menyerang. Untuk itu ia menanti lawannya menyerang kepadanya. Ia membuka kepalannya, ia pun berseru. Melihat sikapnya, ia hendak menangkap tangan lawan. Mulanya Hoa Seng terperanjat tetapi segera ia menerka maksud musuh. „Terang sudah dia mau mengadu tenaga denganku, untuk dia menang tempo seapi lilin itu," pikirnya. Dengan lantas tangan kedua pihak bentrok, tangannya jago Persia itu menahan. Dengan begitu, mereka mulai mengadu tenaga. Hoa Seng berlaku waspada dan tenang. Di satu pihak ia mengumpulkan tenaga di tangan, di lain pihak ia mencoba mengelakan tenaga lawannya itu. Setelah lewat sekian lama, Dirhamshah mulai bermandikan keringat dan napasnya memburu, setindak dengan setindak, ia mundur. Ia menggunai tenaga besar di kakinya, setiap ia menindak itu, batu lantai melesak meninggalkan tapak kakinya. Helois melihat itu, ia terkejut. Ia jadi berpikir: „Jago Persia ini begini liehay, dia masih kena dimundurkan Koei Hoa Seng, dilihat dari sini, ilmu silat Tionghoa benar-benar yang nomor satu di dalam dunia!" Selagi api lilin mendekati ujungnya, tenaganya Dirhamshah pun seperti sudah kurang. Pasti sekali dia tidak bakal dapat bertahan. Helois mengangkat garpunya, ia bersikap hendak memukul tampan. Di saat tegang itu mendadak terdengar suara berisik dari tindakan banyak kaki. Segera ternyata jago Nepal, Rakandu, telah mengundang putera raja, dan pangeran itu lantas menggoyang-goyang tangannya sambil berteriak: „Eh, eh, kamu bikin apa di sini? Dengan memandang kepada tuan rumah, aku minta janganlah kamu merusak persahabatan!" „Sebenarnya tidak apa-apa!" berkata pangeran dari Yunani. „Tuan Koei ini bersama Dirhamshah tengah bertanding menurut aturan bangsa pahlawan untuk mendapatkan si cantik!" Hoa Seng mengendorkan tenaganya dengan tiba-tiba, atas mana si jago Persia, yang kehilangan ke seimbangannya, lantas roboh sendirinya. Helois, dalam kegembiraannya, mengetok-ngetok tampan perak seraya bernyanyi: „Harimau dari Persia nyata tak dapat melawan singa dari Tiongkok! Oh, sahabatku, maka buah apel emas dari gunung Olympus bakal dilahirkan kepadamu dan kaulah kekasihnya Venus!" Itu artinya, karena Koei Hoa Sang menang, dia bakal memperoleh tangan puteri Nepal. Setelah roboh, Dirhamshah berlompat bangun, mukanya merah. Ia sekarang bersyukur kepada Hoa Seng. Kalau umpama ia mau dibikin celaka Hoa Seng, tentulah ia terbinasa atau sedikitnya terluka parah. Sekarang ia cuma malu tapi tubuhnya selamat. Hoa Seng lantas berkata kepada pangeran Nepal: „Terima kasih untuk hadiah arakmu! Kami telah minum itu, lantas kami mengacau sedikit, hingga kami berlaku kurang tahu aturan!" Ia pun memberi hormat. Mukanya pangeran itu merah. „Jago-jago bertanding, itulah tidak apa," sahutnya jengah. „Sekarang cukup sudah, karena sama-sama tidak ada yang terluka, jangan kamu bertanding pula. Silahkan kamu beristirahat." Di mulut ia mengatakan demikian, di hati ia berpikir: „Sekarang ini sudah terang Hoa Seng mengetahui rahasiaku. Karena sudah pasti dia bakal menjadi menantu raja, aku suka atau tidak, aku mesti terima dia. Baiklah, sekarang tidak boleh aku melayani dia. Hari pun masih panyang …….." Ia lantas memberi selamat malam, terus ia mengundurkan diri. Baru pangeran ini pergi atau „Bruk!" ada seorang yang roboh ke lantai …….” Itulah Kabat yang roboh. Dia terluka parah, dia menjadi wasit saking terpaksa. Hoa Seng lantas mengasi bangun orang bangsawan dari Samarkand itu. „Inilah sahabatku, tak usah kau mencapaikan hati untuknya," berkata Dirhamshah. „Baiklah kau menolongi sahabatmu saja." Hoa Seng segera menoleh. Maka terlihatlah olehnya Menon lagi duduk bersila, dari embun-embunannya keluar hawa berupa putih, sedang parasnya mulai sedikit bersemu dadu. Terang jago India itu lagi menggunai ilmu yoga untuk mengumpul tenaga, guna mengobati luka di dalam tubuhnya. Karena merasa, tanpa pertolongan juga orang India itu dapat menolong diri, ia lantas berpaling kepada Helois, pangeran dari Yunani. Dia ini telah keluar otot-otot biru di jidatnya, nampaknya dia letih dan lemah, tandanya lukanya tak enteng. "Baiklah," ia kata kepada Dirhamshah, jago dari Persia itu, „mari kita sama, mengurus sahabat masing-masing. Sahabatmu itu terluka di dalam, kau harus menyalurkan jalan darahnya serta mengurutnya." „Tak usah kau mengajari, kami orang Persia ketahui bagaimana harus mengobati lukanya," kata Dirhamshah, jumawa. Menyaksikan orang demikian besar kepala, Hoa Seng membatalkan niatnya untuk memberi penjelasan lebih jauh. Ia lantas minta Helois merebahkan diri, untuk ia menolongi. „Tunggu dulu," berkata pangeran Yunani itu. „Ada orang yang terluka lebih hebat dari padaku …….” Hoa Seng pun lantas mendengar suara rintihan yang terputusputus. Ketika ia berpaling, ia melihat Rana, jago dari Afghanistan. Dia ini telah menyerang pemuda kita, dia terserang tenaga membal dari si anak muda, mulanya dia tidak merasakan seberapa, hanya makin lama rasa nyerinya makin hebat, sampai dia seperti tak kuat bertahan diri lagi. Hoa Seng lantas memberikan sebutir obatnya. „Aku tidak melukakan kau di bagian dalam, jiwamu tidak terancam bahaya. kau jangan takut," pemuda ini menghibur. „Kau makan obat ini, lantas kau rebah tiga hari, lantas kau akan sembuh." Hoa Seng membenci orang ini membokong padanya, maka itu ia suruh orang rebah selama tiga hari. Sekalipun si puteri tidak melihat cara ia melukainya. Sebenarnya Rana tidak suka menerima obat itu, tetapi dia merasakan lukanya hebat sekali, terpaksa dia menebalkan muka dan menerimanya juga, bahkan dia terus menelannya. Obatnya Hoa Seng itu ada pel Pek Leng Tan warisan dari Hui Beng Siansoe, couw-soe atau pendiri dari Thian San Pay, di antara bahan obat-obatannya ada juga soat-lian, teratai salju yang langka itu. Ia mempunyai lima butir tetapi karena kemuliaan hatinya, ia suka mengurbankan itu untuk Rana. Hampir sehabisnya dia menelan obat itu, Rana lantas merasai sakitnya lenyap separuhnya, tangan dan kakinya yang belum dapat digeraki, dari itu ia lantas minta tolong orang menggotong padanya untuk beristirahat di pembaringan. Hoa Seng lantas memusatkan kepandaiannya terhadap Helois. Setelah mendapat petunjuk dari Liong Yap Taysoe, pesat kemajuan tenaga dalamnya, maka itu dalam tempo yang cepat luar biasa, ia dapat menyalurkan jalan darahnya bangsawan dari Yunani itu, yang juga ia berikan sebutir Pek Leng Tan. „Sekarang ini," berkata Helois kemudian sambil tertawa, „aku merasa diriku lebih segar dari pada sebelumnya aku terluka. Liehaynya ilmu silat dan ilmu tabib Tionghoa sungguh membuatnya aku kagum!" Kemudian orang melihat Menon, Jago India itu sudah dapat bangun berdiri hanya sepasang alisnya masih berkerut, tanda dia merasakan sesuatu kesulitan. „Saudara jangan kuatir," kata Hoa Seng. Dengan mendadak ia menyambar tubuh orang untuk diangkat dengan dibalik, hingga menjadi kakinya di atas, kepalanya di bawah, menyusul mana, telapakan tangannya ditempelkan kepada jalan darah Giokcoan di telapakan kaki orang itu! Helois kaget. „Eh, kau bikin apakah?" ia tanya. Hoa Seng tengah mengerahkan tenaganya, ia tidak menjawab hanya melainkan tertawa. Ia tidak mengambil tempo lama, lantas ia memutar pula tubuh orang untuk lantas dilepaskan. Menon berlompat untuk bendiri. „Terima kasih!" katanya dengan sikap sangat menghormat. „Kau hebat sekali, kau dapat juga mengobati aku dengan ilmu yoga dari India!" Memang juga Hoa Seng menggunai ilmu pengajarannya Liong Yap Taysoe. „Kau telah sembuh, tenagamu telah pulih," berkata Hoa Seng, „maka itu kau tak usah kuatirkan lagi urusan pertandingan besok. Sebenarnya, dengan tenagamu sendiri, tanpa bantuanku, di dalam tempo dua hari, kau akan sembuh kembali seperti sediakala." Menon agaknya jengah. „Sebenarnya juga aku memikirkan ujian besok hari," ia berkata terus terang. „Tetapi sekarang walaupun aku telah sembuh, besok aku tidak akan turut mengambil bagian." „Kenapa begitu, saudara?" Hoa Seng menanya. „Pertama kali aku tiba di Katmandu ini," menyahut Menon, „aku telah bertemu sama pangeran Jatsingh. Pangeran itu telah menyebut-nyebut namamu, yang dia puji tinggi. Sekarang aku bertemu sendiri denganmu, nyata pujiannya pangeran itu bukan pujian belaka. Bukan saja kau gagah, kau pun tampan, maka itu kecuali kau, siapa lagi yang dapat dijodohkan dengan tuan puteri? Dengan mendapat sahabat dalam dirimu, aku sudah puas, karenanya aku tidak memikirkan lagi kebahagiaan sebagai seorang hoe-ma. Besok pagi-pagi aku akan berangkat pulang ke negeriku, semoga di lain kali kita dapat bertemu pula!" Melihat orang telah berkeputusan tetap, Hoa Seng terpaksa menyambuti tangan Menon itu, untuk berjabatan tanda selamat berpisah. Kapan kemudian ia kembali ke atas lauwteng, Hoa Seng memikirkan sesuatu, dari itu ia menyenderkan dirinya di loteng seraya memandang si Puteri Malam. Katanya di dalam hati: „Di waktu pertama kali mereka itu melihat aku, semua bersikap bermusuh, tetapi sekarang ini sedikitnya Menon dan Helois telah menjadi sahabatku. Benar sekali, asal orang berlaku jujur, musuh pun dapat berubah menjadi kawan ………….” Tengah ia berpikir itu, Hoa Seng mendengar satu suara di sebelah belakangnya. Ia menoleh dengan cepat. Maka ia melihat Helois dengan gitarnya. Paras pangeran Yunani itu tersungging senyuman. „Telah aku bikin benar gitarku ini," katanya tertawa. „Aku menyiapkan ini untuk besok bernyanyi untuk kemenanganmu!" „Sayang aku tidak pandai bersyair sebagai kau," kata si anak muda bersenyum, „kalau tidak tentu aku akan membuatnya satu untukmu! Meng¬apa kau mengatakan begini?" Pangeran itu tertawa. „Kau tahu, besok aku hanya seorang penonton!" katanya. „Jadinya kau tidak turut ujian?" Hoa Seng menegaskan. „Kami bangsa Yunani paling gemar menonton pertunjukan," menyahut Helois, „dari itu dari pada bercapai lelah menjadi pemain-pemain sandiwara, lebih baik kami berdiam tenangtenang di bawah pentas selaku penonton. Dalam dongeng bangsa kami ada satu dewa matahari bernama Apollo, yang gemar sekali akan segala apa yang baik di dalam dunia ini, maka aku pun ingin sekali meneladnya. Sebegitu jauh yang aku pernah lihat, kaulah pria paling tampan, sedang hatimu mulia sekali. Puteri Nepal juga wanita tercantik di kolong langit ini, maka itu kalau kamu berdua dapat merangkap jodoh, itulah perjodohan paling tepat dan manis. Adalah hal yang paling menggirangkan aku akan menyaksikan perangkapan jodoh kamu berdua. Laginya, ketika pertama kali aku bertemu denganmu, pernah aku mengatakan akulah pengikut atau pemuda dari Plato, maka dalam soal asmara, aku mempunyai pandanganku sendiri." Hoa Seng tertarik kepada tingkah lakunya pangeran ini, maka itu ia menjabat tangan orang erat-erat sambil ia menghaturkan terima kasihnya. „Cuma ada satu hal yang ingin aku mengatakan kepada kau," berkata Helois kemudian. „Terhadap apa yang bagus, kita harus menjaga dan melindunginya. Sudahkah kau berpikir dan bersedia-sedia akan melindungi tuan puterimu itu?" Hoa Seng bersenyum. Di dalam hatinya ia kata: „Kata-kata semacam ini aku cuma dapat mengutarakannya kepada tuan puteri sendiri ………” Helois tidak menanti orang menyahuti ia, ia menambahkan: „Wanita cantik itu ada bagaikan bunga kenamaan, maka dia haruslah dijaga agar tidak sampai jatuh ke dalam lumpur! Mengertikah kau akan maksudku ini? Kalau kau membiarkan dia menjadi ratu, itulah hebat sekali! Untuk menjadi raja saja, suatu usaha gila, aku si manusia biasa merasakan kepalaku sakit. Tapi buat gunamu, mungkin aku akan merasakan menjadi raja juga, supaya kalau nanti kau datang ke negeriku, bisa aku menyambut kau di dalam perahu terhias paling indah guna kau dapat mengicipi kemanisannya laut asmara!" Hoa Seng tertawa. „Baiklah!" katanya. „Sekarang terlebih dulu aku menghaturkan terima kasihku! Oh, pangeran penyair yang baik, semoga inilah bukan khayalan belaka!" Sampai di situ mereka saling memberi selamat malam, untuk beristirahat. Besoknya ialah hari ujian yang terakhir. Acara pertama ialah menguji ilmu silat pedang dan itu bakal dilakukan oleh tuan puteri sendiri. Tempatnya ialah di dalam taman. Jumlah calon hoe-ma, atau menantu raja, tinggal tiga. Pagi-pagi sekali, Menon sudah berangkat pulang ke negerinya. Helois telah menyatakan mengundurkan diri. Rana masih rebah di atas pembaringannya, lukanya belum sembuh. Kabat si pangeran dari Samarkand telah terluka, benar dia dapat ditolong Dirhamshah hingga jiwanya tidak terancam bahaya tetapi dia masih lemah, tidak dapat dia turut terus dalam ujian. Ketiga calon itu ialah Hoa Seng dari Tiongkok, Dirhamshah dari Persia, dan Rakandu dari Nepal. Menurut undian, yang maju paling dulu ialah Rakandu, baru Dirhamshah, dan yang terakhir, Hoa Seng. Ketika Hoa Seng memandang panggung yang menjadi gelanggang pertempuran di dalam taman itu, hatinya berdenyutan. Ketika saat ujian mendekati, di dalam taman telah hadir banyak penonton. Merekalah jago-jago yang telah roboh di hari-hari pertama, mereka penasaran, mereka ingin menyaksikan akhirnya. Umumnya mereka itu tidak dapat menguasai diri, dari itu melihat tiga calon terakhir, sinar mata mereka mengandung sinar kejelusan. Kapan telah tiba saat yang dinanti-nantikan, di sana terdengarlah bunyinya musik. Menyusuli itu, panggung yang ditutup dengan layar yang indah, layarnya mulai disingkap disingkirkan. Maka di lain saat lagi, puteri Nepal, yang menjadi taycoe, ialah si penguji, muncul perlahan-lahan dari belakang panggung. Segala apa sunyi di dalam taman itu. Tuan puteri memakai cala akan tetapi dari sela-selanya, cala itu toh terlihat sinar matanya yang celi dan tajam berpengaruh. Matanya semua jago mengawasi kearah puteri itu, meskipun mereka tidak melihat tegas karena teraling cala, mereka merasakan kecantikan yang menggiurkan. Helois berkata didalam hatinya: „Ahli filsafat mengatakannya, kecantikan itu tidak dapat dilihat hanya dengan mata tetapi pun harus dengan hati, inilah benar sekali!" Begitu lekas musik berhenti, maka terdengarlah suara si pengacara: „Calon pertama, Rakandu, jago Nepal, silahkan maju untuk menerima ujian dari tuanku puteri! Yang diuji ialah ilmu pedang!" Rakandu lantas bertindak maju. Lebih dulu ia menekuk kakinya, untuk memberi hormat kepada puteri itu. Ketika itu terlihat yang tubuhnya bergemetaran. Melihat itu, puteri bersenyum dan berkata dengan halus : ”Seorang pahlawan yang menghadapi medan pertandingan, dia harus gagah dan tenang. Kemenangan atau kekalahan adalah yang nomor dua. Yang paling utama ialah dia harus menunjuki semangat kejantanannya!" Mendapat anjuran semangat itu, Rakandu dapat menetapkan hatinya. Ia terus menghunus pedangnya. „Akan aku melakukan sebisanya," katanya. „Silahkan tuan puteri memberi petunjuk." Jago Nepal ini telah dapat menenangkan diri, tidak urung suaranya masih sedikit tergetar. Puteri raja itu, dimatanya bangsa Nepal, ada bagaikan wanita suci atau dewi, sekarang Rakandu dapat berdiri mendampinginya, tidak heran, walaupun ia girang hatinya toh bertiktokan, ia merasa jeri juga …….. Kembali puteri itu bersenyum, tangannya mengeluarkan sebatang seruling kumala. „Akan aku menggunai seruling ini sebagai gantinya pedang," katanya manis. „Kau menyambutlah dengan sungguhsungguh!" Habis berkata, puteri itu segera menggeraki tangannya, dengan serulingnya itu ia menotok. Monyaksikan gerakan tangan puteri itu, semua penonton lantas bersorak. Mereka mengenali gerakan yang lincah itu, suatu jurus yang terindah dalam ilmu pedang. Rakandu mengangkat pedangnya, guna menutup diri, akan tetapi „Bret!" maka ujung tangan bajunya kelanggar ujung seruling hingga robek! „Berlakulah lebih tenang!" berkata puteri. Rakandu menjadi malu, mukanya bersemu merah. Ia menyingkir dari sinar mata berpengaruh dari puteri itu, terus ia melayani sebagai juga ia bukan lagi menempur puteri rajanya. Dengan begini bisalah ia melayani sang puteri. Jago Nepal ini bukan seorang lemah, buktinya lebih dulu dari pada ini ia telah menangkan pelbagai pertandingan. Ia bisa bergerak dengan sebat, setiap gerakan pedangnya memperdengarkan suara keras. Akan tetapi di depan ia, puteri itu dapat melayani padanya tak kalah gesitnya, seruling kumala bagaikan terbang menari-nari mengimbangi pedang. Semua penonton menjadi kagum sekali, malah ada yang berpikir: „Kalau aku menjadi Rakandu, jangan-jangan aku sudah kalah ………..” Selama pertempuran berjalan sekira sepasangan sebatang hio, Rakandu sudah tiga kali kena ditowel ujung seruling. Syukur seruling bukannya pedang, kalau tidak, tentulah ia akan memperoleh tiga liang yang mengucurkan darahnya. Maka lantas ia melemparkan pedangnya, sambil menekuk lutut, ia berkata: „Tuan puteri, aku tidak berhasil, aku malu ……….” „Tetapi kau telah melakukan apa yang kau bisa," berkata puteri, suaranya menghibur. „Di dalam pahlawan kita, tidak ada lainnya yang dapat menandingimu. Pantaslah kau menempati kedudukannya komandan pasukan pengiring Sri Baginda!" Mendengar perkataan itu, bukan kepalang girangnya Rakandu. Ia benar kalah tetapi segera ia memperoleh pangkat. Inilah di luar dugaannya! Bagaimana agung untuk menjadi congkoan dari pasukan Gie-lim-koen! Maka dengan kegirangan ia turun dari panggung. Sekarang gilirannya calon yang ke dua. Dirhamshah mau mempertontonkan kegagahannya, begitu namanya disebut, dia berlompat naik. Tinggi panggung ada tiga tombak, tetapi hampir tak nampak kakinya menjejak, dia sudah sampai di atas ring. Dia lantas memberi hormat kepada puteri, tetapi dia tidak lantas menghunus pedangnya hanya terus mengawasi seruling puteri itu. Puteri Nepal berlaku tawar ketika ia berkata: „Aku tetap akan menggunai serulingku ini. Silahkan kau menghunus pedangmu!" Jago Persia itu besar kepala, ia angkuh sekali ia pun belum pernah menerima semacam perlakuan menghina, hatinya panas, hampir ia tak sudi memberikan penyahutannya ketika mendadak ia pikir: „Dia menggunai seruling, dia pasti bakal kena terkalahkan olehku! Dengan aku bakal terpilih, perduli apa aku dengan sikap jumawanya ini?" Maka ia lantas menghunus pedangnya, dengan suara nyaring ia berkata: „Kalau begitu baiklah, aku menurut titah tuan puteri! Maaf!" Sambil maju setindak, Dirhamshah membabat lengan puteri. Serangan itu hebat. Ketika ia berkelit, puteri agak terkesiap hatinya. Ia lantas membalas, menotok ke pundak jago itu. Hebat ilmu pedang pahlawan Persia ini. Pedangnya itu, selain dipakai menikam dan menabas, dapat juga digunai untuk menggaet, seperti biasa dilakukan dengan houw-tauw-kauw, ialah gaetan, dalam ilmu silat Tionghoa. Maka itu, ia mendatangkan kekaguman para penonton. Puteri Nepal berlaku tenang tetapi lincah. Ia bersilat dengan ilmu silatnya yang ia baru menciptakannya, ialah Peng-coan Kiam-hoat, ilmu pedang Sungai Es. Di antara sorotan matahari, serulingnya berkilauan menyilaukan mata dan mendatangkan hawa adem pula. Maka itu, ia pun mendatangkan kekaguman dari semua calon yang gagal itu. Inilah untuk yang kedua kali puteri Nepal menggunai ilmu silat pedangnya itu. Mulanya ia masih kurang lancar, setengah jam berselang baru ia dapat menggunainya dengan sempurna. Sekarang Dirhamshah diam-diam menyedot hawa dingin dari mulutnya. Ia tidak menduga yang puteri demikian liehay. Lagi sekian lama, puteri mainkan pedangnya dengan cara lain lagi. Ia bergerak ke segala penjuru seperti tanpa perhatian, bagaikan tidak menggunakan tenaga. Inilah disebabkan ia memakai tenaga lunak, hingga ia nampak menjadi lemah. Melayani cara berkelahi ini, Dirhamshah kena dipengaruhkan, dia merasa dirinya keteter. „Inilah hebat," pikirnya kemudian. Maka ia berteriak, terus ia membacok dengan keras. Ia telah memikir akan menghajar patah seruling kumala di tangan si nona. Atau, kalau puteri itu tidak dapat menangkis, mungkin jiwanya melayang. Ia sudah tidak menghiraukannya apa-apa lagi, asal ia menang ………. Di bawah ring orang terkejut melihat cara berkelahinya jago Persia itu. Dia nampaknya nekat dan kejam. Di antaranya orang yang darahnya panas, lantas mengeluarkan cacian. Meski sudah gagal, mereka ini umumnya bangsa laki-laki dan berkesan baik terhadap puteri. Akan tetapi tuan puteri tidak menghiraukan serangan dari kematian itu. Bahkan selagi di bawah panggung riuh dengan cacian, di atas ring Dirhamshah menjerit keras, tubuhnya terlempar jatuh ke bawah panggung yang tingginya tiga tombak. Dia roboh terbanting, terus dia bergulingan, rupanya dia berdaja untuk berlompat bangun. Ketika dia akhirnya berhasil berdiri, mukanya pucat pias, tubuhnya bergemetaran. Puteri Nepal melihat ancaman bahaya, sebelum pedang tiba, ia mendahulukan menyerang. Dari dalam serulingnya ia meniup keluar tiga butir Pengpok-Sintan, peluru inti es. Karena orang berlaku ganas, ia tidak bisa berbuat lain. Ia menggunai tiga butir, la pikir lawannya tentu dapat mempertahankan diri, siapa tahu, jago Persia itu tidak lagi setangguh semula. Dirhamshah tidak menyangka bakal diserang senjata rahasia, ia pun lagi bernapsu sekali. Tadi malam ia telah mengeluarkan banyak tenaga, istirahat satu malam belum cukup untuk mempulihkan kesehatannya. Sebab yang ketiga ialah peluru mengenai tepat jalan darahnya, ia terserang hawa dingin yang hebat sekali, yang masuk hingga ke uluhatinya. Maka ia menjerit dan roboh. Ia tidak mati seketika tetapi ia telah mendapat luka berat. Selagi orang masih heran dan terbengong, maka juru acara, sudah mengasi dengar suaranya yang ketiga kali: „Calon yang terakhir, jago dari Tiongkok, Koei Hoa Seng, silahkan naik ke panggung untuk bertanding pedang dengan tuan puteri!" Dia ini seperti tak hendak mengasi ketika untuk puterinya itu beristirahat dulu ……….. Hoa Seng sudah lantas naik dari tangga di samping panggung, ia mendaki dengan perlahan-lahan. Sebenarnya ia bisa naik hanya dengan satu kali lompat akan tetapi ia tak mau membanggakan kepandaiannya itu di depan tuan puteri. Ia berlaku tenang, akan tetapi ketika mata kedua pihak bentrok, tanpa merasa hatinya tergetar, suatu perasaan aneh menyerang kepadanya, hingga ia berdiam saja. „Silahkan menghunus pedangmu!" puteri Nepal mempersilahkan sambil ia bersenyum. Hoa Seng merasa bagaikan ia baru sadar. Lekas-lekas ia memberi hormat. „Tetamu tidak dapat melancangi tuan rumah, maka itu silahkan tuan puteri yang mulai," ia berkata. „Begitupun baik," berkata puteri seraya ia melemparkan serulingnya kepada dayangnya seraya ia menitahkan: „Wanran, ambillah pedang Pengpok Han-kong-kiam!" 22. Lumernya Salju Himalaya Dayang yang disebutkan namanya itu sudah siap, maka itu dia lantas bisa menyerahkan pedang yang diminta itu, pedang inti es. Dia menyerahkan berikut kotak di dalam mana pedang itu disimpan. Sambil bersenyum, puteri menghunus pedangnya itu, hingga di situ lantas terlihat sinar yang berkilau dan terasa hawa yang dingin. Kejadian itu membuatnya heran semua jago karena mereka merasakan hawa dingin itu. Hoa Seng sudah lantas menghunus juga pedang, yang pun pedang mustika, ketika ia mengibaskan itu, pedangnya mengasi dengar suara angin mengalun. Maka pedangnya itu juga mendatangkan kekaguman sekalian jago tadi. Hingga ada yang mengatakan di dalam hatinya, „Jikalau aku yang berada di panggung, jangan pula mengadu pedang, hawa dingin itu saja tentulah sukar dilawan ………..” „Silahkan!" berkata Hoa Seng setelah melihat puteri sudah siap sedia. Pundaknya puteri itu segera juga bergerak, maka pedangnya lantas menyambar si anak muda. Luar biasa cepat pedang itu membabat ke arah batang leher. Hoa Seng terkejut melihat datang-datang si nona berlaku demikian bengis, lekas-lekas ia berkelit dengan gerakannya „Mega melintang di bukit Cin Nia," yang ia terus susul dengan jurus „Salju menumpuk kota Lan-kwan." Dengan begitu maka bebaslah ia dari ancaman bahaya. Puteri itu tidak berhenti sampai di situ. Ia menyerang pula, ia mendesak. „Sambutlah!" katanya perlahan sesudah ia mendesak terus hingga Hoa Seng mesti main mundur. Anak muda ini merasa bahwa ia seperti ditegur dengan katakata halus itu. Mungkin itu disebabkan ia memberi ketika dirinya didesak mundur. Ia menjadi sadar, maka ia berkata di dalam hatinya: „Jikalau aku tidak memperlihatkan kepandaianku, walaupun benar dia suka mengalah, tapi apa nanti kata semua calon jago dari pelbagai negara yang hadir di sini? Meskipun aku menang, tentulah kemenangan itu bukan dengan cara yang terhormat ………..” Oleh karena ini, ia lantas melayani dengan sungguh-sungguh, hingga ia tidak lagi terdesak, dan dengan kadang-kadang membalas menyerang, ia membuatnya mereka jadi sebanding, masing-masing ada maju dan ada mundur. Puteri itu puas, ia bersenyum. Berselang setengah jam, puteri Nepal masih belum kalah. Atau lebih benar, ia belum mau menyerah kalah. Sebab ini, Hoa Seng mesti keluarkan lagi kepandaiannya. Hebat pertandingan ini, pedang mereka berkilauan, menyilaukan mata. Semua jago menjadi kagum. Mata mereka kabur. Ada yang tidak dapat membedakan, mana si puteri, mana si pemuda lawannya, saking gesitnya tubuh mereka bergerak-gerak. Hoa Seng bertarung sambil berpikir: „Coba aku tidak mengenal Peng-coan Kiam-hoat, ada kemungkinan aku telah lantas kena dikalahkan ……..” Puteri Nepal telah menciptakan Peng-coan Kiam-hoat selama ia dan Hoa Seng berada di gunung Nyenchin Dangla, dan selama itu, berdua mereka sama-sama memahamkannya. Memang suatu ilmu harus dipahamkan bersama, sebab biar bagaimana, suka ada kelemahannya. Sekarang Hoa Seng melayani ilmu pedang si nona agung, ia telah mengenalnya, tanpa menanti si nona mengalahkan, bisalah ia mendesakkan diri hingga ia menjadi terlebih unggul. Hal ini pun sudah lantas dapat dilihat pelbagai jago yang menjadi penonton. Lewat lagi sekian lama, Hoa Seng lantas melakukan penyerangan membalas. Puteri Nepal itu merasakan bahwa perlahan-lahan ia mulai terdesak, maka segera juga ia mengayun tangannya yang sebelah dengan jurusnya „Boan thian hoa ie," atau „Hujan bunga di seluruh langit." Dengan sekali pukul, ia melepaskan belasan Pengpok sin-tan, peluru inti esnya yang liehay. Di dalam hal ini, ia dapat melepaskannya dengan sempurna. Hoa Seng sudah siap sedia, ia tidak menjadi jeri. Dengan sebat ia menggunakan lima jeriji tangannya, untuk menyentil setiap peluru yang sampai padanya. Ia pun sekalian berkelit sana dan berkelit sini, menjauhkan diri dari ancaman bahaya itu. Di samping itu, dengan pedangnya tetap ia melayani pedang orang. Setiap peluru es yang kena disentil lantas jatuh terbanting ke lantai panggung dan pecah, berkilau memancarkan sinarnya dan menyiarkan hawanya yang dingin, karena mana banyak jago pada mengundurkan diri supaya terhindar dari hawa dingin itu. Di saat yang genting itu, mendadak Hoa Seng berlompat maju, ujung pedangnya menyontek ke muka lawannya, maka sekejab itu juga cala puteri Nepal itu kena dibikin tersontek terbuka. Hingga segera juga suasana menjadi sangat sunyi senyap. Kalau sebatang jarum jatuh, mungkin suara jatuhnya itu kedengaran! Semua penonton heran dan kagum. Tepat sekali sontekan pedang Hoa Seng, ujung pedangnya tidak mengenai pipi yang putih dan halus dari puteri itu. Cuma sebentar orang berdiam, atau segera terdengar gemuruh tempik sorak dari para hadirin. Sudah kesudahannya pertandingan demikian mentajubkan, juga sekarang orang menampak romannya puteri itu yang cantik sekali. Jadi orang bersorak sorai berbareng, untuk liehaynya Hoa Seng, untuk cantiknya si puteri! Helois si pangeran Yunani lantas saja berbangkit berdiri, dengan sebelah kakinya diletaki di atas kursi, ia segera mementil gitarnya, sebagaimana ia telah berjanji, lantas ia mengasi dengar lagu pujiannya yang diiringi suara nyanyiannya yang bernada tinggi. Pokok kata-kata dari nyanyian itu adalah syair „Gembira" sebagai berikut: „Kau telah melintasi puncak tertinggi di dunia, Bersama itu kau membawanya impian asmara. Dengan pedangmu kau menyontek cala puteri, Kau menanam bibit asmara di dalam hatinya. Oh, tusukan pedangmu ini yang hebat, Itu melebihkan anak panahnya Cupido!" Nyanyiannya Helois ini tenggelam di dalam hiruk-pikuknya tempik-sorak orang banyak, tetapi sinar matanya bentrok sama sinar matanya Koei Hoa Seng, sebab si anak muda justru berpaling kepadanya, untuk mengutarakan rasa syukurnya dengan perantaraan sinar matanya itu. Puteri Nepal sendiri, sambil bersenyum berkata pada si anak muda : „Kau telah memenangkan aku!" Tentu saja kata-kata itu ada dua artinya, yang terang ialah menang bertanding, yang tersembunyi ialah menang orangnya ………. Kemudian dengan air muka bersemu dadu, puteri itu memberi hormat ke bawah panggung, habis mana ia mengundurkan diri ke belakang gorden. Menyusul itu mendengunglah suara pengumuman bahwa Koei Hoa Seng lulus dari ujian ilmu silat, hingga tinggal menanti ujian ilmu surat, yang mana akan dilakukan besok. Kalau ujian ini pun berhasil dilewatkan, maka jago ini bakal diangkat menjadi hoe-ma, menantu raja! Dengan diiring semua jago pelbagai negara, Hoa Seng kembali ke gedung tetamu yang menjadi pondokan mereka. Helois sekali lagi memberi selamat kepada sahabatnya ini. Untuk tidak mengganggu, agar si pemuda dapat beristirahat, maka lekas sekali orang pada mengundurkan diri. „Selamat malam!" berkata mereka itu. Tapi Hoa Seng tidak dapat pulas dengan gampang. Otaknya bekerja keras. Ia memikirkan bagaimana ia bakal mendapatkan dirinya puteri Nepal, ia memikirkan juga cita-citanya ketika ia mulai berangkat dari negerinya. Ia ingin mengumpul ilmu silat pelbagai negara, supaya semua itu dapat digabung menjadi satu, menjadi suatu ilmu silat baru, ilmu silat dari partai baru yang ia niat mendirikannya. Sekarang ia telah dapatkan memahamkan ilmu tenaga dalam dari India. ilmu pedang dari Nepal, dari Persia, dari Yunani, dari Arabia juga. Maka semua itu dapat dicampur sama ilmu silatnya sendiri serta Peng-coan Kiam-hoat dari si puteri Nepal. Di hari ke dua, ujian dilakukan di istana, dengan disaksikan oleh raja. Semua pertanyaan sang puteri dapat dijawab dengan lancar oleh Hoa Seng. Raja menjadi heran sekali. Tentu sekali raja tidak ketahui rahasia yang tersembunyi. Banyak pertanyaan berasalkan kitab yang puteri telah mengirimkannya kepada si anak muda, yang mengapalkannya dengan baik, sedang sebagian kecil pertanyaan, Hoa Seng telah mengetahuinya dari pembicaraannya sama puteri selama mereka berkumpul bersama. Adalah di dalam pertanyaan tentang sastera Tionghoa, Hoa Seng benar-benar memamerkan kepandaiannya. Guru dalam bahasa Tionghoa di dalam istana pun diberikan ketika untuk mengajukan beberapa pertanyaan, jawabannya semua membikin guru itu kagum, sebab ada juga yang si guru sendiri belum pernah mendengarnya. Baru sekarang raja Nepal puas. Tepat pemuda Tionghoa itu menjadi menantunya, meskipun orang bukan dari turunan agung. Orang mahir sekali dalam kedua ilmu, silat dan surat, sedang orangnya sendiri, muda dan tampan. Kalah semua calon lainnya. Hoa Seng girang bukan main ketika akhirnya raja Nepal memaklumkan bahwa dia telah lulus dari ujian dan terpilih sebagai hoe-ma, hingga hampir ia pingsan saking girangnya itu. Begitu lekas hari pernikahan telah dipilih dan ditentukan, dengan titahnya raja, Hoa Seng diberi tempat sementara di villa raja, istana musim panas, di gunung di depan ibukota Katmandu. Hari nikah itu lagi tiga hari, bertepatan sama hari raja bersuka ria setahun sekali yang biasa diadakan di Nepal, ialah pesta tengloleng. Tempo tiga hari itu dirasakan Hoa Seng seperti tiga tahun. Selama itu ia tidak dapat memikirkan apa kecuali menantikan sang waktu. Maka bagaimana lega ketika tibalah hari yang dinanti-nanti. Upacara suci dilakukan di bihara negara, dikepalai oleh pendeta agung, yang memberikan doa restunya. Ketika naskah pernikahan telah dibubuhkan tanda tangan, Hoa Seng diantar kembali ke istana musim panas. Ia menantikan sampai datangnya sang malam, baru raja akan mengutus orang menyambut dia ke istana, untuk masuk ke dalam keraton di mana dilangsungkan upacara nikah. Hari itu Hoa Seng merasakan ia bagai bermimpi. Bahkan mimpi pun tak mungkin terjadi! Bukanlah ia telah menjadi hoe-ma. menantunya raja Nepal? Magrib itu dan istana musim panas, di mana ada panggung peranti berangin, Hoa Seng memandang ke bawah bukit. Ia melihat di dalam taman telah digantungkan pelbagai macam tengloleng yang memakai kaca, yang terang dan indah. Juga ada barang hiasan lainnya, yang menambah keindahan. Ketika ia memandang ke ibu kota, di sana pun kota bagaikan api lentera-lentera terhias itu, seperti binatang-binatang berkelak-kelik. Dari sana samar-samar terdengar lagu-lagu dan nyanyian. Pesta tengloleng ini, untuk Nepal, berbareng menjadi hari raja asmara juga. Di hari itu, setiap rumah memajang rumahnya dengan pelbagai tengloleng, dan setiap pria atau wanita, dengan pakaian pilihannya, pada bersuka ria dengan bernyanyi dan menari. Walaupun di dalam bihara-bihara orang turut bernyanyi-nyanyi. Hari raja tahun ini berbareng sama pernikahan puteri raja, tidaklah heran kalau pesta dilangsungkan secara meriah sekali, sepuluh lipat lebih ramai dari pada tahun-tahun yang biasa. Tidak lama datangnya kereta istana untuk menyambut mempelai. Itulah kereta yang baru ini dipakai menyambut Hoa Seng juga, kudanya pun sama. Bedanya, kalau dulu Hoa Seng diundang untuk mengobati raja, sekarang untuk menjadi menantu raja itu! Wakil yang menyambut ialah seorang perwira muda dari pasukan pengiring raja. Ketika kereta pengantin ini tiba di selat gunung, di sana terdengar suara larinya kuda diberikuti suara beradunya golok dan tombak. Hoa Seng heran. Ia lantas menanya ada terjadi apa. Belum lagi ia mendapat jawaban, karena berhenti dengan tibatiba. Segera terlihat datangnya satu barisan penunggang kuda dengan pakaian hitam, dibarengi sama teriakan-teriakan: „Kami tidak dapat mengijinkan orang asing menikah puteri kami!" „Kalau tuan puteri menikah dengan dia, tentulah negara kita bakal dirampas!" „Tidak bisa, tidak bisa! Dia mesti diusir pergi!” „Mustahil negara kita tidak ada puteranya yang laki-laki?" „Kami tidak menyukai pengantin Tionghoa!" Perwira pengantar itu nampak menjadi ketakutan. „Celaka, celaka!" serunya. „Kau tidak disukai mereka, mereka berontak! Lekaslah kau lari!" Tapi Hoa Seng telah mengambil ketetapan. „Aku tidak mau menyingkir!" ia berkata. „Kalau kau tidak mau menyingkir, tidak apa!" kata perwira itu. „Aku sendiri tidak dapat menemani kau mengantar jiwa!" Lantas dia menggeraki kedua tangannya, untuk menolak roboh si anak muda. Kalau dorongannya tepat, tentulah Hoa Seng terjungkal jatuh dari kereta itu. Tanpa pikir lagi, Hoa Seng menangkis sambil meneruskan menotok, hingga perwira itu pingsan seketika. Justru itu barisan kuda itu sudah sampai dan telah lantas mulai mengurung. Hoa Seng berbangkit, niatnya untuk bicara sama mereka itu, tetapi suara mereka ada sangat berisik, maka terpaksa ia menyedot napasnya, untuk mengeluarkan suaranya yang diempos tenaga dalam. Ia berkata dengan nyaring: „Jikalau benar aku tidak dapat diterima oleh rakyat negeri kamu, pasti aku akan pulang ke negeriku! Akan tetapi sedikitnya aku mesti pergi dulu ke kota raja kamu untuk memperoleh kepastian di sana!" Suara itu dapat menindih suara kacau dan berisik itu. Segera terdengar suaranya seorang perwira: „Kita jangan kasi diri kita dipedayakan. Dia tentu hendak menemui Tuan Puteri untuk minta dilindungi!" Lantas dia mengangkat tombaknya dan menombak anak muda kita itu! Hoa Seng menyambar tombak itu, untuk dipegang. „Aku tidak memikir juga untuk mengangkangi takhta rajamu, mengapa kamu melarang aku menemui isteriku?" dia menanya. Perwira itu gusar sekali. Sia-sia belaka ia menarik tombaknya. „Kamu dengar!" ia menghasut. „Dia masih menyebut-nyebut puteri kita! Puteri kita ialah mustika negara kita, mana dapat kita mengijinkan dia dibawa pergi orang asing?" Kata-kata itu besar pengaruhnya, sebagai penyambutan, lantas belasan tombak dan pedang dipakai menyerang Hoa Seng! Melihat ancaman bahaya itu, Hoa Seng menolak tombak yang ia pegang itu dan melepaskannya, maka si perwira lantas terjungkal roboh. Habis itu ia menghunus Theng-kauw-kiam, pedangnya yang ia bekal. Dengan itu ia menangkis, gerakannya memutar di sekitar dirinya, maka terdengarlah suara „trangtrang" berulang-ulang, tanda dari kutungnya pelbagai senjata yang diarahkan ke tubuhnya! Kawanan penyerang itu tidak menjadi jeri hatinya meskipun senjata mereka telah dibabat putus. Mereka itu mundur untuk menukar senjatanya, yang lainnya menggantikan maju, guna menyerang terus. Hoa Seng menghadapi kesulitan juga. Itulah hari baiknya, di hari baik itu ia segan berkelahi apa pula menumpahkan darah. Ia juga tidak ingin melukai bangsa Nepal sebab itu bisa mendatangkan kesan yang tak diinginkan. Orang tidak mundur karena senjatanya terusak, mereka terus mengepung dengan bergantian maju, Karena ini, hampirhampir ia kena ditikam tombak atau tergores pedang ……. Sedang pertempuran berlangsung, di sana terdengar pula suara datangnya pasukan lain. Hoa Seng kaget hingga ia mengeluh. Kalau terpaksa, ia mesti menerobos keluar atau mengadu jiwanya. Dalam keadaan sulitnya itu, ia mendengar seruanseruan yang tegas: „Kami menyambut hoe-ma masuk ke istana! — Tentara pemberontak, lekas kamu menyerah untuk ditawan!" Mendengar itu, barulah hati Hoa Seng lega. Jadi tadi ia telah dipedayakan, sedang pasukan penyambut yang tulen adalah yang datangnya belakangan ini. Pula pasukan penyambut ini jauh berjumlah lebih besar dari barisan penunggang kuda berseragam hitam itu. Mereka itu bertempur tidak lama, lantas kaum pengacau itu dapat dihentikan pengacauannya, bahkan semuanya kena ditawan. Segera setelah itu, kepala pasukan penyambut itu mendatangi Hoa Seng, untuk menyambut secara resmi. Dialah gie-lim-koen congkoan, pemimpin dari pasukan pengiring raja, bahkan dialah Rakandu! Pertemuan ini menggirangkan kedua pihak. „Terima kasih!" Hoa Seng mengucap. „Aku telah ditolong tuan puteri, aku telah diberikan jabatanku ini," berkata. Rakandu. „Budi itu sangat besar, meski tubuhku hancur-lebur, belum tentu aku dapat membalasnya. Hoe-ma, aku menyesal atas kelambatanku ini, hingga kau menjadi mendapat kaget. Sebenarnya aku bersyukur sekali yang hoe-ma tidak menegur padaku." „Sebenarnya, akulah seorang tidak berharga," berkata Hoa Seng merendah. „Aku telah dijodohkan dengan tuan puteri, aku merasa itulah kurang tepat, maka itu tidak heran jikalau mereka ini menentangi aku. Aku malu untuk berdiam lebih lama pula di dalam negara kamu ini." „Tidak demikian, hoe-ma," berkata Rakandu yang lantas meneruskannya dengan perlahan: „Hoe-ma gagah dan pintar, kau pula mulia hati, bukan saja orang-orang gagah dari pelbagai negara tunduk kepadamu, juga bangsaku sendiri, di dalam seratus ada sembilan puluh sembilan yang menyambutmu dengan girang, semua memujikan keberuntungan tuan puteri. Tentang kawanan pengacau ini, merekalah orang-orangnya pangeran kita. Sebenarnya pangeran itu telah mengajaki aku untuk aku turut dalam usahanya ini, berpura-pura menerima baik, diam-diam aku lantas pergi melaporkan kepada Sri Baginda." Sekarang barulah Hoa Seng jelas. „Sekarang aku memohon pertimbangan hoe-ma," Rasandu berkata pula. „Bagaimana dengan kaum pengacau ini. Baiklah hal mereka diberitahukan Sri Baginda atau jangan?" Hoa Sang pikir, kalau perkara dibikin panjang, mungkin terbit huru-hara. Maka ia menjawab: „Peristiwa telah terjadi, baiklah disudahi saja. Tentang mereka ini, kau dapat memutuskannya sendiri. Menurut aku baiklah mereka tidak dihukum." Selagi mereka ini bicara, ke situ ada datang satu rombongan lain yang kecil. Itulah si putera raja, pangeran yang licin dan ambekannya besar. Dia keras melarikan kudanya. Kapan dia melihat Hoa Seng, lantas dia kata: „Aku dengar terjadi gangguan di tengah jalan! Adakah hoe-ma kaget?" „Oh, tidak apa-apa!” sahut Hoa Seng, tenang sikapnya. „Ada beberapa serdadu mencoba mengacau, tetapi mereka sudah kena ditawan paduka pe mimpin pasukan pengiring Sri Baginda Raja. Terima kasih!" Pengeran itu memandang wajah pemuda itu, yang tenang seperti biasa, ia tidak dapat membade hati orang. Ia lantas menoleh kepada Rakandu. untuk berkata: „Kali ini kau telah mendirikan jasa besar, pastilah Sri Baginda akan menghadiahkan dan menaiki pangkatmu!" „Aku tidak mengharapi kenaikan pangkat," sahut Rakandu merendah, „aku hanya mengharap semua bekerja sama, guna melindungi negara agar negara seterusnya aman santausa." Pangeran itu tertawa dingin. „Aku pun mengharap kau mendapat sambutan baik dari rakjat negeri," kata ia pada Hoa Seng kepada siapa ia berpaling pula. „Dengan begitu, kau pun akan puas …..” „Terima kasih untuk pujian kau ini!" Hoa Sang mengucap. „Pengharapanku sama dengan pengharapan paduka pemimpin pasukan pengiring Sri Baginda ini!" Sampai di situ, mereka melanjuti perjalanan. Tiba di dalam kota, rakyat dalam jumlah seperti lautan manusia menyambutnya dengan gembira, dengan nyanyiannya, dengan tariannya. Begitu melihat kereta hoe-ma, mereka bertepik-sorak bagaikan guntur berisiknya. Jumlah mereka demikian banyak tetapi dengan rapi mereka lantas membuka jalan. „Benar perkataan Rakandu barusan," Hoa Seng berpikir memandangi rakyat banyak itu. „Benar-benar mereka menyambut baik padaku.” Dengan perlahan sekali kereta dikasi berjalan menuju ke istana. Di dekat situ ada banyak rakyat, yang merupakan satu barisan besar, yang menyambut dengan suaranya alat-alat tetabuhan mereka, sambil mereka bernyanyi tinggi : Angin malam dari malam ini istimewa harumnya! Di harian Asmara, siapakah yang tidak bergembira? Kami menyambut kau, tetamu yang melintasi Everest! Maka selanjutnya, kau dan kami ialah sekeluarga! Tuan Puteri dan Hoe-ma telah terikat jodohnya. Gunung Himalaya diikat dengan sutera merah! Katmandu-Pakkhia! Tiongkok dan Nepal, selamanya bersaudara! Hoa Seng sangat tertarik hatinya, ia bersyukur sekali hingga ia mengeluarkan air matanya. Ia memandang pangeran Nepal dan berkata: „Pujian kau tadi telah berbukti sekarang! Terima kasih kepada rakyatmu! Ya, Tiongkok dan Nepal selamanya bersaudara!” Parasnya Pangeran pucat, sepata kata pun tak keluar dari mulutnya. Ia malu berbareng panas hatinya. Sebenarnya dengan pengacauan barisannya tadi hendak ia membuatnya hati Hoa Seng dingin, supaya Hoa Seng mundur sendirinya, ia tidak menyangka rakyat negeri justru begini berkesan baik terhadap orang asing ini, mereka itu menyambut gembira pilihannya puteri mereka! Di dalam istana, Hoa Seng paling dulu menghadap raja, yang memberi puji selamat padanya, habis mana dayangnya puteri, Wanran, dengan membawa lentera indah, memimpin dia masuk ke keraton, terus ke kamar pengantin. Di dalam kamar ada dipasang lilin yang panjang serta dupa yang harum. Hoa Seng merasakan ia seperti bermimpi, ia mengawasi puteri dengan mata mendelong, sampai sekian lama, tidak dapat ia membuka mulutnya. Puteri sendiri pun berdiam saja. Tiba-tiba terdengar suara tertawa di luar kamar, tertawa geli. Segera dikenali, itulah tertawanya Wanran, yang mengintai di lubang pintu! Hoa Seng bagaikan tersadar. Maka sekarang ia mendapat lihat kamar diatur dan dihias seperti kamar Tionghoa. Di tengahtengah ada sepasang lian, tulisannya puteri sendiri yang memakai nama „Hoa Giok”. Setelah membiarkan suaminya memandangi kamarnya itu, Hoa Giok tersenyum, terus ia mengajak sang suami pergi ke jendela, untuk sambil berendeng memandang gunung Himalaya dengan puncaknya yang bersalju, agar salju itu menjadi pelambang bahwa hati mereka berdua telah dilumerkan menjadi satu ……… Tak dapat dikatakan lagi puasnya hati mereka berdua. ^^^^ Lima tahun kemudian pada suatu malam, Puteri Hoa Giok bersama Koei Hoa Seng telah berlalu secara diam-diam dari istana, meninggalkan negara, untuk berdiam di gunung Nyenchin Dangla, di mana di Thian Ouw, atau telaga Tengri Nor, mereka mendirikan istana es. TAMAT Guna mengikuti terlebih jauh, kami harap para pembaca sukalah membaca buku cerita penerbitan kami yang berjudul „Peng Coan Thian Lie", atau ..Bidadari dari Sungai Es. Penerbit. Gudang Ebook (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net